Sebelumnya maaf, apabila cerita ini sangat lambat dalam hal pembaruan, karena penulis sendiri juga perlu menyesuaikan emosi dalam prosesnya.Terimakasih sudah membaca cerita saya.
Silahkan tinggalkan komentar anda tentang cerita ini sebagai saran pengembangan diri untuk saya.Mungkin cerita ini akan saya unpublish sementara waktu, karena kesulitan saya sendiri dalam proses penulisannya. Cerita ini sebenarnya sudah saya tulis hingga part yang ke-10.Tapi sekali lagi, saya merasa agak kurang nyaman dengan cerita ini.
Selamat membaca.
--
Saat aku terbangun, matahari sudah tepat dipucuk kepala. Sinar nya menembus gorden tipis berlubang penutup jendela ruangan ini. Sesaat aku sadar bahwa baju yang kupakai sudah berganti, selang infus menancap di pergelangan tanganku, dengan perban membebat kepalaku.
Ruangan ini begitu asing untukku, sebuah radio menyala dengan lirih. Lantai semen serta tembok dengan cat yang sudah mengelupas di sana-sini. Bahkan suasana di dalam ruangan ini terasa begitu lembab.
Saat aku berusaha bangun, seorang perawat memasuki ruangan. Wajahnya tampak seperti orang luar, kulitnya putih kemerahan dengan rambut dikuncir tinggi. Matanya tampak lelah, kantung mata hitam melingkar dibawah matanya. mungkin dia tenaga medis relawan saat perang india pakistan terjadi dulu."bagaimana kondisimu? "
Aku hanya diam, aku tak terbiasa untuk berbicara dengan orang asing. Dia bergerak mendekat.
"Syukurlah kau bisa sadar sekarang. Dan laki-laki yang membawamu kemari, dia siapa? " tanyanya dengan sebuah senyum yang nampak sangat dipaksakan.
Seketika aku teringat ayah, ini sudah siang. Dan aku disini sendiri. Pikiranku panik, memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi padaku sekarang. Saat hendak menurunkan kaki kananku, aku terjingkat sedikit menahan sakit. Dan saat kubuka selimut di bawah perutku baru aku tersadar bahwa bukan cuma kepala ini yang dibebat perban, kaki ku juga, tapi dengan dua papan juga yang mengapitnya.
"Tenang lah, kau akan merepotkanku lagi kalau terjadi sesuatu!". Ucapnya sedikit ketus sambil membenarkan letak kakiku yang sedikit bergeser ke samping ranjang."Dimana ayahku? "
Mataku seketika rabun, air mata menetes begitu saja, tak lama rengekan terdengar. Tak kupungkiri, saat itu aku begitu takut. Walaupun pemikiranku kuat, aku masih tak lebih dari seorang bocah kecil. Aku menangis dengan keras, perasaan takut kehilangan dan kepanikan memutari benak ku saat itu.
Air mata mengalir dengan deras, tanganku memukul-mukul ranjang dengan keras.
"Jangan menangis, suaramu bisa mengganggu yang lain. Tenang saja semua perawatan ini sudah dibayar, kau tidak perlu takut. Namaku Cathrine, panggil aku jika ada apa-apa nanti". Ucapnya sedikit pelan, suaranya terasa mengintimidasi dan dielusnya rambutku lembut.
"Kemana ayahku pergi? " Kuberanikan untuk mengangkat kepalaku sekarang dan menatap matanya sendu.
"Siapa ayahmu? Lelaki yang membawamu kemari atau yang sedang menunggumu diluar? "
Apa maksud perempuan ini. Otak ku masih belum mencerna sepenuhnya perkataan Cathrine hingga aku terdiam lagi dengan sisa tangisku.
"Ah sudahlah, percuma berbicara dengan anak sepertimu. Akan kupanggil pria yang sedang menunggumu itu. Jangan bergerak terlalu banyak, kau masih ingin bisa berjalan dengan normal kembali kan? " Ucap Cathrine seraya membuang nafas berat dan meninggalkanku.
Aku takut disini. Jika hari sudah siang sekarang, jadi sudah dua hari aku meninggalkan rumah. Bagaimana keadaan Syafir saat ini. Dia pasti menangis saat bangun dan tidak melihatku disampingnya. Bagaimana jika Parwana memperlakukannya dengan kasar.
Syafir sangat takut dibentak, bahkan saat matanya bertemu Parwana dia akan menyembunyikan wajahnya di belakang tubuhku. Tapi, kini dia sendiri disana. Ketakutanku tentang kehilangan ayah dan kesendirianku di tempat ini seketika hilang dan berganti dengan bayang-bayang tubuh kurus Syafir sedang menangis meringkuk sambil memanggil-manggil namaku.
Kerinduanku memuncak sekarang, andai aku tak menuruti perkataan ayah dan bersikeras untuk tinggal di rumah,mungkin saat ini aku bisa tetap bermain bersama Syafir. Mendengar ocehan-ocehan polos yang keluar alami dari bibirnya, dan melihat gelengan kepalanya saat dia berbicara
Aku takut.
Takut dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi pada Syafir. Memang aku tidak begitu tangguh untuk melindunginya. Sungguh kebodohan jika menganggap tubuhku begitu kuat untuk melindunginya, tapi kebodohan terbesar lainnya adalah ketika aku tidak cukup berani menolak perintah ayah.
Hingga sampau pemikiranku tentang Syafir membutakan pikiranku dan berani berteriak di depan wajah ayahku sendiri. Bahkan pasir dan langit malam pun menjadi saksi saat api-api kemarahan yang sudah tertahan di tenggorokan meluap dengan bebas.
Lega.
ikatan takdir memanggilku untuk segera kembali ke desa, pulang dari tempat yang tampak sangat asing untuk ku.
Pandanganku berputar mengelilingi kamar, mencari petunjuk-petunjuk yang dapat sedikit kumengerti. Syafir sedang dalam bahaya saat ini, aku harus segera kembali pulang dan memastikan dirinya baik-baik saja.
Pandanganku terus berjalan hingga terhenti di pintu kamar, lebih tepatnya diluar pintu.
"Anakku Darpad."
Mungkin sekarang bukan Syafir yang sedang bahaya tapi aku.
--
KAMU SEDANG MEMBACA
Darpad
General FictionAku membuatnya iseng saja. Selamat membaca. Saya melupakan pemakaian EYD dan pemakaian tanda baca yang benar. Saya menulis apa yang saya rasakan disini, emosi dan pemikiran pure saya curahkan disini. Semua hanya fiksi belaka, diharapkan kebijaks...