Apa ini semua hanya ilusi? Tentu tidak. Kami berada di dunia permainan dan semua bisa terjadi karena kami di permainkan oleh sebuah game tua.
"Tunggu. Kita ada dimana?" Grace mulai panik. Kami kedinginan dan terkejut. Aku bahkan tidak bisa merasakan kakiku lagi. Aku benar-benar kedinginan. "Mengapa kalian tiak menjawab pertanyaanku?"
"Tenanglah Grace. Kami juga tidak tahu." balas Liam dengan nada perlahan. Mungkin dia tidak ingin membuat keadaan lebih memburuk lagi. "Mari kita cari tahu. Dimana papannya?" Niall mengangkat papannya. "Masih ada berapa langkah lagi?"
"Mungkin lima? tiga? Aku tidak tahu?"
Liam pun mencoba mencari cara dan dia berjalan mendahului kami. Gila saja rasanya jika kami berada di tempat ini. Berada di tempat yang tidak pernah kami duga. Aku bahkan sudah lelah dan merasa bahwa semua tulang kaki milikku akan retak dan hancur semua. Tiba-tiba saja ada tangan hangat yang membungkus tanganku. Aku melihat siapa orangnya, ternyata Niall.
"Kau baik-baik saja? Tanganmu dingin sekali."
Aku menggeleng dan tentu aku tidak baik-baik saja. "Kau tidak lihat keadaan di sekitar?"
Niall pun tersenyum dan melepaskan kembali tangannya yang tadi sempat membungkus tanganku dan menghangatkanku untuk beberapa saat. "Aku tahu dengan keadaan sekitar. Ayo ikuti Liam. Siapa tahu, kita akan mendapat tumpangan gratis lagi untuk tidur dalam waktu satu malam. Dimana Harry?"
Aku menggidikan bahu tidak tahu. Mungkin dia sedang ikut panik juga. Padahal tadi dia sempat bersamaku. "Terimakasih." kataku sambil tersenyum kepadanya.
"Untuk hal apa?"
"Mau peduli denganku."
Niall tersenyum lagi. Dia memasukan kedua tangannya kedalam kantung celana yang ia kenakan. "Aku selalu peduli dengan semua orang. Bahkan, aku masih mau membantu meskipun aku telah dibuang jauh atau di ejek. Sudahlah, lebih baik aku cari Harry saja untuk membantumu."
"Mengapa harus Harry?"
"Hanya merasa bahwa kepeduliannya melebihi kepedulianku." Niall pun melihat sekeliling dan di saat itu juga Harry datang mendekat. "Kalau begitu, aku kesana. Itu Harry sudah datang."
"Terimakasih Niall." ucapku sekali lagi atas perhatiannya. Niall membalasnya dengan anggukan dan senyuman sambil berjalan menjauh mendekati Liam.
Harry pun berjalan mendekat dan memegangiku. "Kau baik-baik saja? Tubuhmu dingin sekali layaknya Edward Cullen."
Aku tertawa dan meninju lengannya. "Jadi menurutmu aku ini vampir?"
"Ya. Kau Bella dan aku Edward. Kita adalah dua vampir yang akan menggucang seluruh dunia."
Aku tertawa dan juga tersenyum malu. "Omong-omong, kau tahu berada dimana kita?"
Harry menggeleng. Harry pun mencoba mengangkatku. Sungguh, ini benar-benar di luar dugaan. Aku bahkan sama sekali tidak tahu berada di mana kita? Kami terus berjalan mengikuti Liam. Oh, dia bagaikan pemandu wisata yang akan membawa kami pergi ke tempat yang kami mau.
"Wow. Sungguh di luar dugaan." gumamku pada diriku sendiri begitu aku benar-benar melihat keadaan di sekitaran. Kami dibuat terkejut dan tidak percaya. "Apa yang harus kita lakukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Game
Fanfiction❌ WARNING: I MADE THIS STORY WHILE I WAS 15 (chaos plot twist, damage your brain, confusing) We're like playing games. But, what if the game play us? [write in Bahasa Indonesia]