Entry : Five

336 18 0
                                    

     Hanya untuk basa-basi, Terence lagi-lagi harus menginterogasi orang-orang yang berada di atas kereta, seakan-akan ia belum melakukannya sebelumnya. Dan, seperti biasa, tidak ada alibi yang benar-benar solid, yang membuat Terence bertanya-tanya bagaimana caranya sebuah kasus pembunuhan begitu sulit diselesaikan, bahkan dalam ruang TKP sekecil sebuah kereta.

     Dalam buku tulis kecil bersampulkan kulit berwarna hitam miliknya, Terence mencorat-coret daftar-daftar nama tersangka bedasarkan alibi mereka, yang memberikannya tidak lebih dari tiga nama tersangka : seorang pelayan laki-laki bernama Elliot yang pergi ke dalam gerbong restorasi untuk menyiapkan makanan ditemani dengan temannya Jane -yang pada waktu itu sedang berada di dalam dapur untuk memasak makanan bagi semua orang ketika Terence melewati gerbong restorasi menuju gudang untuk mengambil botol sampo dan handuk (isi dapur tidak dapat dilihat dari luar, sehingga Terence tidak dapat memastikan kalau mereka benar-benar berada di dalam sana), dan Jullian. 

     Oh, Jullian.

     Tidak peduli apa yang Terence lakukan, dan kenyataan kalau kedua pelayan yang pergi untuk memasak makanan dalam gerbong restorasi juga mencurigakan, benak Terence selalu kembali pada senyum yang tertera pada bibir Jullian ketika Terence menemukannya bersama dengan mayat Brandon. Senyum itu. Senyum yang semakin lama semakin lebar tiap kali Terence mengingatnya.

     Apa pula yang ia sebenarnya lakukan di sana waktu itu?

     Trevis masih tidak mau keluar, jadi Terence akhirnya masuk ke dalam kamar saudaranya untuk menanyakan kabar sekaligus alibinya. Meskipun tidak ada orang yang bisa mendukung alibi apa pun yang ia ucapkan, tidak ada orang yang pernah melihat ia keluar kamar; itu sendiri sudah merupakan bukti yang cukup kuat kalau ia bukan seorang pembunuh.

     Dalam proses interogasi tersebut, Tommy mengetuk pintu kamar Trevis. Terence membukakannya, dan anak tiga tahun tersebut berkata kalau ia ingin bermain dengan Terence. "Tunggu sampai koko selesai berbicara dengan koko Trevis dulu, ya," begitu jawab Terence kepadanya, namun ia tidak tega meninggalkan Tommy sendirian -ibunya sedang menangisi suaminya dengan histeris di dalam kamarnya ditemani oleh Hadley dan para pelayan. Akhirnya, interogasi Trevis dilanjutkan dengan Tommy menemani mereka.

     "Kau yakin kau tidak apa-apa, Trevis? Sungguh?" Terence bertanya lagi. Saudara kembarnya ini tampak lebih pucat dari biasanya. "Aku tidak pernah melihatmu pergi makan. Apakah kau tidak lapar?"

     "Aku sudah makan, kok," jawab Trevis dengan seulas senyum halus. "Kau terlalu mencemaskan keadaanku. Bukankah kau seharusnya menangkap si Pembunuh?"

     "Aku sedang ada di jalan buntu, Trevis. Tidak banyak yang bisa diperbuat."

     Trevis duduk pada ujung ranjang, di seberang Terence yang sedang duduk pada sebuah kursi dengan Tommy pada pangkuannya. Lampu di dalam kamar tidak dinyalakan, namun Terence dapat menangkap seluruh ekspresi kembarannya. Lelah, takut, namun tetap tenang, layaknya seseorang yang dewasa.

     "Aku benar-benar tidak menyangka kalau.... kalau ini semua akan terjadi...," Terence melanjutkan, berhati-hati agar tidak menyebut nama Brandon. "Kalau aku tahu ini akan terjadi, seharusnya aku tidak mengizinkan kami semua pergi sedari awal. Pergi ke sebuah villa di antah berantah sudah terdengar buruk dari awal."

     Trevis melihat keluar jendela, di mana salju masih melolong tanpa berhenti. "Kita sudah memasuki hari kedua semenjak kereta ini berhenti. Seseorang di statsiun pasti akan curiga, Terence. Bantuan akan segera datang, dan ini semua akan selesai dengan sendirinya. Lagipula, bukankah kau seorang detektif andalan dari lembaga kepolisian?" godanya.

     "Kau tampaknya tidak terganggu dengan semua ini."

     Trevis tersenyum sedih. "Aku masih menunggu sampai kesadaran menghantamku, Terence. Tidak lebih dari itu."

Little Detective GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang