Terence kira suara denging kencang itu berasal dari sebuah monitor jantung. Monitor jantungnya, agar lebih tepat. Monitor jantung yang terhubung pada organ pemompa darahnya yang tidak lagi berdetak.
Awalnya Terence memejamkan matanya rapat-rapat, siap menerima apa pun nasib yang ditimpakan kepadanya, namun segera ia sadar kalau suara dengingan tersebut berasal dari kepalanya. Perlahan, ia membuka matanya, yang menghadapkannya pada pemandangan lantai. Ia merasakan logam dingin dalam genggaman tangan kanannya. Revolvernya.
Apakah ia.... Hilang kesadaran?
Kejadian yang tengah terjadi sebelum ia jatuh menggelap menghantam Terence lebih hebat dari balok es manapun, dan ia dapat merasakan dingin merayapi seluruh tubuhnya. Hadley. Hadley!
Segera, tubuh Terence bangkit; kecepatannya luar biasa. Dihadapkan pada pemandangan gerbong restorasi yang kini memuakkannya familiar, mata Terence menyapu seluruh ruangan dalam panik, mencari sosok seorang gadis berambut hitam pendek yang merupakan temannya.
Sepasang mata hitam Terence jatuh pada orang yang dicarinya. Bukan, bukan orang. Objek, karena Hadley yang baru beberapa saat yang lalu duduk bersama Terence, berbicara, dan tertawa bersamanya kini sudah terbaring mati dengan mata membelalak dan bekas membiru bercampur noda darah pada lehernya; seutas kabel hitam masih mengelilingi tubuhnya seperti sabit kematian.
Hadley McLennan, orang yang merupakan salah satu orang terpenting dalam hidup Terence, telah Terence tinggalkan ketika gadis tersebut paling membutuhkannya. Kenapa, kenapa ia jatuh pingsan saat Hadley sedang diserang??! KENAPA???!
Sebuah tawa yang tidak asing menusuk telinga Terence kala si Detektif berbalik, hanya untuk dihadapkan pada si Pembunuh Bertopeng Senyuman yang tengah memeluk tubuh Elena dari belakang. Elena sendiri sedang tidak dalam keadaan sadar, wajah dan lengannya penuh luka dan tanda-tanda pertarungan. Tubuhnya lemas dalam lengan si Pembunuh, rambut ikal panjangnya tergerai berantakan.
Tidak berniat untuk gagal sekali lagi, Terence menyiagakan pistolnya. "Trevis, tolonglah. Jangan lakukan ini. Lepaskan dia."
Trevis tertawa lagi.
"Trevis, di mana Tommy?"
"Itu juga sedang kutanyakan, Terence tersayang. Mana si Tommy kecil? Bersembunyi, barangkali. Bagaimana menurutmu? Hmm ~ ?"
"Trevis. Jangan lakukan ini."
Tawa Trevis bertambah keras kali ini. "Elena kutemukan di gerbong kedua, jadi kuduga Tommy kecil ada di gerbong pertama -Elena benar-benar seorang ibu yang baik; melindungi anaknya sampai akhir. Hahaha! Gerbong pertama itu kan gerbong masinis! Apa istilah yang sering kau sebut itu? TKP! Ya, TKP! Gerbong masinis itu kan TKP pertamaku! Indah sekali, ya? Tempat yang menarik untuk bersembunyi, bukankah begitu, Terence?"
Terence sudah akan membuka mulutnya yang gemetaran akibat aura kegilaan yang dipancarkan saudaranya ketika Trevis mengeluarkan sebuah pisau dari saku celananya dan menyayat leher Elena dalam sekali iris. Tubuh Elena jatuh ke lantai dengan suara berdebum pelan, kolam darah perlahan-lahan menggenang di bawah batang lehernya. Yang Terence mampu lakukan hanya memperhatikannya.
Memperhatikan kala sosok-sosok mayat teman-temannya terkilas balik dalam benaknya. Memperhatikan kala ia ingat mata mati mereka yang menatapnya dengan tatapan menyalahkan. Memperhatikan kala ia merasa monsternya berbisik :
"JATUHLAH KE DALAM KEGELAPAN."
Dan Terence mulai tergoda. Tidak memedulikan air mata hangat yang menderai kedua pipinya, bidikan Terence diarahkan pada Trevis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Detective Games
Mystery / ThrillerTerence Layton adalah seorang detektif muda berumur dua puluh enam tahun. Suatu hari, bersama saudara kembar dan teman-temannya, ia memutuskan untuk berlibur keluar kota, sampai tiba-tiba kereta yang mereka tumpangi berhenti di antah berantah, dan s...