Kacau

10 2 0
                                    

Tatapannya pada tembok putih gading di hadapannya tak lepas-lepas. Gadis itu tidak memegang sebotol minuman alkohol, di tangan kanannya juga tak ada jejak-jejak batang rokok seperti dulu. Ruangan kamarnya tidak menunjukkan bahwa dirinya baru saja melarikan diri ke minuman-minuman keras dan bungkus-bungkus rokok. Hanya saja, ia terlihat begitu berantakan. Bahkan, Litdia yakin sahabatnya belum tidur dari beberapa hari yang lalu.

Bukan apa-apa, Litdia justru kaget ketika melihat kamar Ze tak berantakan sama sekali. Sangat berbeda dengan apa yang ada di pikirannya. Ia kira, sesampainya di sini, yang didapatkan adalah botol-botol alkohol yang sudah kosong, puntung rokok yang menggunung di dalam asbak, dan tubuh telanjang Ze yang tergeletak di lantai. Litdia lega, dirinya tak mendapatkan potret kejadian seperti satu tahun lalu. Beribu-ribu syukur ia ucapkan dalam hati sahabatnya tak melakukan itu.

"Ze," Litdia menaruh tas selempangnya di atas kasur sebelum memeluk Ze, "I'm here."

Yang dituju tak merespon, seakan dirinya tak merasakan hangatnya pelukan itu. Ze masih menatap kosong tembok di depannya, seolah kehadiran Litdia hanya ada di ruang imajinernya. Gadis itu terlihat begitu kusut. Kantung matanya tercetak jelas. Rambutnya acak-acakan. Pipinya terasa lengket, pasti bekas air mata yang pernah banjir di sana. Bibirnya pucat, Litdia yakin betul perempuan itu tidak menyentuh makanan sama sekali. Ze mengenakan kaus lengan panjang warna abu-abu dengan bawahan celana panjang bermotif Tweety.

"I'm here." ulangnya lagi, "I got you some pizza."

Ze tidak menjawab. Gadis itu seakan mati di dalam, namun masih terlihat hidup dari luar. Nyawanya menggelandang entah ke mana, meninggalkan tubuhnya yang terlihat sekacau ini. Litdia tidak benar-benar tahu apa permasalahannya. Yang ia tahu bahwa Ze sedang tidak baik-baik saja.

Ini berawal dari kemarin lusa. Litdia mendapat telepon dari Ze ketika perempuan itu sedang di luar kota. Litdia berpikir itu hanya sebuah telepon biasa, seperti Ze yang sering bertanya tiba-tiba Litdia sedang berada di mana atau pertanyaan enteng sejenisnya. Namun, kali itu ada yang beda. Ada hal yang membuat Litdia lekas pulang dari luar kota, meski resepsi pernikahan sepupunya baru akan dilaksanakan hari ini.

"Lit, Litdia, lo," kata-kata Ze terdengar putus-putus. Kala itu Litdia sedang berada di kamar hotel, hendak mandi, "Gue..."

"Ze?" alis Litdia mengerut sekaligus memperhatikan kata-kata Ze.

"Gue, shit, shit, shit, shit, fucking shit," Ze bergumam, namun suaranya cukup jelas di speaker ponsel Litdia.

"Lo di mana?" tanya Litdia, mulai bingung.

"Damn it. What an actual fact of this fucking asshole, Lit?" mendengar jawaban Ze yang makin kacau, gadis itu bisa berasumsi bahwa temannya butuh sesuatu perhatian yang lebih. Dia membutuhkan Litdia.

"Lo di mana?!" tanya Litdia lagi dengan nada lebih keras. Ia menjauhkan diri dari kamar mandi dan mendudukkan dirinya di pinggir kasur.

"I'm in hell, not trying to get out." perempuan itu hendak memotong omongan Ze, namun gadis itu kembali melanjutkan, "Anjing!"

Kemudian telepon terputus. Dengan degup jantung yang berpacu dan tangan yang gemetar, Litdia segera memesan tiket pesawat tanpa memberi tahu kedua orang tuanya. Gadis itu...

Lamunan yang berputar di kepala Litdia buyar ketika mendengar suara Ze di kenyataan. Hendak melihat wajah Ze, ia melepas pelukannya. Tatapannya masih lurus, namun sahabatnya itu terlihat sedikit lebih hidup sekarang.

"I'm sorry." ucap Ze lirih, "I'm sorry, sorry, sorry, sorry,"

"Ze!"

Gadis itu menoleh, "Apa?"

Litdia menghela napas, "Ayo makan."

Yang ditawari menggeleng, "What for?"

"Lo belum makan, Ze. Lo harus makan."

"Gue nggak laper."

"Tapi gue udah beliin lo makanan."

"Am I asking you?"

"Don't be childish, Ze."

"It's not the point of all this shit, Litdia." Ze memutar tubuhnya ke arah temannya, tak lagi menghadap tembok, "Gue nggak akan nafsu makan, percuma."

"Sedikit aja. Lo belum makan dari kemarin."

"I told you!"

"Okay." putus Litdia. Pikirnya, tak ada gunanya berdebat soal ini.

Lima detik keheningan menyertai, hingga Ze kembali bersuara, "Why are you stop?"

Temannya sedikit terkesiap mendengar pertanyaan itu, "Gue... gue nggak mau bertengkar."

"So that's why he stopped loving me." ujarnya pada diri sendiri.

"What's going on?"

Ze terdiam. Seperti menimang-nimang sesuatu yang tak tergambar jelas di raut wajahnya. Perempuan itu memalingkan muka, tak lagi menatap Litdia yang masih memperhatikannya. Rasa ingin tahu semakin menjalar di seluruh tubuh Litdia. Ia ingin tahu apa yang membuat sahabatnya kacau seperti ini.

"Putus," katanya, "Gue putus."

Litdia menarik napas panjang, kemudian menghembuskannya. Ia tak menggubris apa-apa. Dibiarkan saja Ze bercerita.

"Tyo, dia... dia selingkuh." jeda, "Gue nggak tau dari kapan, tapi gue menemukan fakta dia selingkuh. Ini bukan pertama kalinya Tyo selingkuh, Lit, I know that very well. Dari zaman gue masih pacaran, gue sering mergokin dia selingkuh. Sampe saat udah tunangan pun, he still doing that. But I can't tolerate him anymore,"

I wanna save myself. I love him but I have to do this to save my own self from pain. I don't want to fight anymore. It isn't worth it, didn't you say that a year ago? I feel guilty for myself. He's nefarious, Litdia. More than just nefarious that he keeps doing this."

"Shh... come here." Litdia memeluk Ze dan kali itu disambut erat oleh sahabatnya, "I'm here."

"Selingkuhannya hamil, Lit. Anaknya udah lahir, perempuan."

Fracture Hepatica|9

Fracture HepaticaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang