2

59 2 3
                                    

Sebelumnya aku mau berterimakasih kepada para readers yang sudah meluangkan waktu untuk membaca karya saya yang masih banyak kekurangan disana sini. Saya pasti akan berusaha untuk lebih baik lagi.

___

Saat aku tiba, Syafir sudah menungguku di teras rumah. Kakinya ditekuk ke dada, matanya berbinar saat melihatku, namun berubah muram saat melihat darah di kakiku.
"Papad, kakimu berdarah"
"Ini bukan darah, masuklah Syafir matahari sudah tenggelam"
"itu darah!"
"Apa kau sudah makan?"
"Itu darah!"
"Ayah bawa apa kali ini? ubi? atau mungkin jagung?"
"Itu darah!"

Sudah menjadi ciri Syafir, dia akan mengulang perkataannya hingga dia mendapat jawaban yang diinginkan.

"Papad pergi ke kuil tadi, persembahan di sana sangat meriah. Ada persembahan untuk Dewa Kresna, semua orang pergi membawa persembahan, hanya aku yang berangkat dengan tangan kosong, sebagai ganti, aku berjalan tanpa alas kaki kesana membuktikan pada dewa bahwa aku juga membawa 'persembahan' untuknya. Dan nampaknya Dewa Kresna terkesan dengan persembahanku, dia memberikan bulu merak yang ada dikepalanya untukku," ucapku sambil mengulurkan bulu merak yang sedari tadi kusembunyikan di balik punggungku. Matanya sekejap berbinar kembali, dia tersenyum sumringah.

"Dewa memang tau yang membuat hambanya bahagia." Syafir berlari kearahku, mendekap kakiku erat. Senyumnya tercetak jelas.

***

Musim panas sedang melanda India. Panas nya membakar kulit, hingga telapak kaki terasa terbakar saat menginjak tanah.

Seperti biasa, Syafir bermain dengan Dopi, anak anjing kudisan yang sebelah telinganya sudah hilang. Anjing itu begitu penurut, mengikuti kemanapun langkah Syafir pergi. Ekornya bergerak kecil saat melihat Syafir, Dopi akan tidur di depan pintu, yang keesokan harinya akan dipukul sapu oleh Parwana. Tapi dia tak pernah menyerah. Mungkin dia merasakan daya magnet Syafir, daya yang sudah mempengaruhiku pula.

Kami duduk di teras rumah, beralaskan tanah. Menunggu ayah pulang. "Apa ibu dulu cantik Papad?" Syafir mendadak bertanya padaku, matanya menuntut.

"Parwana ibumu Syafir"
"Kau benar Papad, aku memang Dewa krisna. Aku pun memiliki dua ibu.".
"Bukan kah itu bagus?"
"Aku hanya tidak melihat cinta Yahsoda disana"

Aku terdiam, tidak mengiyakan dan tidak menyangkal. Syafir sudah begitu dewasa untuk usianya, pemikirannya pelik. Sangat tidak adil berkata kebohongan untuk anak bermental lautan sepertinya. Untuk anak seumurnya, dia mengerti apa yang orang sekitarnya bicarakan. Dia merasakan dan mengerti situasi dengan cepat, walaupun akal dan imajinasi masih sulit dipisahkan untuk anak seusianya

Mungkin dulu aku begitu lemah. Jiwa ku terbakar, Apinya memberontak, tapi selalu tertahan di tenggorokan. Hingga hanya senyum dan tangis yang bisa ku keluarkan.

Aku tak pernah menyangkal ayah, berlagak jagoan di depannya. Aku tak akan pernah berani. Diriku begitu kecil dulu.

Siapa aku saat itu?, saat ayah menyambukku dengan keras, aku hanya diam, tidak melawan. Meskipun aku tidak bersalah.

Memukul anak tetangga yang sudah mendorong Syafir jatuh ke sapiteng desa, tentu bukan sebuah kesalahan. Wajah Syafir ketakutan saat itu, aku tidak bisa menahan untuk tidak memukul kepala bocah itu dengan sebongkah batu hingga tak sadarkan diri. Aku cinta adik ku, lalu apa aku salah?

Perkonomian keluarga kami sedang buruk kala itu. Memang selalu buruk, tetapi saat itu lebih buruk dan terpuruk. Musim panas berkepanjangan mematikan mata pencarian ayah. Semua akan sirna saat musim panas. Hanya ada angin panas dan terik mentari yang terasa, air di sumur-sumur warga mulai mengering. Ayah dan Parwana beradu mulut, memikirkan hendak makan apa hari ini, hendak diapakan perut-perut kelaparan ini.

Syafir dan aku sudah tahan dengan semua ini, lapar bukan kawan baru untuk kami. Sehari kita hanya makan sekali, di sore hari. Bergantung hasil lahan ayah, harap-harap membawa jagung ataupun ubi sisa panen. Tawa Syafir sudah cukup menghilangkan rasa kelaparanku, dia selalu tertawa dengan tulus, matanya, matanya tidak pernah berbohong untuk segala hal.

--

"Mau sampai kapan kau duduk disana?"
Parwati menepuk pundakku pelan.

"Lekaslah mandi, dan bersiap-siap. Aku akan siapkan sarapan." Ujarnya lembut.

Aku terkesiap, inilah yang membuatku tak pernah berhenti jatuh cinta padanya. Sikapnya menyayangi segala kekuranganku dan anak-anakku membuatku mabuk.

Setelah sarapan, aku mengantar anak-anak pergi sekolah. Pagi ini cuaca cukup cerah, cukup bersahabat untuk pergi piknik dengan keluarga.

"Apa kita akan mengunjungi ayah?", Parwati bertanya.
"Mungkin tahun depan, bukan kah kita sedang sibuk sekarang"
"Apa yang kau maksud sibuk itu?, pergilah. Kau sudah tidak pulang untuk sepuluh tahun terakhir ini."
"Nanti."
"Bukankah penyesalan selalu ada di akhir."

"Jangan simpan dendam itu terus menerus, itu yang akan membakar dirimu sendiri." Imbuhnya.

Parwati pergi. Aku terdiam. Membayangkan kondisi India setelah ku tinggal sekian lama. Banyak kenangan yang tidak ingin kuingat disana, tapi entah mengapa selalu ada rasa untuk pulang. Aku sudah memikirkan kesempatan ini untuk berapa ratus kalinya. Untuk pulang kembali dari tanah pelarian.

Aku selalu mengelak dari semua pertanyaan mendesak Parwati. Dia ingin aku mengajaknya pulang ke India. Ke tanah asalnya pula. Tapi lagi-lagi aku mengelak, kenangan masa lalu begitu meremukkan hatiku, bahkan untuk mengingatnya saja aku sangat kesakitan, bagaimana bisa aku pulang kesana.

--
"Naiklah." Ayah berkata padaku
"Kita mau kemana yah? sepagi ini?", masih teringat jelas di ingatanku. Kala itu mataharipun masih belum mau menunjukkan sinarnya.
"Sejak kapan kau jadi banyak tanya seperti ini?"

Dan aku diam, aku tidak tau hendak kemana aku pergi. Ayah menarik gerobak yang kunaiki. Yang pasti saat itu, Syafir masih tertidur pulas. Rambut kemerahannya menutup setengah wajahnya. Tubuh kurusnya tertutup selimut hingga ke leher.

Ayah menarik gerobak dengan nafas yang berhembus. Perlahan gerobak ini membelah gurun yang kami lewati, teriknya matahari sangat menyakiti kulit. Aku tidak tau kenapa ayah membawaku sejauh ini, apa yang dia rencanakan.

"Kau sayang kepada adikmu kan?"
Ayah memecah keheningan, aku hanya terduduk sedari tadi. Memikirkan segalanya.
"Syafir?"
"Siapa lagi adikmu?"
"Dia hatiku"
"Kau sayang pada ayahmu ini?"
Aku diam..ayah masih menunggu jawabanku.
"Kau otakku"
"Beruntungnya aku kalau begitu. Aku tak pernah berpikir menjadi seperti ini saat aku masih muda dulu Darpad. Kehidupan yang mapan jadi harapanku dulu. Tapi ini yang terjadi."

Ayah terus berjalan, menarik gerobak yang kunaiki.
"bukannya menyesal tidak ada gunanya ayah, cukup sirami saja benih yang kau tabur. Walaupun itu benih kaktus sekalipun. Bukankah kau menanamnya karena menginginkannya."

Ayah tertawa renyah, bahunya bergetar karena tertawa. "Siapa yang membuatmu jadi pandai bicara seperti ini Darpad? kau sudah tumbuh lebih kuat dari yang kubayangkan."

"Hatiku, hatiku yang melakukannya. Semua dilakukan oleh hatiku"
"Gunakan otakmu juga. Kadang hati dapat menjebakmu nanti."
"Aku tidak ingin jadi seperti mu."

Sekejap ayah terdiam. Dia berhenti melangkah, berputar arah kepadaku. Matanya menatapku mantap.

"Kau membenciku Darpad?"
"Hatiku yang melakukannya, aku mengikuti hatiku."

Ayah membuang nafas kasar, dia berbalik lagi. Melanjutkan langkahnya.

"Ikuti saja hatimu. Otakmu memang tidak berguna sekarang, tapi nanti kau akan mengerti semuanya, memahami segalanya. Kehidupan yang akan membentukmu, melatihmu dengan keras. Cukup gunakan hatimu, simpan otakmu disaat genting. Dan kuharap itu semua belum terlambat"

"Kita adalah teman hidup Darpad. Sudah sepantasnya kita saling memanfaatkan. Jangan terlalu naif nanti. Genggam hatimu, terus genggam, jangan pernah lepaskan barang sedetikpun"

Aku masih diam.., aku mencerna perkataan ayah. Ini pertama kali dia berbicara sebanyak ini kepadaku. Pikiranku masih tertinggal di Syafir, kenapa ayah membawaku seperti ini. Inilah yang dinamakan saling memanfaatkan?

DarpadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang