To Liong To/ Thio Boe Kie 11 - 20
Sesudah Coei San si nonapun berdoa perlahan: "Aku mohon supaya Langit melindungi kami berdua, supaya dari satu ke lain penitisan kami bisa terus menerus menjadi suami isteri." Ia berdiam sejenak dan kemudian berkata pula: "Andaikata dibelakang hari kami bisa kembali di Tiong goan, tee coe akan mencuci hati dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang dulu. Tee coe akan bertobat dan bersama-sama suamiku, tee coe akan berusaha untuk melakukan perbuatan-perbuatan balk. Tee coe tak akan membunuh manusia lagi secara sembarangan. Jika tee coe melanggar sumpah ini, biarlah Langit dan manusia menghukum tee coe."
Coei San girang tak kepalang. Ia tak pernah menduga, bahwa tanpa diminta, sang isteri telah bertobat dan bersumpah untuk menjadi manusia balk. Sesudah selesai dengan upacara pernikahan itu, sambil saling mencekal tangan dan duduk berendeng diatas es. Pakaian mereka basah dan hawa dingin menyerang dengan hebat. Akan tetapi, hati mereka hangat bagaikan hangatnya muslin semi yang penuh kebahagiaan dan keindahan.
Lewat beberapa lama, baru mereka ingat, bahwa sudah sehari suntuk, perut mereka belum ditangsal. Kedua senjata Coei San sudah hilang dilaut, tapi So So masih mempunyai pedang yang tergantung dipinggangnya. Coei San lalu menghunus pedang isterinya, membungkus ujung pedang dengan kulit biruang dan kemudian, sambil mengerahkan Lwee kang sampai di jeriji tangan, ia menekuknya sehingga ujung pedang itu menjadi bengkok seperti gaetan. Tak lama kemudian, dengan menggunakan gaetan itu, ia berhasil menangkap seekor ikan yang cukup besar. Ikan diwilayah Kutub Utara gemuk dan banyak minyaknya, sehingga biarpun baunya sangat amis dapat menambahkan tenaga dan menghangatkan badan.
Demikianlah siang malam, gunung es itu terapung-apung kejurusan utara, Mereka mengerti, bahwa kemungkinin pulang ke Tionggoan hampir tidak ada, tapi hati mereka tenang dan damai. Ketika itu, siang sudah berubah sangat panjang, sedang malam sangat pendek dan mereka tak dapat mengbitung hari lagi. Pada suatu hari, mendadak mereka lihat mengepulnya asap hitam disebelah utara. So So yang melihat lebih dulu, mencelos hatinya dan paras mukanya berubah pucat. "Ngo ko!" teriaknya sambil, menuding asap hitam itu.
"Apa disitu terdapat manusia?" tanya sang suami dengan rasa kaget tercampur girang. Tapi biarpun sudah tertampak dalam pandangan mata, tempat mana asap itu keluar masih terpisah jauh sekali, Sesudah lewat lagi satu hari, asap itu jadi makin besar dan makin tinggi kelihatannya dan diantara asap terlihat sinar api.
"Siapa itu?" tanya So So.
Sang suami tidak menjawab, ia hanya menggelengkan kepalanya.
"Ngoko, ajal kita sudah hampir tiba," kata si isteri dengan suara gemetar. "Itu pintu nereka."
Coei San terkejut, tapi ia segera membujuk: "Mungkin juga disana ada manusia yang sedang membakar hutan."
"Kalau membakar hutan, bagaimana asap dan apinya begitu tinggi?" tanya sang isteri.
"So So, sesudah tiba disini, biarlah kita menyerahkan segala apa kepada Langit," kata Coej San. "Kalau Langit tidak mau kita mati kedinginan dan ingin kita mati terbakar, biarlah kita menerima nasib."
Dengan perlahan tapi tentu, gunung es itu terus menuju kearah asap dan api. Coei San dan So So yang tidak mengerti sebab musababnya, merasa sangat heran dan mereka hanya menganggap, bahwa apa yang bakal terjadi, baik kecelakaan maupun keselamatan, adalah takdir.
Apa yang dilihat mereka sebenarnya adalah sebuah gunung berapi yang bekerja, sehingga sebagai akibat, air laut diseputar gunung itu menjadi hangat dan air yang hangat mengalir kejurusan selatan. Dengan demikian, secara wajar, air yarg dingin atau es terbetot kearah utara.