Cinta

2.2K 101 1
                                    

Haloh readers tercinta, maaf banget nih apdetnya ngadat. Haha, maklum, authornya lagi kena writer blok == jadinya inspirasinya menguap begitu saja.

oke, for my lovely sista, this for you :)

*

Satu minggu berlalu.

Hana tak melihat Han di manapun. Seluruh sudut sekolah sudah ia pindai dengan teliti. Namun tak ada sosok itu, sama sekali. Ada sedikit lega sekaligus kecewa di hatinya. Lega karena ia memang tak ingin bertemu Han, dan kecewa karena lelaki itu tak ada. Aneh bukan?

“Lo nyari dia,Na?” suara Rosa memecah keheningan.

Hana menoleh. “Enggak, kata siapa?” tanya Hana, mencoba berkelit.

“Udah deh, lo nggak bisa pura-pura begitu di hadapan gue. Karena semua rasa elo terbaca jelas di sana,” Rosa menatap manik cokelat gelap milik Hana.

Hana mengerjapkan matanya dan buru-buru berpaling ke arah lain. “Jangan ngaco deh.”

Rosa tersenyum, maklum. “Lo mungkin bisa bohongin siapapun, Na. Termasuk diri elo sendiri. Tapi enggak sama gue,” tegas Rosa sekali lagi.

Hana mendesah, berlebihan. “Gue gak nyari dia, Ros.”

“Lo yakin? Setiap hari lo selalu berdiri di sini, di koridor depan, memindai seluruh sudut sekolah ini. Terus elo mendesah kecewa. Apa dong namanya? Mata gue masih normal ini,” cecar Rosa lagi.

Hana membuang muka, tak sanggup menemukan jawaban dari pertanyaan Rosa yang menyudutkannya.

“Gue...gue cuma khawatir sama dia,” ucap Hana lirih.

“Khawatir? Emang dia kenapa sampai lo harus khawatir sama dia?”

Ya, kenapa dia harus khawatir? Bukankah seminggu yang lalu ia menyuruh cowok itu untuk menjauh darinya? Lalu, sekarang kenapa ia khawatir kepadanya?

Hana hampir menangis karena tak mengenali rasa yang menjalar dan tumbuh subur di hatinya. Tiba-tiba ia merasa sesak yang amat sangat luar biasa, menekan dadanya.

Rosa yang mengerti segera memeluk Hana. Membiarkan gadis itu menumpahkan rasa sesaknya. Ia tahu Hana tak menangis. Ia hanya perlu menenangkan diri.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengawasi mereka dari jauh. Bersembunyi diantara rak-rak buku yang menjulang tinggi. Lagi, ia merasa sesak menghajar jiwanya. Tanpa dapat ia cegah

*

Han menunggu Hana di gerbang masuk sekolah. Masih ada tiga puluh menit sebelum masuk. Dengan tenang, ia menghembuskan rokoknya di pos satpam. Tak ada yang melarang. Karena berapa kalipun dilarang, Han tak akan pernah mendengarkan.

Selama ini hubungan Han dengan ayahnya tak pernah baik. Ia benci kepada lelaki itu, sesungguhnya. Meski ibu tirinya baik, ia tak pernah menyayangi wanita itu seperti ibunya. Ia hanya menghormatinya, tak lebih.

Ia merindukan ibu dan adiknya yang kini entah berada di mana. Ia ingat saat ibunya diusir dari rumah mereka, dulu. Dengan air mata yang tak henti-hentinya meleleh di pipinya, Han ingin sekali menyusul mereka. Apalagi waktu itu sedang hujan. Namun ayahnya melarang dan malah mengurungnya di kamar.

Esoknya Han jatuh sakit. Demam tinggi serta menggigau. Setelah itu, ia lupa dengan segala memori indah yang ia buat bersama adiknya. Yang ia ingat hanya saat-saat pengusiran ibunya. Sekuat apapun ia mengingat, ia tak akan pernah bisa. Ia akan di dera pusing luar biasa jika mencoba mengingat memori yang terselip entah di mana itu.

Maka, ia meminta, kepada Tuhan, kepada jutaan air hujan yang menghidupi bumi, agar ia bisa dipertemukan dengan ibu dan adiknya. Hanya itu. Ia ingin kembali ke pangkuan hangat ibunya. Ia rindu.

Senandung HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang