1. Semesta Berkonspirasi

83.9K 6.7K 1.6K
                                    

1. Semesta Berkonspirasi




Wanda ingin berteriak.

Namun, pelototan Mama dan raut wajah Papa yang seakan berkata 'jangan melawan, Wanda' menyurutkan keinginannya. Hatinya bergejolak, akal menuntut keadilan. Namun, keadilan yang diidamkan terhenti hanya dalam impian. Kekuasaan ayah dan ibunya melampaui desakan protes di dirinya. Mungkin ini yang dikatakan bahwa keadilan pada manusia adalah semu. Ya, begitu.

Ditatapnya gedung besar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dengan taman yang terpangkas rapi mengelilinginya. Koridor tempat ia menyeret diri menuju ruang kelasnya terisi banyak orang dengan baju yang bebas-sopan-rapi—seperti dirinya. Langkah kaki Wanda dan kedua orang tuanya pun terhenti begitu sampai di depan sebuah pintu.

"Pa," panggil Wanda dengan nada lemah. "Harus banget masuk sini, ya?"

Papa sedikit mengangkat dagu, memerhatikan Wanda dengan teliti seraya menyipitkan mata. "Iya, Wanda. Ini kan sudah hari ke sekian kamu masuk kuliah. Masa' nanyanya masih begitu? Kreatif sedikit kalau buat pertanyaan." Tatapan papanya pun sedikit mengeras.

Wanda mengerucutkan bibir. Enggan berucap agar tak memicu perdebatan. Ini dia salah satu alasan ia tak suka politik; terlalu banyak konflik. Bikin kepala pusing saja. Andai Wanda tak butuh duit untuk menyambung hidup, tentu ia akan hengkang dari sini dengan suka rela.

Segala macam permainan kotor dalam dunia perpolitikan itu membuatnya keki. Ia masuk Fisip hanya karena papanya yang seorang dosen jurusan hukum ingin agar dirinya peduli pada nasib rakyat Indonesia. Wanda heran. Memangnya, nasionalisme itu diukur dari apakah ia paham politik atau tidak? Memangnya kuliah di jurusan lain otomatis menyandang gelar tak peduli nasib rakyat, begitu? Ia ingin sekali menentang tapi sang papa selalu berkata, "Nanti ketika kamu belajar lebih dalam, kamu akan mengerti kenapa Papa yakin kamu cocok masuk Fisip."

Ah, sayangnya, Wanda perempuan. Dan layaknya kaum Hawa, Wanda punya slogan yang sama seperti slogan salah satu iklan pembalut hitz Indonesia.

Karena wanita ingin dimengerti.

Bukan mengerti apa kata papanya.

Tapi, yah, kalau orang tua sudah bertitah, Wanda bisa apa? Ia tak ingin dikutuk jadi batu. Walau mungkin rasa takut akan bagaimana ia menjalani kehidupan kampusnya nanti merayap, ia masih patut bersyukur juga karena sisi positifnya, kantin di gedung fakultasnya ada yang menjual ayam crispy, makanan favorit yang merupakan mood booster untuk Wanda. Spontan, Wanda mengecek jam tangan. Pukul 07.41. Ah, jam makan siang masih lama tapi ia sudah lapar saja. Padahal sudah sarapan. Mungkin sebab sarapan tadi hanyalah setangkup roti dengan telur mata sapi yang terasa masam sebab papanya terus berceloteh betapa ia harus bersyukur dijebloskan di jurusan menakutkan itu.

Selepas kepergian orang tuanya untuk melihat-lihat kampusnya, kelas yang ia ikuti—seperti selayaknya kelas baru—berjalan dengan masih agak kaku. Sudah ada beberapa orang yang berkenalan dengan Wanda. Dan banyak tugas di minggu-minggu awal kuliah. Cakep, setelah kuliah panjang dengan tugas ala zombie, kulangsung lapar. Kubutuh ayam krispi. Kubutuh lonjakan dopamin, tentu saja dopamin halal yang direstui ibu, Tuhan.

Kelas selesai pada jam 11.40. Wanda segera keluar menemui teman barunya semasa Ospek, Inge Shafa, menuju kantin kampus. Kantinnya seperti yang Wanda duga: ramai. Namun desak-desakkan ia jabani demi membeli ayam goreng tepung yang crispy. Dengan napas terengah, sepuluh menit kemudian Wanda pun dapat duduk dengan seporsi ayam crispy plus nasi serta es teh di meja. Sementara Inge, anak jurusan DKV yang sibuk makan soto itu menatapnya sekilas. "Wan, kamu punya gunting, nggak? Aku pinjam bentar buat potong benang-benang bandel di bajuku, dong."

Beda Sembilan Tahun Itu Seksi | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang