Masalah Rumit

2K 91 1
                                    

Hana tak menemukan Rosa di manapun. Tadi ada satu missed call dari cewek itu. Hana berusaha menghubungi ponsel Rosa. Tapi yang menjawab justru operator telepon yang menjelaskan bahwa ponsel Rosa sedang tidak aktif. Sakitkah dia?

Saat jam pelajaran pertama, Hana berusaha menghubungi Rosa kembali. Namun ponsel itu tetap tak aktif. Hana mendesah pelan. Di hatinya terselip sedikit rasa khawatir. Apalagi sebelumnya Rosa tak pernah masuk tanpa izin seperti ini.

“Hoi, nglamun apa?” Han menepuk pundak Hana.

Hana hanya merengut dan melirik Han dengan sebal. Apalagi suasana koridor yang tadinya ramai mendadak senyap. Semua menatap sang pentolan sekolah dengan sungkan. Karena, meskipun sebenarnya Han adalah orang yang tak bisa di atur, tapi ia tak pernah membuat juniornya merasa ketakutan, apalagi sampai terintimidasi. Aura itu hanya diperlukan saat sedang diperlukan saja. Contohnya, jika ada junior yang nglunjak.

“Eh, ni anak malah cemberut. Ayo ikut gue ke kantin. Laper gue,” Han menyeret Hana. Wajah cowok itu terlihat lucu. Senyum cerahnya tak lenyap dari bibir tipisnya.

“Gue nggak napsu, Kak,” Hana menghentakkan kakiknya dan meninggalkan Han. Han hanya geleng-geleng kepala menghadapi tingkah sensi cewek itu. Beberapa orang yang ada di sana hanya tersenyum. Mengerti bahwa diantara mereka ada sebuah hubungan khusus yang tak terlihat.

“Ck, Rosa.... nih anak kemana sih? Bikin gue khawatir aja,” sungut Hana. Ia berjalan ke arah taman belakang sekolah. Dengan gemas, ia mentap ponselnya yang tak juga menunjukkan tanda-tanda Rosa akan mengabarinya.

“Lo kenapa sih?” suara Han sudah berada di belakangnya.

Hana kembali merengut. “Rosa tuh, nggak masuk. Tadi dia miscall, tapi nggak aku angkat. Eh, sekarang hape dia mati. Nyebelin kan,” Hana mengatakan itu sembari mengerucutkan bibirnya.

Han mengangkat alisnya, takjub. “Ya mungkin aja nggak ada sinyal.”

“Ya ampun, di rumah Rosa itu sinyalnya penuh. Emang dia ada di mana sampai nggak ada sinyal?” erang Hana kesal.

“Ya ampun, Na. Gue cuman ngasih alternatif aja kira-kira kemana si Rosa,” Han menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

“Iya, gue tahu. Tapi gue khawatir,” suara Hana melemah.

Han mendekati cewek itu dan memeluknya dari belakang. “Sssh, tenang aja. Dia pasti baik-baik aja.”

Hana membeku. Sentuhan Han memeberikan sensasi berbeda terhadap dirinya. Hangat. Dan Hana merasa lebih baik.

Ditepuknya lengan Han yang melingkar di lehernya. Senyum tipis dan rona merah menghiasi bibir dan pipinya.

“Biarkan gue meluk elo seperti ini,” bisik Han.

Hana mengangguk mengiyakan.

*

Pertama-tama, Rosa hanya bisa melongo, lalu matanya menatap penuh takut dan curiga. Kedua, sorot matanya berubah cemas, wajahnya pucat dan tangannya gemetar. Dan terakhir, refleks cewek itu mampu menutup mulutnya dengan mata berkaca-kaca.

“Gitu deh Ros ceritanya. Gue bingung,” Vangga meremas rambutnya. Selesai sudah cerita panjang yang mengalir dari bibirnya sejak satu setengah jam yang lalu. Di sebuah restoran sederhana yang menghadap pegunungan, Vangga menuangkan semua yang dipendamnya terhaadap Rosa. Cewek itu masih shock.

“Lo.. lo nggak bercanda kan, Ngga? Atau ini salah satu rencana busuk elo?” Rosa menanyakan itu, tatapan matanya masih menyisakan curiga.

“Ya ampun, Rosaaaa. Buat apa gue bohong buat masalah seserius ini? Mereka bisa-bisa inses Ros kalau enggak kita pisahin,” erang Vangga frustasi.

Senandung HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang