Entry : Two

524 24 0
                                    

     Terence membuka matanya dan sadar kalau ia sedang bermimpi. Dalam mimpi tersebut, ia teringat pada sebuah kasus mengenai sebuah pembunuhan berantai. Terence sedang berada pada TKP terakhir karya pembunuh tersebut. Petunjuk-petunjuknya selalu sama : latar belakang si Korban tidak banyak -entah dia tinggal sendirian atau tidak lagi memiliki keluarga, ditemukan di dalam rumahnya dengan satu tembakan di kepala; bersih, tanpa jejak. Kadang, akan ada tanda-tanda perlawanan yang tidak berarti.

     TKP di dalam mimpi itu persis dengan yang Terence lihat di dunia nyata satu minggu yang lalu. Anak-anak buahnya berlalu lalang ke sekeliling tempat, mengumpulkan barang-barang bukti dan mengambil foto dengan kamera mereka; mereka terlihat seperti lebah-lebah sibuk -dengungan mereka sedikit terlalu keras untuk masuk ke dalam zona damai Terence. Berkebalikan dengan mereka, Terence hanya berdiri di hadapan mayat dengan kedua tangan di dalam saku jas hitamnya yang tidak dikancing; matanya kosong. Lagi-lagi satu korban berjatuhan....

     "Sir Layton," panggil salah satu anak buah Terence. Terence menoleh ke arahnya.

     "Ponsel Anda sedang berdering, Sir," lanjut anak buah tersebut, namun wajahnya aneh. Tidak, itu bahkan bukan sebuah wajah lagi. Itu adalah sebuah lubang kosong, yang menempati wajah yang seharusnya ada di situ. Lubang itu mengucurkan darah yang menetes ke bawah dagunya.

     Segalanya berubah merah, sementara suara dingin yang sama itu berbisik pada telinga Terence, "Ponsel Anda sedang berdering, Sir ~"

     Terence membuka matanya dengan perlahan, membangunkan dirinya sendiri dari mimpinya, dan mengambil napas panjang. Ia bangkit duduk, lalu memijat dahinya yang berdenyut-denyut. Setelah sakit kepalanya mereda, ia menyadari kalau ada yang ganjil. Kereta tersebut terlalu diam, apalagi ditambah kenyataan kalau tadinya suara Brandon, Hadley, dan Jullian dapat terdengar dari kamar Brandon tempat semua orang sedang bermain Capsa saat Terence pergi tidur tiga jam yang lalu. Apakah mereka sudah berhenti bermain?

     Namun Terence sadar kalau bukan itulah yang ganjil. Dalam kamarnya yang gelap itu, yang terdengar hanyalah suara deru angin dari badai salju yang sedang terjadi di luar, namun bukan suara roda kereta yang bergulir di atas rel ataupun mesin kereta. Kemudian, sadarlah Terence kalau kereta yang ia tumpangi itu sudah berhenti.

     Dalam sekejap, Terence sudah berada di atas kedua kakinya. Ia berderap keluar ruangan menuju lorong gerbong kamar penumpang dan nyaris menabrak Elena.

     "T- Terence!" serunya. Suaranya gemetaran, tidak stabil, dan mukanya luar biasa pucat. Terence harus menangkap kedua bahunya agar wanita tersebut tidak jatuh tersungkur ke lantai.

     "Elena, tenang dulu. Apa yang terjadi? Kenapa kereta kita berhenti? Sejak kapan ini terjadi?"

     Terence membiarkan Elena menarik napas panjang dulu sebelum ia membuka mulut. "Sa- satu setengah jam yang lalu. Ke- keretanya tiba-tiba berhenti, jadi, jadi kita menunggu.... menunggu.... lalu tidak ada pemberitahuan dari.... dari masinis.... pelayan di gerbong menyuruh kita menunggu.... gerbong masinis terkunci.... lalu.... lalu.... barusan.... Brandon tidak sabar.... memecahkan kaca dan masuk ke dalam.... masinis.... mati.... darah.... kepala...."

     Insting Terence yang awalnya berniat ia tenangkan saat liburan langsung mencapai puncaknya. "Mati...?"

     Elena tidak sempat menjawab, karena ia segera jatuh pingsan di tempat. Terence menangkapnya dengan sigap. Tidak heran; Anemia Elena sudah kambuh sebelum perjalanan ini dimulai dan shock yang ia alami terlalu banyak -ia memang bukan tipe yang kuat mental sedari awal.

     Jullian tiba-tiba muncul ke dalam lorong. "Terence! Kau sudah bangun!"?

     Terence menyerahkan Elena kepadanya. "Brandon belum mengotak-atik TKP, bukan?"

     "Belum. Ia sedang menunggumu di TKP. Trevis sepertinya belum bangun dan Tommy sedang ada di kamarnya; ia tidak boleh dekat-dekat TKP."

     Terence mengangguk dan segera pergi ke gerbong masinis. Di sana, Brandon sedang berdiri di hadapan mayat, namun belum menyentuhnya.

      "Ini buruk," kata Brandon langsung. "Keretanya berhenti sepenuhnya dan aku tidak tahu bagaimana cara menjalankannya kembali. Kalaupun bisa, salju sudah menumpuk terlalu banyak di jalan kita. Cuaca buruk sialan ini juga membuat kita tidak bisa menghubungi siapa pun."

      Terence memutuskan untuk mencemaskan itu belakangan dan mengamati mayat masinis yang tergeletak di atas kursi kerjanya. Sekarang Terence mengerti apa yang dimaksud Elena dengan "kepala", karena kepala si Masinis tidak ada di tempatnya. Hanya lehernya saja yang masih menempel dengan tubuhnya.

      "Waktu kematian, sekitar satu jam sampai dua jam yang lalu. Kira-kira saat kereta berhenti," gumam Terence, entah pada Brandon atau pada dirinya sendiri. "Mesin kereta dimatikan kira-kira setelah masinis ini dibunuh. Kereta ini kereta yang tua sekali, jadi tidak susah mengotak-atiknya."

      Brandon hanya geleng-geleng. "Kepalanya, Terence.... Kepalanya.... Tidak ada di mana-mana.... Aku, Jullian, dan para pegawai sudah mencarinya."

     "Berapa pegawai di kereta ini yang masih hidup?"

     "Enam, kurasa. Satu koki, dua di restorasi, tiga di gerbong penumpang."

     Terence mengangguk. "Mereka ada di tempat mereka saat kereta ini berhenti?"

     "Bro, tiga petugas di gerbong penumpang itu bahkan ikut bermain kartu dengan kita di kamarku. Dan yang di restorasi tidak mungkin bisa pergi ke gerbong masinis tanpa melewati gerbong penumpang, dan dilihat oleh kita."

     "Kau yakin tidak ada yang meninggalkan kamarmu saat itu?"

     Brandon berpikir sejenak. "Em, malahan, semua dari kami pernah meninggalkan kamar saat bermain. Trevis pergi ke kamarnya, setengah jam setelah kau pergi tidur, dan belum kembali sampai sekarang -mungkin ia tidur juga, aku dan keluargaku pergi makan di gerbong restorasi selama setengah jam, lalu Jullian dan Hadley pernah kembali ke kamar mereka untuk mandi serta makan, dan para pelayan juga keluar-masuk kamar."

     Terence memijat pelipisnya. "Kalau begitu, tidak ada satupun dari kami yang punya alibi."

     "Hei, hei, kau menuduh kami membunuh masinis ini?"

     Terence menatap mayat yang masih ada di hadapannya sedang sedih. "Brandon, sadarlah. Tidak mungkin pembunuhnya adalah orang lain, karena hanya ada kita di dalam kereta ini. Hanya ada kita di sini, Brandon."

Little Detective GamesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang