Gadisku

9.8K 961 99
                                        

Gadisku,

Aku masih ingat ketika pertama kali tangisanmu menggema di ruang bersalin. Suatu kehormatan untukku memiliki kesempatan untuk mengumandangkan adzan di telinga mungilmu. Kamu begitu mungil dan rapuh, aku bahkan ragu apakah kelak kamu mampu bertahan menghadapi kerasnya dunia. Maka aku persiapkan dirimu untuk menghadapi itu semua. Kuajari kamu tentang makna hidup dan berserah diri.

Ketika waktu berjalan begitu cepat, sebagian diriku bersiap-siap untuk menyerahkanmu pada lelaki lain jika waktu itu tiba, sebagian diriku memohon pada Tuhan untuk memperlambat waktu, agar waktuku masih cukup untuk mendampingimu. Kamu tak pernah tahu bagaimana khawatirnya aku setiap kamu menerima telepon dari teman lawan jenismu, apalagi ketika mereka mulai berani menginjakkan kakinya ke rumah. Aku khawatir mereka tak mampu menjadi tumpuanmu menghadapi kerasnya dunia, sebagaimana aku menjadi tumpuanmu selama ini.

Lalu keadaanku tak lagi sama. Aku sudah renta, tak sekuat dulu. Kamu dengan berani mengambil sebagian tugasku. Kamu tak pernah tahu bagaimana malunya aku. Maafkan aku yang telah merenggut separuh kebebasanmu. Tapi kamu tak pernah mengeluh, meski aku senantiasa melihat wajah cantikmu diwarnai peluh. Meski begitu, kecantikanmu tak pernah hilang. Peluh atas pengorbananmu memperkuat kecantikan dalam dirimu. Ada sebagian dalam diriku yang tak ingin banyak lelaki melihatnya, agar kamu tak disakiti oleh mereka. Saat itu aku menyadari suatu hal ... Kamu butuh tumpuan yang lebih kuat daripada yang pernah kuberikan.

Setiap kamu berulang tahun, aku selalu mempersiapkan diriku. Barangkali ini waktunya aku menyerahkanmu. Juga setiap aku ulang tahun, aku bertanya-tanya, mungkinkah ini waktu terakhirku? Ada satu doa yang selalu kupanjatkan, yaitu agar Tuhan memberiku waktu untuk menyerahkanmu pada lelaki terbaik yang kamu yakini mampu memberikan tumpuan yang lebih baik daripada aku.

Kemudian lelaki itu datang. Duduk di depanku. Meminta izin padaku untuk memilikimu. Sebagian kecil diriku berharap dia hanyalah anak lelaki yang cuma punya modal nekat, sehingga aku dengan mudah akan menolaknya, maka kamu tidak akan lepas dari pelukku. Namun ketika mata tegasnya mengucap janji padaku, serta latar belakangnya yang memperkuat ketegasan itu, aku mengalah. Aku tak mampu menolak ketulusan dan ketegasannya. Aku harap kamu tak salah pilih, aku harap aku tak membuat keputusan yang salah. Maka aku berusaha sembunyikan air mataku dalam pelukmu. Aku tidak percaya hari itu tiba secepat itu. Rasanya baru kemarin aku mengumandangkan adzan di telinga mungilmu, kini aku harus bersiap menyerahkan dirimu pada orang lain yang baru kukenal.

Pencarianmu berakhir. Lalu Tuhan mengabulkan doaku dengan memberiku waktu untuk menyerahkanmu pada lelaki itu, melihatmu tampak anggun dengan gaun putih. Kamu menangis saat itu. Tangisanmu seolah mengoyak hatiku. Aku berbisik, jangan menangis, ini bukan perpisahan kita, aku hanya menitipkan kamu padanya. Kita akan terus bersama sampai kapanpun, hanya saja ... aku tak lagi menjadi tumpuanmu.

***

Kertasburam (Rasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang