Sisi Lain

4.6K 152 0
                                    

Hana sudah berada di sekolah pagi-pagi buta. Ia memborbardir Rosa dengan telepon dan SMS agar segera datang. Lima menit kemudian, orang yang ia tunggu sudah muncul. Lengkap dengan ekspresi cemberut yang ia perlihatkan. Namun Hana tahu, cara ampuh yang akan ia berikan untuk menenangkan temannya ini.

“Nih, gue bawain cokelat kesukaan elo. Semalem gue dapet nih dari bokap,” Hana mengacungkan tas kardus berwarna merah. Mata Rosa berbinar menyambutnya.

“Wah, cokelat dari Belanda nih. Bokap lo kapan pulang?” Rosa menerima cokelat itu.

“Kemaren sore. Itu pun gue sama mama yang jemput. Sekarang papa lagi rehatan. Capek kayaknya,” berdua mereka menyusuri koridor kelas yang masih sepi.

“Ya iyalah, Na. Lo kira penerbangan belasan jam kagak bikin jetlag apa,” ujar Rosa.

Hana hanya tersenyum. Setelah duduk di bangku mereka─mereka teman semeja─Rosa segera membuka buku tugasnya dan menyerahkan kepada Hana dengan sukarela. “Kalau bayarannya cokelat mahal terus, mana bisa gue nolak,” ujar Rosa. Hana mencibir perlahan. Sebenarnya bukan sepenuhnya karena cokelat. Namun murni karena ia memahami bahwa Hana memang lemah di mata pelajaran itu.

Berteman dengan Hana sejak SMP membuatnya sangat hafal dengan sikap Hana yang sedikit cuek, urakan dan tanpa basa-basi. Namun jauh di lubuk hatinya, Rosa tahu bahwa hidup Hana tak semudah yang orang bayangkan.

Mamanya berpisah dengan sang ayah saat usianya baru enam tahun. Lalu, sempat hidup seadanya dengan sang mama sebelum mamanya menikah lagi dan tinggal dengan papa barunya. Selama masa hidup sederhana itu, Hana harus rela berjuang keras agar bisa sekolah. Di usia yang sangat muda, ia sudah bekerja membantu mamanya mengumpulkan uang. Baru saat ia menginjak kelas 5 SD, kehidupannya kembali normal.

“Eh, gue kemaren ketemu cowok lho,” ucap Hana kalem. Rosa mengangkat alisnya tinggi. Hana? Tertarik dengan cowok? Nggak salah nih? Pikirnya.

“Serius lo?” nada Rosa meninggi. Sepenuhnya terkejut.

“Iya. Suara lo, kayak gue nggak laku aja,” seru Hana sewot.

Rosa tergelak. “Lah, bukannya gitu? Sejak SMP, gue nggak pernah tuh ngeliat atau denger seorang Hanata Kasannavy suka sama cowok?”

“Eh, buset. Gue normal kali, Ros,” kini Hana memajukan bibirnya.

“Iya-iya, gue tau. Emang tuh cowok sapa sih? Penasaran gue. Mampu menarik perhatian seorang Hana,” lagi-lagi Rosa menggoda.

Hana bersikap tak peduli. Dari bibirnya mengalir cerita tentang kemarin siang saat hujan turun. Lengkap dengan “Lelaki Hujan”-nya.

“Huahahahha, apa lo bilang, Na? Lelaki Hujan? Ceileh, romantis amat, Neng. Berita besar ini, berita besar,” Rosa heboh sendiri.

“Ck, nyesel gue cerita sama elo,” Hana mengeluarkan ekspresi terluka. Bukannya merasa bersalah, Rosa melah semakin tergelak.

“Puas lo kan? Terusin aja ketawanya,” Hana mengerang.

“Hahaha, iya sori sori. Habis lo juga aneh sih. ‘Lelaki Hujan’ itu terlalu menye-menye buat elo,” kata Rosa. Akhirnya ia berhenti tertawa. Mulai serius mendengar curhatan yang diselingi dengan menyalin tugas oleh Hana.

“Terus, sekarang lo mau gimana? Nyari dia? Nama sama kelasnya aja lo nggak tau,” ujar Rosa sembari menggigit salah satu cokelat itu.

Hana mengetukkan bolpoin di keningnya, berpikir. Lalu dengan senyum mengembang, ia menatap Rosa.

“Wah, gue nggak demen nih dengan cara pandang lo, Na. Pasti adegan berbahaya lagi deh. Enggak deh enggak,” Rosa yang langsung mengendus hal yang tak baik dari tatapan Hana.

Senandung HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang