Buta

106 12 2
                                    

"Gue nggak ngerti." ia berkata, menatap saya sebentar, dan kembali pada rubiknya.

"Tentu aja kamu nggak ngerti." jawab saya. Wajahnya yang menunduk saya perhatikan, terlalu serius. "Karena emang selalu aku yang ngerti. Itu masalahnya. Kamu nggak pernah ngerti karena selalu aku yang lebih sayang. Di sini, cuma aku yang ada buat kamu, di setiap kondisi. Aku selalu berjuang lebih."

Dia menengadah, menatap saya dengan alis tertaut, "Gue bener-bener nggak ngerti."

Saya juga tidak tahu, bagian mana yang tidak dia pahami. Padahal, kalimat panjang yang saya ucapkan tadi sangat jelas.

Maka saya menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menjelaskan lagi secara rinci pada dia. "Kamu nggak akan ngerti, karena aku lebih sayang kamu di posisi ini. Kamu nggak pernah ada saat aku butuh, meski aku selalu ada buat kamu dalam kondisi apapun. Di sini, aku-"

Decakkannya membuat kalimat yang saya katakan terpotong. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, saya takut hidung mancungnya patah. Dia menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan cepat, dan mengambil rubiknya yang tadi ia letakkan di atas meja-tepatnya di sebelah asbak.

"Lo tuh kenapa, sih?" kata dia sebelum menggeser sisi di rubiknya.

Saya tersenyum, "Aku cuma mau-"

Bersamaan dengan meletakkan rubiknya di atas meja, lagi-lagi dia memotong kalimat saya. "Lo sadar nggak?" terdengar dingin dan tegas.

"Sadar kena-"

"Lo ganggu hidup gue."

Kalimat itu terasa sangat pahit meski saya tidak menjilatnya. Suara tawa dari meja sebelah, yang diisi oleh perempuan-perempuan berseragam sekolah, seakan ditujukan untuk saya. Saya bak tenggelam di palung laut terdalam, walau saya sadar sedang berada di foodcourt. Ruangan ini terasa sangat gelap, meskipun saya bisa melihat berpuluh-puluh lampu menyinari ruangan lebar ini. Segalanya terjadi dalam satu menit lamanya, dan saya hanya bisa tersenyum untuk menanggapi kata-kata penuh pisau itu.

Keheningan di tempat ramai seperti ini makin menambah sesak di dada saya. Maka sambil menahan air mata, saya memberanikan diri untuk memulai ulang pembicaraan di antara kami.

Saya menatap dia yang asik dengan rubiknya sendiri, "Kenapa kamu bisa bilang gitu?"

Dia mengangkat wajahnya, membenarkan posisi duduknya yang mungkin kurang nyaman, "Karena emang itu faktanya." bahkan dia semudah itu membuat lubang baru di hati saya.

"Itu bukan fakta, itu cuma opini kamu." saya membantah.

Dia tertawa kering, "OK, itu opini gue."

Saya hanya tersenyum, lagi.

"Lo harus bisa terima kenyataan." ujarnya, lalu meletakkan rubik yang telah dia selesaikan di atas meja.

"Kamu selalu bilang gitu." jeda, "Kenapa, sih?"

"Lo tau jawabannya." dia menyandarkan punggungnya.

"Aku nggak tau."

Dia berdecak, mengacak rambutnya tampak frustasi, "Tolong, jangan mempersulit keadaan."

"Aku nggak memper-"

"Gue nggak pernah punya rasa sama lo, sedikitpun. Gue juga nggak pernah ngerasa deketin lo, sama sekali. Lo sendiri yang dateng ke gue, tanpa gue minta. Lo sendiri yang-"

Saya memotong omongannya, "Kamu ke-"

"Gue belum selesai ngomong, dengerin dulu." bahkan dia berbicara dengan suara yang amat dingin, "Lo sendiri yang bikin diri lo jadi sayang sama gue. Lo bilang ke orang-orang kalo gue adalah pacar lo, padahal gue suka dan nembak lo aja nggak pernah. Lo mengada-ngada cerita. Lo mempersulit keadaan." jeda, "Bahkan kelakuan lo sendiri yang bikin gue ngomong kayak gini sama lo."

Air mata saya menetes tanpa harus saya berkedip, tetapi saya masih berusaha tersenyum. Setiap kata-katanya adalah sebuah kebenaran yang seharusnya dari dulu saya sadari.

Dia benar. Saya sendiri yang membuat lubang tak kasat mata itu membesar. Saya sendiri yang membuat tiap air mata jatuh sia-sia. Kau ingin bilang saya bodoh? Silahkan, karena mulai saat ini saya mengiyakan kata 'bodoh' tercap di diri saya.

Fracture Hepatica|1

Fracture HepaticaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang