3

41 2 2
                                    

Perjalanan itu terus berlanjut, membelah padang pasir yang tanahnya terasa begitu kering. Angin malam berhembus kencang,  hingga kain tipis yang kutudungkan di kepalaku berkibar ekornya.

"kita mau kemana?" tanyaku pada ayah, yang lebih banyak diam dengan posisi memunggungiku.

"jauh,  kita akan pergi jauh"
"kenapa kita tinggalkan Syafir?"
"bukankah kita harus berpindah jika ladang yang kita miliki sudah terlalu kering,  bukankah begitu seharusnya Darpad? "
"jangan pisahkan aku dengannya"

Ayah terdiam, kita hanya berhenti sebentar untuk beristirahat dan sesekali makan perbekalan yang kita punya

Ingatanku kala itu melayang ke Syafir, kecintaannya pada bulu unggas begitu besar. Semua bulu unggas itu akan dikumpulkan pada sebuah kotak teh tembaga bergambar seorang pria berjanggut panjang yang sedang memegang sebuah cangkir lengkap dengan asap yang mengepul di atasnya.

Aku hanya berharap, ingatanku tentang Syafir tidak akan pernah hilang. Rasanya ingin kukembalikan semua ingatan-ingatan yang kupunya tentang dirinya.
Tapi dulu aku pun masih terlalu kecil, bahkan banyak hal-hal yang sudah dengan sendirinya hilang dari ingatanku.

Malam itu aku pun bermimpi. Mimpi buruk yang terasa begitu nyata.

Syafir berdiri membelakangi sebuah jurang,  matanya begitu kosong,  dan dia bertelanjang kaki. Aku berusaha memanggilnya tapi semua terasa begitu jauh,  bahkan kaki ini tak bisa bergerak walau hanya selangkah.  Rambutnya tertiup angin, dan perlahan matanya tertutup. Entah apa,  angin itu begitu kuat hingga meniup tubuh mungil Syafir jatuh ke dalam jurang.

"Syafir!! "

Ku terbangun dengan langit malam membentang diatas wajahku. Untuk pertama kalinya,  aku merasa begitu dekat dengan bintang, seolah bintang-bintang itu hendak merajam tubuhku.

Air mataku mengalir,  sungguh apa yang terjadi pada Syafir. Apa ini yang dimaksud cinta,  rasanya begitu pedih untuk berpisah walaupun masih belum semalam kami berpisah. Aku tak bisa membayangkan bagaimana takutnya Syafir saat terbangun dan tau aku tidak ada disana.

"Kenapa kau teriak saat hari gelap seperti ini? " Ucap ayah menyadarkanku.
"Bisakah kita kembali pulang?  Syafir menginginkanku"
"Kita sudah dekat. Perjalanan tinggal beberapa jam lagi. Tidurlah sekarang,  pagi-pagi sekali kita lanjutkan perjalanan"
"Apa kau tuli?!  Aku ingin pulang,  silahkan pergi sendiri,  aku pulang sekarang!"

Untuk pertama kalinya,  aku meninggikan suaraku kepada Ayah. Keberanian yang sudah tertahan begitu lama meledak sekarang. Aku beranjak bangkit, dan berjalan berlawan arah dari tujuan awal kami. Tekadku membulat, toh apa ruginya untukku, ayah membenciku pun aku tak peduli,  pikiranku hanya untuk Syafir kala itu.

"Berhenti dan berbalik lah sebelum aku mengejarmu nak!"

Suara dingin ayah begitu mengintimidasi malam itu,  padang pasir ini begitu sunyi,  hingga suara ayah begitu menggelegar memecah hening. Tapi pantang bagiku untuk berbalik. Aku berlari sekuat tenaga. Tapi pantang pula bagi ayah untuk mengulang ucapannya.

Ayah berlari mengejarku. Ayah begitu cepat, mencengkram lenganku dengan erat dan melayangkan tinju mentahnya ke pipiku, aku ambruk seketika.

"Berbaliklah saat aku berkata berbalik, berjalanlah saat aku berkata jalan,  dan menangislah saat aku berkata menangis. Hanya itu yang bisa kau lakukan di kehidupan ini, kau begitu kecil, jangan bergaya sok didepanku. Naik ke gerobak sekarang, kita mulai perjalanan." ucap Ayah dingin seraya berbalik meninggalkanku.

Saat ayah berpaling, aku mencoba bangkit kembali. Rasa getir darah dari ujung bibir ku serasa menjadi pengobar amarahku,  aku berlari lagi.

Aku tau ayah melihatku saat aku berlari, dan dia mengejarku lagi. Padang pasir ini serasa tak berujung,  aku berlari dan ayah mengejarku,  hingga sebuah batu mengenai belakang kepalaku.  Ayah melemparkan batu yang kuyakini sudah membuat darah bercucur di kepalaku.  Tubuhku limbung dan semua nya menjadi buram. Ayah mendekapku, napasnya memburu saat itu, aku berharap ayah akan menghawatirkan kondisiku saat itu.  Tetapi aku salah,  Ayah malah melindas kaki kananku dengan roda gerobak hingga tulang betisku berasa patah. Aku berteriak kencang seperti aku sudah menyentuh batas kesakitanku.

"Maafkan laki-laki pengecut ini nak"

Semuanya menjadi gelap.



DarpadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang