7.Pabrik

3.8K 143 2
                                    


Batu yang dilempar Hendro melayang melewati pematang sawah dan masuk ke lumpur mengeluarkan bunyi kecipak, "bosen ya, ga ada mainan." katanya pada dua orang sahabatnya, Nino dan Ahmad, kedua sahabat Hendro itu mengangguk pelan tanpa mengeluarkan suara. Setelah Ujian kenaikan kelas mereka berakhir tiga hari lalu, sekolah Hendro dan sahabat-sahabatnya yang masih duduk di kelas tiga SMP memang libur selama seminggu sebelum pengambilan raport hari senin minggu berikutnya.

"kalau di kota kita bisa main PS." kata Nino, ketiga orang sahabat itu memang tinggal di sebuah desa kecil di kaki gunung M di Jawa Tengah. sudah tiga hari ini mereka bermain bola di lapangan di depan sekolah dan sekarang mereka bosan. teman mereka yang keempat, Tanto, yang rumahnya biasanya mereka hampiri ketika mereka sedang bosan bermain di lapangan tidak bisa didatangi. Tanto dan keluarganya sedang pergi ke kota J, di desa itu hanya keluarga Tanto yang punya cukup uang untuk membeli barang-barang mewah seperti TV layar lebar dan Mobil.

Hendro bangkit, "sudah ya, aku pulang dulu."

"jangan! aku ada ide, kita uji nyali ke pabrik yuk." kata Ahmad, wajahnya terlihat bersemangat, acara TV favoritnya memang Uji nyali yang ditayangkan tiap malam di salah satu stasiun TV swasta. Pabrik yang dimaksud Ahmad adalah sebuah pabrik gula yang sudah tidak dipakai di bagian paling ujung desa, pabrik itu sudah tidak dipakai sejak Ahmad kelas empat SD. para orangtua melarang anak-anaknya pergi kesitu karena alasan yang tidak mistis sama sekali sebetulnya, mereka takut pipa-pipa berkarat dan alat-alat yang sudah tua melukai anak-anak kalau mereka bermain disitu. walau beberapa cerita mistis memang mewarnai tempat tersebut, salah satu yang paling sering diceritakan adalah cerita soal nenek abu-abu, nenek berbaju abu-abu yang katanya menggendong bayi seukuran pria dewasa di punggungnya.

Hendro tertawa, "mosok, uji nyali siang-siang."

"yasudah, nanti maghrib kesini lagi, berani tidak." tantang Ahmad.

"berani." Hendro tidak mau kalah, kemudian mereka bertiga berpisah pulang ke rumah masing-masing.

ketika Matahari mulai bersembunyi di lereng gunung, ketiga sahabat itu kembali berkumpul di pinggiran sawah milik keluarga Tanto.

"ayo." Hendro langsung mengajak dua orang sahabatnya itu berjalan ke arah pabrik. atap pabrik yang sudah tua mulai terlihat, atap itu melengkung di tengahnya menandakan kayu yang menahan atap tersebut sudah mulai lapuk atau bahkan sudah patah. tiga orang sahabat itu berkenti di pagar berkarat yang membatasi pabrik itu dengan daerah luar. Nino menyalakan senter dan menyorot dinding penuh coretan dari pabrik gula tersebut.

"hei, no! matikan senternya dulu, nanti ketahuan." Hendro memarahi Nino.

Ahmad melempar sebuah tali yang diberi pemberat ke seberang pagar, mengikatnya dan mulai memanjat pagar berkarat itu untuk masuk ke dalam, pintu pagar pabrik tersebut dirantai dan digembok, walaupun pagarnya sendiri telah berkarat dimana-mana, bahkan warna putih pagarnya sendiri telah berganti menjadi merah karat, namun rantai dan gembok yang mengikat pagar itu masih terlihat baru.

langkah ketiga orang anak itu berkeresak di lapangan berpasir di depan pabrik, di kejauhan terdengar jeritan binatang yang tidak mereka ketahui jenisnya. Hendro mulai terlihat gelisah, namun dengan keras kepala dia mencoba menutupi kegelisahannya itu dengan menyiulkan sebuah lagu.

"dimana kita mau uji nyali Mad?" tanya Nino.

Ahmad menunjuk sebuah gedung kecil yang terpisah dari pabrik, sepertinya dulu dipakai sebagai kantor administrasi, pintu gedung tersebut terbuka sedikit, hampir semua jendela dari gedung tersebut telah menghilang. Hendro memandang berkeliling, senternya terkadang diarahkan ke tempat-tempat gelap yang sekarang mulai bermunculan seiring dengan terbenamnya matahari.

After Midnight Ghost Stories Vol.4Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang