3. Tragedi Ayam Krispi
Warna-warni taburan kertas confetti melayang-layang di langit sebelum turun ke tanah. Para maskot dalam parade untuk memperkenalkan ciri khas masing-masing daerah di Indonesia melaju memecah kerumunan menjadi dua sisi. Dan, di tengah keramaian, Wanda membidik momen-momen di kameranya. Mencari sudut yang pas sekaligus berdesak-desakkan dengan mahasiswa-mahasiswa lain.
Sesaat, lamunan Wanda melesat ke masa depan. Tanpa direncanakan pikiran Wanda yang maju melebihi umurnya itu membayangkan prosesi pernikahan. Acara khusyuk nan khidmat yang dibayangkannya nanti diakhiri dengan serbuan confetti yang singgah dan menyangkut di dahinya. Kemudian dengan gagahnya, sang pangeran impiannya—yang entah kenapa selalu dibayangkan punggungnya sender-able dan sudah pasti suami-able—menyingkirkan kertas confetti yang jatuh di dahi Wanda seraya menyunggingkan senyum.
Ah ... ini pasti efek nonton film lawas Ayat-Ayat Cinta, batin Wanda. Imajinasinya mencatut tokoh Fahri dalam film itu sebagai kriteria calon suami. Ah ... Sungguh berat lelaki yang nanti digariskan untuk menaklukkan hatinya. Atau, bisa jadi efek baca buku yang salah beli kemarin. Wanda tak menyangka sama sekali, buku yang berjudul 'Menggapai Surga' ternyata berisi tentang tuntunan menjadi seorang istri idaman. Delapan belas tahun, benak Wanda sudah dijejali dengan informasi penting untuk menjadi istri yang baik dan benar. Siapa pun kelak lelakinya, hanya dua hal yang mungkin terjadi: lelaki itu akan merasa beruntung mendapatkan Wanda, atau malah sebaliknya. Semua karena Wanda sudah bertekad untuk mendalami dan mengamalkan buku tersebut layaknya pengamalan terhadap butir-butir Pancasila.
Wanda memutus lamunan tak berujungnya kembali ke Gebyar Nusantara kampus yang tengah dihelat. Suara yang menampilkan lagu-lagu daerah diperdengarkan dari speaker-speaker yang tergantung di tiang-tiang listrik sisi jalanan. Wanda menarik diri dari keramaian ketika kameranya telah terisi foto maskot-maskot dari tiap daerah. Ia mengelap wajahnya yang berkeringat dengan lengan baju, kemudian berjalan ke tenda-tenda Kuliner Nusantara yang terdapat penjual makanan dan minuman khas daerah Indonesia, dan membeli segelas es kopyor serta tahu gejrot.
"Wanda!"
Seruan itu terdengar dari belakangnya ketika ia mengantre es kopyor. Wanda menoleh, menemukan Inge di belakangnya.
"Eh, Inge, kamu udah selesai foto-fotoin parade tadi?" tanya Wanda, mengingat Inge ingin membuat dokumentasi untuk Gebyar Nusantara kampusnya.
"Belum, sih. Sekarang mau istirahat dulu. Capek, Nda."
Dahi Wanda mengernyit, baru sekali ini dia dipanggil dengan sebutan 'Nda'. Mungkin kependekan dari 'Bunda' nantinya, pikir Wanda. Hatinya terasa hangat. Ah ... dorongan untuk nikah muda bisa mencuat di sembarang tempat, batin Wanda.
Wanda menyukai perubahan panggilan Inge kepadanya sekarang. Terdengar manis sekaligus romantis di saat bersamaan. Ketimbang teman dan rekan-rekannya yang suka khilaf memanggilnya 'Wan' yang menyebabkan banyak orang menyangka namanya adalah 'Wawan'. Tidak feminim sama sekali. Ugh.
Nanti Mas Fahri-ku, akan ku-briefing untuk memanggilku dengan sebutan 'Nda'.
"Iya, panas juga hari ini. Aku heran sama yang tadi jadi maskot, pakai baju dan aksesoris ribet gitu rasanya sepanas apa, ya...." Wanda mendengak, mengetuk-ngetuk telunjuk di dagu dalam usaha mengusir pikiran sindrom nikah mudanya, lalu teringat sesuatu. "Eh, Inge! Aku lihat foto-foto jepretanmu, dong! Kan foto-foto jepretanmu biasanya bagus...."
"Biasa aja," komentar Inge diiringi kekehan. "Bentar, ya, kuambil dulu di tas." Inge membuka tas ransel mungilnya, merogoh-rogoh, lalu melangkah ke depan bersama Wanda ketika antrean di depan sudah menuntaskan transaksi. "Nih." Ia memberi kamera DSLR-nya kepada Wanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beda Sembilan Tahun Itu Seksi | END
Teen FictionTemuilah Wanda, gadis 18 tahun yang masuk Fisip di salah satu universitas ternama karena sedikit paksaan orang tua. Selama ini, adalah sastra yang merupakan minat utama gadis itu. Ilmu Politik jelas bukan hal yang ia suka karena Wanda cenderung meng...