Mengenang Hujan - 02

471 20 1
                                    

Perlahan-lahan, si awan kecil mulai tumbuh besar seiring dengan berjalannya waktu.

Awan kecil yang dulu adalah seorang gadis kecil, kini tumbuh menjadi seorang remaja yang cantik.

"Hai ayah!"

"Hai awan kecilku!"

"Uhhh Awan bukan anak kecil lagi, Ayah! Awan udah besar!"

Hujan terkekeh pelan mendengar celotehan dari putrinya itu.

"Ayah tau Awan sudah besar. Tetapi seberapapun besarnya Awan, seberapapun tingginya Awan, bahkan sampai Awan sudah menikah kelak, Awan akan selalu jadi putri kecil ayah yang manja."

Awan segera menghambur kepelukan Hujan. Hujan melingkarkan kedua tangannya di tubuh Awan dengan segenap kasih sayang yang tidak terkira.

"Ayah, diluar hujan. Nanti ada pelangi gak ya? Harusnya sih ada."

"Sayang, pelangi itu ada karena memang dia ada, bukan sepenuhnya sebab hujan. Hujan itu hanya membantu pelangi menemukan momentum yang tepat untuk muncul. Pelangi itu bukan bayangan Hujan. Pelangi itu kokoh. Hanya saja, pelangi itu manja dan dia begitu mencintai hujan, dia selalu menunggu momentum yang tepat untuk hadir. Dan momentum yang tepat itu adalah saat hujan turun membasahi bumi."

"Oh gitu. Yah, kenapa nama Awan tuh Awan? Sebuah nama yang asing kan?"

"Kamu tau? Nama ayah itu Hujan. Sementara nama ibu kamu itu Pelangi. Hujan dan Pelangi membutuhkan Awan, sayang! Maka kamulah Awannya Ayah sama ibu. Kamu itu pelengkap bagi kita."

"Pelengkap? Tapi, gara-gara Awan lahir, ibu meninggal. Ibu pergi gara-gara Awan kan yah?"

"Tidak ada yang sia-sia di dunia ini ketika seorang anak lahir, sayang. Kamu pun begitu. Ayah gak pernah ngerasa kalau kamu yang membuat Pelangi kita pergi. Ibu pergi, karena Tuhan begitu mengagumi keindahannya. Jadi, gak ada alasan buat kamu untuk selalu menyalahkan dirimu sendiri."

"Tapi, semenjak ibu pergi, ayah pasti kesepian. Hidup kita gak lengkap!"

Hujan mengusap pelan rambut putrinya.

"Hidup kita memang kurang lengkap sayang. Tapi ibu bilang. Tanpa pelangi, Hujan dan Awan masih bisa menciptakan suasana temaram yang begitu menyejukkan. Tanpa pelangi, hujan dan awan masih bisa muncul menguarkan aroma petrchor yang membuat siapapun terlena. Pelangi itu ada karena dia memang ada. Dan pelangi pergi, karena dia memang ingin pergi."

"Apa ayah gak pernah mau nyari pelangi yang lain?"

Hujan tersenyum. Pandangannya menerawang.

"Bagi ayah, Ibumu adalah satu-satunya pelangi ayah. Tidak akan ada yang bisa menggantikan posisinya di hati dan di hidup ayah. Hujan begitu mencintai Pelangi sampai-sampai, Hujan tak pernah mau mencari pelangi lain. Meskipun semua orang menghujat Hujan karena tidak bisa menghadirkan pelangi, tetapi Hujan tetap melanjutkan hidup dengan si awan kecilnya tanpa pelangi."

"Awan tau, ayah bukan sedang membicarakan hujan yang jatuh ke bumi. Tetapi ayah membicarakan diri ayah yang begitu mencintai ibu. Awan sayang banget sama ayah. Mungkin, memang beginilah jalan hidup kita. Berdua antara Hujan dan Awan tanpa Pelangi."

Dan begitulah. Awan kecil yang bertransformasi menjadi gadis remaja telah tau apa yang tersembunyi dibalik rahasia Hujan, Awan dan Pelangi. Saat ini, Awan begitu mencintai Hujan yang jatuh kebumi. Tetapi tidak ada yang tau bukan, bahwa suatu saat, kecintaannya akan sirna terkikis waktu?

Mengenang Hujan.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang