🦋 SATU 🦋
~ Prolog ~Wwuuusshh....
Angin malam berhembus begitu sepi, dingin, dan beku.
Tubuh berbalut dress putih selutut itu kini sudah berdiri di tepi jurang dengan tatapan kosong. Entah mengapa, setelah jauh berlari dia akhirnya berakhir di sini, di hutan belantara dan jurang lepas entah sedalam apa.
"Haha!" Seulas cengiran miris tersungging di bibir pucatnya.
"Luisa," panggilnya pada diri sendiri. "Terima kasih udah bertahan sejauh ini, Luisa. Lo hebat dan lo kuat. Tapi ... sekarang udah saatnya lo mengakhiri semuanya, segala penderitaan ini."
Air matanya menetes perlahan, bukan hanya fisiknya yang sakit dan lebam, tapi juga hati yang jauh lebih mengiris. Pikirannya benar-benar kacau balau, rasanya ingin gila saja. Otaknya tak bisa berhenti berpikir negatif.
Dia betul-betul tak menyangka bisa jauh-jauh datang ke sini hanya untuk mengambil tindakan pengecut ini.
Dirinya tau, pilihan ini akan menjadi pilihan paling akhir dan yang paling bodoh dalam hidupnya. Tapi, mau bagaimana lagi, gadis itu sudah terlalu muak dengan segalanya, terutama dunia ini.
Semakin keras dia menenangkan diri, semakin kencang pula sumpah serapah orang-orang yang terdengar di dalam kepalanya. Mereka berteriak-teriak bahwa dia tak layak hidup. Celaan orang-orang dan wajah-wajah dengki serta kejam itu semakin jelas terngiang-ngiang di benak ini.
Seluruh langit terasa menyumpahi setiap hembusan nafas. Tak tahan lagi, gadis itu berteriak. Keras sekeras-kerasnya.
"Woy, langit! Ini kan yang kalian mau? Semakin gue sengsara, semakin kalian senang! Dasar, Tuhan tidak adil! Bodo amat soal surga neraka, gue udah nggak peduli lagi!"
Gadis bernama Luisa itu mulai melangkah ke bibir jurang dengan kaki telanjang yang tanpa alas. Kali ini tak ada yang bisa menghalangi keputusannya.
Matanya menunduk memperhatikan bagian-bagian tubuhnya yang terbuka, lengan, kaki, leher, hingga wajah, belum lagi yang berada di balik selembar dress tipis itu, dipenuhi oleh luka dan lebam. Namun, tidak hanya itu yang membuatnya lebih menderita. Batinnya, mental health-nya menjadi korban terbesar dari segala kekejaman yang telah gadis itu alami.
"Ketimbang jadi gila beneran, mending gue mati selagi masih waras," gumamnya bertekad, disekanya pinggiran bibir yang darah pada luka tersebut belum kering.
Sayup-sayup, terdengar suara langkah kaki yang berderit di atas kerikil tak jauh di belakangnya. Luisa dengan cepat menoleh ke belakang. Semoga bukan binatang buas. Sungguh, dimakan hewan buas bukan termasuk metode bunuh diri yang diinginkannya.
Namun, alangkah kaget dirinya ketika yang didapati adalah sesosok laki-laki jangkung yang kini menatapnya dengan tatapan polos.
"Lo ... manusia?" celetuk lelaki itu dengan tampang heran. "Bukan hantu penghuni hutan ini, kan?"