Kereta itu memiliki enam gerbong : satu gerbong masinis, satu restorasi, dua gerbong penumpang, satu gerbong berisi kamar bagi para pelayan, dan yang satunya lagi adalah sebuah gerbong bekas yang sekarang dijadikan gudang. Gerbong restorasi merupakan gerbong kedua paling belakang, di depan gerbong gudang yang isinya tidak seberapa, sehingga tidak susah bagi semua orang untuk menghindarinya. Orang-orang yang masih memiliki tali kewarasan mereka memang sudah "merapikan" gerbong tersebut, namun bau metalik darah yang menusuk masih menari-nari di udara dan sepertinya tidak ada yang berusaha -atau bisa -menghapus tulisan merah yang tertera di dinding. Terence berusaha sebisanya untuk mengabaikan tulisan yang jelas-jelas ditujukan kepadanya itu.
Dengan tidak adanya seorang ahli autopsi dan perlengkapan yang memadai, Terence tidak dapat berbuat banyak. Tidak ada alat untuk mencocokkan sidik jari pada pisau, tidak ada alat untuk mengetes darah, tidak ada dokter bedah untuk mengecek luka mana yang menyebabkan kematian tiap orang.
Terence menginstruksikan semua orang untuk berkumpul dalam gerbong penumpang dan tidak meninggalkan tempat tersebut sementara ia sekali lagi mengecek ulang seluruh gerbong. Saat melewati gerbong keempat, matanya menangkap sesuatu di luar jendela. Warna kecokelatan.... pada salju putih yang nyaris menguburnya. Terence membuka jendela dan melompat keluar gerbong, merapatkan mantelnya untuk menyelamatkan kehangatan tubuh yang tersisa dalam dirinya. Cepat-cepat ia menghampiri benda yang berhasil menarik perhatiannya itu.
Dari jarak dekat, benda tersebut terlihat seperti sebuah karung besar -lebih panjang dan besar dari karung beras. Terence menyingkirkan salju yang menutupinya dan mendapati kalau mulut karung tersebut terbuka. Ia juga melihat kalau karung tersebut penuh oleh sesuatu. Rasa penasarannya menang. Ia mengintip ke dalamnya.
Butuh waktu lama bagi Terence untuk sadar kalau ada sepasang mata yang membalas tatapannya. Mata. Mata yang mati. Kepala. Sebuah kepala.
Kepala si Masinis.
*****
Dengan karung berdarah-darah diletakkan di dalam kamar tempat tubuh mati si Masinis berada, Terence melanjutkan perjalanannya untuk mengecek dua gerbong terakhir. Brandon mencegatnya ketika Terence dalam gerbong sebelum gerbong restorasi, mengatakan kalau ia ingin mengambil sebotol sampo dari dalam gudang, namun terlalu takut untuk melewati gerbong di hadapannya. Terence menenangkannya, beejanji kalau ia akan mengambilkan botol tersebut sambil mengecek gerbong. Brandon tampak lega; mata cokelatnya terlihat lelah; pasti karena ia sibuk mengurus istri dan anaknya yang masih balita.
Dalam perjalanan untuk melakukan rondanya, Terence merasa pusing. Ia terlalu banyak berpikir belakangan ini, ditambah pikiran kalau salah satu dari orang-orang yang dikenalnya ini merupakan seorang pembunuh. Selama bertahun-tahun mereka mengenal satu sama lain, jadi pikiran tersebut sepertinya belum meresap ke dalam benak semua orang. Mereka percaya pada satu sama lain terlalu banyak, jadi tidak mungkin mereka.... Apakah salah satu pelayan-lah pelakunya? Siapa? Kenapa? Apa motif mereka? Mereka juga tampak terlalu baik untuk melakukan ini....
Terence ingin berkata kalau mungkin ada seorang penyusup di dalam kereta ini. Seseorang yang tengah bersembunyi di dalam kereta, menunggu kesempatan untuk membunuh semua orang, satu demi satu, namun sejauh ini, kalau ia benar-benar ada, ia belum ditemukan.
Siapa? Kenapa? Apa motif mereka?
Gerbong restorasi tampak seperti biasanya -kalau bercak darah dapat dianggap sebagai pemandangan "biasanya" -dan gerbong gudang juga sama. Tidak ada orang yang mencurigakan, tidak ada benda yang tidak pada tempatnya. Terence mengambil sebotol sampo yang ia janjikan dan sehelai handuk yang agak berdebu untuk dirinya sendiri. Sambil terus merenung, ia berjalan kembali, tidak memperhatikan apa yang ada di depannya sampai sebuah bau metalik menyerang lubang hidungnya.
Di sana. Pada gerbong ketiga yang bernama "gerbong kamar pelayan", gerbong penumpang di antara restorasi dan gerbong penumpang kedua yang Terence dan semua orang kini tempati, seseorang tengah duduk bersandar pada salah satu pintu kamar, rambut merahnya berantakan dan nyaris menutupi dahinya, tempat sebuah pisau menancap lurus di antara kedua matanya. Pisau yang tadi pagi dipakai untuk membunuh Marie dan pelayan lainnya di gerbong restorasi. Pisau yang harusnya tersimpan aman dalam laci terkunci di dalam kamar Terence. Matanya kosong seperti seekor ikan yang tidak lagi berada di dalam air. Buram, dengan masih sedikit tersisa warna cokelat dari bola matanya.
Brandon Watts. Brandon Watts tergeletak mati di sana. Brandon Watts yang baru Terence ajak bicara beberapa menit yang lalu.
Sebuah tulisan juga ada di sana. Sebuah tulisan yang kali ini ditorehkan besar-besar dengan pensil hitam. "AYO CEPAT, DETEKTIF....."
Jullian juga sedang berada di situ, berdiri di depan mayat Brandon dalam diam, seakan sedang mengamati pemandangan di hadapannya.
"Jullian," panggil Terence. Suaranya serak.
Jullian menoleh. "Terence," jawabnya pelan. "Ini..... Brandon...."
Apakah Terence hanya membayangkannya, ataukah benar kalau seulas senyum tengah tertera pada bibir Jullian?
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Detective Games
Misteri / ThrillerTerence Layton adalah seorang detektif muda berumur dua puluh enam tahun. Suatu hari, bersama saudara kembar dan teman-temannya, ia memutuskan untuk berlibur keluar kota, sampai tiba-tiba kereta yang mereka tumpangi berhenti di antah berantah, dan s...