1

277 3 5
                                    

Darpad melemaskan jemarinya, dua jam lamanya dia menulis tanpa henti. Nyeri, ketika ditariknya seruas jari hingga muncul bunyi nyaring ditengah keheningan malam.

Istri dan ketiga anaknya sudah tertidur pulas sejak beberapa jam lalu. Hanya ada sebuah lampu belajar, beberapa helai kertas dan bulpoin yang digenggamnya. Matanya nyalang, menatap kegelapan dibalik jendela kaca berkusen jati.

Inspirasinya hilang. Ide-ide yang tadi berterbangan di otaknya hilang dengan sekejab.

Darpad mengerang, matanya pedih menahan kantuk. Jam dinding sudah menunjukkan pukul tiga pagi, sudah terlambat untuk tidur, dia tak ingin merepotkan istrinya untuk membangunkan dirinya nanti.

Berkali-kali Darpad menghela nafas berat, rokoknya sudah habis seberapa waktu yang lalu, puntung-puntung rokok berserakan di bawah meja, Parwati pasti marah bila mengetahuinya.

Pikirannya bercabang kemana-mana, memikirkan kehidupan serba berkecukupan yang tidak pernah membuat Darpad menikmatinya, entah.., serasa ada yang mengganjal saat ini.

Tidak ada kekurangan untuk hidupnya saat ini, bagi pria berumur 37 tahun sepertinya, memiliki rumah sendiri dengan tiga buah kamar dan keluarga bahagia yang selalu mendukungnya merupakan anugerah tersendiri.

Tangannya meraih sebuah figora kecil diatas nakas disamping meja kerja. Disana tampak dirinya, Parwati dan ketiga anaknya sedang tersenyum lebar. Anak mereka, Cathy, Agni, dan Achir. Tak sadar,sudut bibirnya terangkat, samar.

Anak-anak yang begitu dibanggakannya sudah semakin besar sekarang, dia masih ingat saat membuai Canthy dalam pelukannya dulu, beberapa saat setelah dilahirkan. Pipinya bulat dengan hidung mancung serta bulumata yang begitu lentik, wajahnya sangat mirip dengan Parwati, banyak orang berkata seperti itu juga. Tapi selang berjalannya waktu dia baru menyadari bahwa putrinya tersebut sangat mirip dengannya bahkan semacam duplikat kecilnya sendiri.

"Amaa!"

Sebuah teriakan terdengar.Achir, Si bungsu terbangun dari tidurnya, dan menangis dengan kencang, memanggil ibunya. Darpad berlari menaiki tangga menuju kamar Achir, tak ingin membuat Parwati terbangun.

"Achir, jangan menangis, ada Baba disini." Darpad merapatkan tubuhnya kepada Si bungsu, Achir paling penangis diantara semua saudaranya, dia bisa menangis karena hal-hal sepele yang mungkin sangat tidak biasa untuk bocah laki-laki seumurnya. Tak kelak para saudaranya suka menggodanya, hingga membuatnya menangis, dan pada akhirnya Darpad lah yang bertindak, menghukum kedua anaknya yang lain.

kehamilan Achir yang paling sulit untuk Parwati. Dia menendang dan menyiksa ibunya saat masa kehamilan. Parwati hanya bisa tergolek di atas tempat tidur,tubuhnya lemas, karena semua makanan yang dia makan pasti akan dimuntahkan kembali. Serta proses kelahiran yang sangat membuat Parwati kesakitan. Begitu pula saat menyusu, Achir seolah menyedot keluar semua air susu Parwati hingga ketulang, menimbulkan luka lecet di puting Parwati.

Tapi dia yang paling disayang oleh Darpad. Mata kecoklatan polos dengan rambut hitam ikal panjang menyentuh telinga begitu menggemaskan untuk anak seusianya.

"Baba, aku mimpi buruk. Ceritakan sebuah dongeng Baba." rajuk Achir.

"Tidurlah sekarang Achir, hari masih terlalu dini. Jangan bangunkan kakak-kakakmu"

Raut mukanya menampakkan protes, ditariknya lengan baju Darpad dengan keras dan mulai menangis kembali, kali ini tangisnya lebih keras dan meronta-ronta.

"Ada apa ini?" Darpad sontak menoleh kebelakang dan mendapati istrinya sedang berdiri di depan pintu sambil mengucek matanya.

Parwati, perempuan desa yang dia nikahi lima belas tahun yang lalu, tubuhnya bulat, dengan mata yang lebar serta memiliki sebuah tahi lalat di bawah bibir sebelah kirinya. Wajahnya begitu keibuan, jemari gemuknya dengan sabar menimang ketiga anaknya, serta tangan itu pula yang sering memijat kepala Darpad saat susah tidur.

DarpadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang