Akai.
Yang kuingat pada hari itu adalah warna merah. Warna merah yang menghiasi tubuh ayahku. Warna merah yang tanpa henti keluar dari lubang-lubang di dada bidangnya.
Apa lagi yang kuingat? Hening?
Meski saat itu aku berteriak kencang, aku tak bisa mengingat seberapa kencang teriakanku memamanggil ayahku.
Otousan. Otousan.
Berulang-ulang aku memanggil ayah namun aku tak bisa mengingat bagaimana intonasi dan tinggi suaraku saat itu.
Dunia seakan melambat. Waktu seakan melambat. Semua serasa melambat. Bergerak dalam gerakan slow-motion di mataku.
Aku ingat wajah menangis ibu yang menahan tubuh kecilku. Melarangku menghampiri tubuh ayah yang tergeletak di podium. Meski aku tau sebenarnya ibulah yang paling ingin berada di samping ayah saat ini. Aku bisa mengingat saat ibu memelukku erat dengan kedua tangannya yang bergetar itu.
Aku juga ingat wajah bersalah milik paman Harold, teman dari ayah dan ibuku, yang tampak tak tau harus berbuat apa karena terjebak antara pekerjaan dan perasaannya. Berbanding terbalik dengan istrinya, bibi Shenez, yang menatap dingin ayah lalu ibu yang memelukku aku seakan pemandangan itu tak terlalu berarti baginya.
Meski ibu berusaha menutupi wajahku dalam pelukannya, aku masih bisa melihat wajah sekarat ayah yang tersenyum lembut ke arah kami dengan bibirnya yang berlumur darah. Meski tak terdengar, aku mengerti perkataannya dari gerakan mulutnya.
"Hiduplah bebas, (Y/N). Jagalah okaasan. Otousan mencintaimu."
*****
"(Y/N)-chan, ayo makan malam bersama," tersenyum lembut, ibu menjemputku di kamar untuk makan malam.
Tiga hari telah berlalu semenjak ayah di eksekusi secara publik di alun-alun kota. Wajah tersenyum ibu yang tetap lembut seakan tak terjadi apa-apa sedikit menghibur hatiku meski jauh di dalam hatiku, aku mengerti betapa besar rasa kehilangan ibu saat ini.
Tetap diam, aku yang masih anak-anak itu hanya bisa mengikuti ajakan ibu tanpa membantah. Aku hanya tak ingin menambah beban di hati lembutnya.
Kami makan malam tanpa banyak bicara. Tak ada canda tawa sebagaimana ketika ayah masih ada. Sepi sekali. Aku merindukan ayah. Meski ibu tetap tersenyum padaku, aku yakin ibu pun merasakan hal yang sama denganku.
Seusai makan, ibu mengajakku membaca di ruang keluarga. Membaca buku tulisan ayah yang sesungguhnya seorang penulis yang terkenal. Kami membaca buku yang biasa kami baca bertiga bersama ayah. Buku yang hanya ayah tulis untuk kami bertiga, tidak untuk dipublikasikan.
"Okaasan. Apa okaasan merindukan otousan?"
Lama dalam diam, akhirnya aku memulai pembicaraan.
"Hm-mm. Bohong jika okaasan bilang tidak," jawab ibu tersenyum tetap lembut.
"Okaasan, kenapa ayah dibunuh hanya karena menulis buku?"
Lama ibu terdiam tak menjawab pertanyaanku. Wanita berwajah anggun itu hanya menatapku tak berdaya seakan tak sanggup menjawab pertanyaan polos seorang anak kecil itu.
Dengan tangannya yang halus, ibu membelai wajah bundarku penuh sayang.
"(Y/N)-chan, otousan dihukum bukan karena menulis buku. Tapi karena mereka yang tidak mengerti kebebasan yang otousan lukiskan dalam buku ini. Yaitu mengenai keindahan dunia di balik dinding sana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hontou no Sekai wa Matteru (Levi X Reader) 【SLOW UPDATE 】
Fanfic"Munculnya Jiyuu no Onna beberapa tahun terakhir merepotkan kepolisian Militer kerajaan. Wanita misterius yang dikabarkan selalu menyanyikan lagu kebebasan di khawatirkan akan mempengaruhi pola pikir rakyat. Berbeda dengan kerajaan yang ingin menang...