Rooftop

30 4 0
                                    

Sang Dewi Malam berdiam diri di atas sana, menyinari cakrawala yang gelap gulita. Hembusan angin menggelitik bagian-bagian permukaan kulitku yang tidak tertutup kain. Mataku berkelana, memandangi city lights kota yang tidak pernah tidur ini. Lampu-lampu kendaraan, cahaya yang dipancarkan dari gedung-gedung serta rumah penduduk, serta lampu jalanan berpadu-padan dengan cahaya yang dilepaskan rembulan. Aku tersenyum sesaat. Melihat hal ini membuatku takjub akan indahnya kota tempat tinggalku pada malam hari.

Sebenarnya, momen ini bermakna karena hadirnya orang yang kini sedang duduk di sebelahku. Laki-laki ini melakukan hal yang sama denganku. Menatap hamparan lampu sembari diterpa dinginnya angin malam. Kami tidak banyak berbincang sejak tadi. Mungkin saling menikmati apa yang ada, apa yang ditunjukkan oleh mata. Keheningan yang tercipta pun tak membuat aku tidak nyaman. Diamnya kami justru membuatku menginginkan hal ini terjadi lebih lama. Berdua dengannya dalam kesenyapan malam.

Rambut yang lolos dari kunciran kubiarkan menampar-nampar pipi akibat semilir angin yang tak ada habisnya. Aku menggosok-gosokan telapak tangan, menghalau dingin yang mulai menusuk diriku. Kemudian kutempelkan pada pipi sehingga kehangatan menyebar meski tak berlangsung lama.

"Nih," pada akhirnya ia membuka suara. Aku menoleh untuk melihat ia melepas jaketnya, "kalo kedinginan bilang. Jangan ngode doang."

Mataku mengerjap dua kali, "Buat apa?" tanyaku ketika ia memberikan jaketnya.

"Ya pake lah?"

Kini alisku menyatu, "Aku kan udah pake jaket."

"Ya udah, tetep pake." ucapnya seraya menaruh benda itu di atas pahaku.

"Is, masa di-double? Aneh banget!"

"Elah, kalo aneh juga siapa yang mau liat kamu sih?"

"Kamu." kataku cepat.

Ia terkekeh, "Geer banget, najis."

"Ih, beneran kan! Nggak usah deh." aku berkata seraya menyerahkan benda berwarna hitam itu padanya.

"Kamu nggak usah sotoy deh."

"Sotoy apanya gila?!"

Ekspresinya berubah jadi sok sedih, "Kasar ih, nggak suka."

Melihatnya seperti itu membuat aku tertawa, "Serius, ah."

"Ya udah, ini pake." ia menyerahkan lagi padaku, tetapi kali ini aku tak mengambil.

Dengan tangan bersedekap dan dagu diangkat aku menjawab, "No."

"Gc, ah."

"Is, aku nggak mau! Aneh tau di-double gitu."

"Nanti kamu masuk angin." jeda, "Aku nggak mau ngerokin kamu."

Lagi-lagi aku tertawa, "APA SIH?"

"Pake."

"Gak."

"Li,"

"What?"

"Pake."

"Is!" pada akhirnya aku mengambil jaket yang diserahkan padaku. Aku lemah! Mengapa aku menurut?

Laki-laki di sebelahku ini terkekeh. Ia pasti merasa menang. Sudah bisa kupastikan. Maka dari itu aku hanya mengambil saja tanpa kuaplikasikan pada badanku.

"Dih, didiemin doang? Emangnya nunggu air mateng apa?"

Aku menoleh lalu tertawa, "Malah gerah nanti kalo aku pake."

"Baget banget sih jadi cewek!"

Alisku tertaut dan tawaku berhenti, tak suka dengan nada suaranya yang berubah tinggi, "Kamu kok marahin aku?"

Ia menghela napas, "Nggak gitu, Li."

"Ya gimana?"

"Ya udah, gini deh. Aku pake jaket kamu, kamu pake jaket aku."

"Jaket aku kan tipis. Nanti kamu kedinginan."

"Siapa suruh pake jaket tipis?"

"Tai."

"Heh, kasar mulu nih." ucapnya seraya mencubit pipiku.

"Maksud aku, tai yang nyuruh aku."

"Yee, jayus."

"Don't care."

"Sini jaket kamu. Keburu jadi bunga es nih akunya."

Dengan itu aku melepas jaketku dan menyerahkan benda itu padanya. Ukuran jaketku memang tak pas di badan, sehingga jika ia mengenakannya pun tak kekecilan.

Begitu kukenakan jaket miliknya, aku merasa sedang berada di dekapannya. Aroma parfumnya membuat aku ingin membawa pulang benda ini dan kukenakan hingga aku tertidur pulas. Tak berhenti-henti aku menghirupnya supaya bau laki-laki di sebelahku ini akan selalu kuingat. Baunya membuat aku nyaman.

Keheningan di antara kami tercipta untuk kedua kalinya. Tapi kali ini, aku merasa harus membicarakan sesuatu dengannya. Membicarakan tentang apa yang selama ini ingin kuutarakan. Otakku baru mencerna bahwa momen ini adalah saat yang tepat. Hanya aku dan dia. Tidak akan ada yang mengganggu seperti halnya jika kubicarakan hal ini di tempat ramai.

Setelah lima menit kurang menyusun kata-kata di otak, aku berdeham. Laki-laki di sebelahku tak menoleh. Tiada pula respon khusus darinya. Sepertinya ia kembali menikmati momen keheningan ini.

"Ki,"

Ia menoleh sehingga mata kami bertemu.

"I wanna be with you," jeda, "forever."

"Why?"

Aku mengangkat bahuku, "Aku nggak tau."

"What if,"

Kalimatnya tertahan begitu saja. Aku merasa sesuatu yang tidak enak. Aku takut mendengar lanjutan kalimatnya.

"There is no word 'forever'," ucapnya sembari melihat depan, "What if, there is no word 'forever'?" kali ini ia menatapku.

"Then make it until the death do us apart." aku berkata setelah diam beberapa saat, "Pinky swear?"

Ia tersenyum sembari membalas kelingkingku, "Pinky swear."

*

Setahun berlalu, sangat cepat waktu berjalan. Hal ini terjadi lagi. Momen di mana aku duduk, di terpa semilir angin, menatap city lights di bawah sana dengan cahaya rembulan memayungi diriku.

Bedanya, sekarang aku sendirian.

Tidak ada orang yang memaksaku untuk mengenakan jaketnya, tidak ada jaketnya, tidak ada aroma jaketnya yang membuat diriku ingin membawa benda itu tidur, tidak ada suara tawanya, tidak ada wajahnya yang berubah menjadi pura-pura sedih ketika aku berkata kasar.

Tidak ada dia.

"You've done your pinky swear. Now i'm at peace knowing that you aren't suffering anymore," ucapku lirih, berusaha tidak menangis.

***

p.s sebagian cerita mengambil dari LINE


Fracture Hepatica|3

Fracture HepaticaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang