Prologue

46.1K 3.2K 153
                                    

Valleah merasakan kakinya yang terasa begitu lemas ketika ia membawa kedua kakinya berjalan di karpet merah yang terbentang panjang memasuki ruangan pernikahan, kedua tangannya bergetar dan ia lalu menurunkan kedua tangannya menyentuh gaun putih pengantinnya. Dan tak ada rangkaian bunga yang bisa ia genggam untuk menutupi tangannya yang bergetar gugup dan takut.

Tak ada alunan musik yang bergema mengiringi langkah kakinya yang sendirian berjalan memasuki altar pernikahan. Gadis itu berjalan perlahan berusaha agar gaun putih panjang pengantinnya tidak tertahan di karpet merah yang cukup tebal.

Ia lalu menunduk ketika pandangannya terpatri ke tempat duduk di samping kanan dan kirinya yang berjajar rapi di dalam ruangan, tampak beberapa orang-orang penting kerajaan disana duduk dengan rapi tanpa ada ekspresi, dan tak ada satupun rakyat kerajaan yang berada di dalam ruangan pernikahan. Seakan pernikahan itu sendiri bukanlah sesuatu yang perlu diberkati oleh para rakyat.

Tentu saja. Rakyat takkan pernah memberkatinya.

Leah masih berusaha agar gaunnya tidak tertahan di karpet tebal nan merah, ia mengangkat kakinya untuk menaiki altar. Dan seorang pendeta sudah berada disana, berdiri memegang kitabnya dengan khidmat.

Leah menahan nafasnya, bukan karena korset ketat yang melingkari tubuhnya dibalik gaunnya namun karena suasana ruangan sangatlah hening. Sungguh sebuah pernikahan kerajaan yang seakan benar-benar tidak di berkati oleh siapapun.

Valleah tidak ingat bagaimana ia bisa berada dalam situasi ini. Ketika ia diundang oleh kerajaan Alexandria untuk makan malam bersama raja dari Alexandria dengan niat untuk memperbaiki hubungan baik antara negaranya dan negara Alexandria. Tentu saja, negara mereka menerima permintaan itu.

Negaranya, Senan adalah sebuah negara kecil yang tengah berada pada batas krisis sandang dan pangan karena musim salju yang semakin hebat dan semakin parah beberapa tahun belakangan. Bagaikan buah segar yang tumbuh diatas gurun, permintaan untuk genjatan senjata adalah sesuatu yang mereka harapkan untuk bisa bekerja sama dengan negara Alexandria yang beberapa tahun mengalami kemakmuran.

Menginggat Senan dan Alexandria adalah dua negara tetangga di sebuah pulau yang mengalami perang konstan selama 200 tahun. Dengan kedua belah pihak yang masih mengalami perang dingin diantara penduduknya.

Dan semuanya memang terasa begitu ganjil, hanya satu orang putri kerajaan yang diundang untuk makan malam. Maka diantara semua putri kerajaan Senan hanya sang putri bungsu yang tidak berusaha lari dan ketakutan ketika surat undangan dari raja Caesar yang terkenal kejam datang. Dengan syarat tanpa pengawal atau siapapun yang berasal dari kerajaan, hanya sang putri seorang diri, dan jika tidak maka kerajaan Alexandria tidak akan mau bernegoisasi. Syarat telak.

Maka, tentu saja kerajaan Senan tidak punya pilihan lain. Iya atau tidak sama sekali. Kesempatan sekali dalam 200 tahun tidak akan pernah terjadi dua kali bukan?

Bagi Leah tidak masalah jika ia akan mati atau di culik oleh kerajaan musuhnya ini. Asal ia bisa berdiskusi dengan sang raja agar memberikan asupan bantuan untuk kerajaannya. Dan sebagai seorang putri, ia tidak punya pilihan lain. Rakyat adalah prioritas utama lebih dahulu dari kepentingan pribadi, itu yang ayahanda ajarkan padanya.

"Bagaimana apakah anda siap, putri Valleah?" Sang pendeta bertanya, berada di depan mimbar, masih memegang kitab tebalnya dengan khidmat.

Leah mengangkat wajahnya lalu menarik nafasnya kembali, tanpa sadar ia mencengkram pelan gaun putih pengantinnya berusaha menetralkan perasaan gugup dan takut yang tak pernah hilang sejak ia berada di tanah kerajaan musuhnya.

"Ya.." ujarnya, nadanya yang lembut terdengar bergetar. Gadis itu lalu kembali mencengkram pelan gaun pengantinnya.

Sang pendeta tersenyum tipis, walau Valleah tidak yakin apakah ia benar-benar tersenyum atau tidak. Dengan mengangkat kitabnya di atas kepala Leah, ia bersuara, "Apakah Putri Valleah Adora Wilson, bersedia menerima Raja Caesar Alexander sebagai seorang suami yang akan selalu bersama di saat susah, senang, bahagia ataupun duka?"

Valleah bergeming. Entah mengapa ruangan benar-benar terasa begitu hening. Belum satu hari ia sampai ke negara Alexandria dan ia bahkan belum sekalipun bertemu dengan raja Caesar. Bahkan lihatnya hanya ia dan sang pendeta yang berada di atas altar.

Hanya rumor yang ia dengar dari kerajaannya, saat saudari-saudarinya bercerita padanya ketika mereka sedang melakukan acara minum teh sore hari di beranda kastil karena salju yang menggunung di halaman belakang. Caesar Alexander III adalah Raja yang dingin, kejam, sadis, tirani, dan tak pernah menunjukkan wajahnya lantaran wajahnya yang terlalu mengerikan. Dan bahkan raja itu mampu membunuh siapapun yang membelot kepadanya. Tanpa terkecuali.

Apakah karena itu raja Caesar tak pernah menampakkan dirinya ketika Valleah datang ke dalam kastil dan bahkan di saat mereka menikah. Karena wajahnya benar-benar hancur juga buruk rupa?

Dan hari ini, Valleah akan menikah pada sosok monster itu. Untuk memperbaiki kondisi kerajaan mereka yang memburuk. Hanya kerena undangan makan malam hingga akhirnya ia harus menjadi pengantin raja Caesar. Leah sadar, ia tidak pintar bernegosiasi. Sehingga ketika juru bicara kerajaan bernegosiasi dengannya tentang gencatan senjata diantara kedua kerajaan, Leah tak bisa mengelak dari satu-satunya pilihan dengan menjadi pengantin raja Caesar untuk terjadinya genjatan senjata.

Rakyat yang menderita butuh bantuan dari kerajaan musuhnya sendiri. Dan rakyat adalah prioritas utama daripada kepentingan pribadi.

Leah semakin mencengkram erat gaun pengantinnya, ia lalu berusaha mengeluarkan suaranya yang terasa tercekat, "Ya, saya bersedia..." suaranya masih terdengar bergetar namun tatapan mata kecoklatan bulat itu menatap pendeta dengan tak gentar.

Sang pendeta kembali tersenyum tipis, ia mengangkat kitabnya kembali kali ini membiarkan kitab itu terjulur di depan mimbar, suaranya terasa begitu dalam, "Yang mulia Raja Caesar Alexander, apakah anda bersedia menerima putri Valleah Adora Wilson sebagai seorang istri anda disaat susah, senang, bahagia dan duka?" Suara dalam sang pendeta adalah suara terakhir yang terdengar di ruangan pernikahan. Hanya hening dan senyap yang bergelayut kemudian.

Leah masih mencengkeram lembut gaunnya, ia menunduk pelan sama sekali tak berani menatap sekeliling. Sunyi dan senyap, sebelum kemudian suara gerbang pintu ruangan yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka perlahan, suara langkah-langkah kaki yang berat berjalan di atas karpet merah nan tebal. Dan Leah bisa merasakan beberapa orang yang duduk di kursi panjang di pinggir ruangan segera bangkit dari tempat duduk mereka dan lalu membungkuk memberi hormat.

Gadis itu sama sekali tak berniat mengangkat kepalanya. Tangannya semakin kuat mencengkram erat gaun putih pengantinnya, tanpa sadar ia kembali menahan nafasnya. Leah bisa mendengar suara langkah kaki yang naik ke altar, berdiri tak jauh disampingnya.

Pendeta mengangkat kitabnya di atas kepala sosok tersebut, lalu kembali bersuara, "Apakah saya perlu mengulanginya yang mulia?" Suara pendeta memecahkan keheningan yang menggelayuti ruangan.

Leah merasakan kakinya yang kembali bergetar dan ia masih menunduk. Sosok di sebelahnya benar-benar raja Caesar dan ia sama sekali tak berani untuk mendongakkan kepalanya. Raja Caesar yang mengerikan. Bahkan auranya saja terasa begitu mencekam.

Sosok itu lalu kemudian perlahan bersuara, "Tidak perlu, Dolf. Aku bersedia," suaranya terdengar kecil dan pelan. Benar-benar kecil dan pelan untuk seorang pria yang dirumorkan kejam dan mengerikan.

Leah berusaha mengalihkan pandangannya dengan mendongak. Ia lalu mendongak perlahan untuk mendapati sosok anak laki-laki berpakaian rapi dengan jas lengkap, rambut hitam kelam dan mata hitamnya benar-benar tajam untuk anak seumurnya. Dan lagi wajah anak-anaknya yang begitu tampan. Anak laki-laki itu berdiri dengan tegap menatap sang pendeta lalu menatap Leah dengan mata tajamnya, sontak membuat Leah bergeming hingga ketika suara pendeta kembali bergaung, "Maka mulai saat ini kalian resmi sebagai sepasang suami istri. Dan semoga kalian selalu di berkati," ujarnya seraya mengangkat kitab dari atas kepala anak kecil tadi ke tengah mimbar.

Valleah membeku ketika anak kecil itu mendekat kepadanya, sama sekali tak ada ekspresi di wajah anak-anaknya yang tampan, hanya matanya yang hitam kelam begitu tajam, "Selamat datang ke kerajaan Alexandria, putri Valleah," ujarnya seraya menarik tangan Valleah yang terasa begitu dingin lalu mengecup punggung tangan gadis itu perlahan, "Dan senang bertemu denganmu pengantinku."

.
.
.
.
.
.

End of Prologue

Caesar's BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang