Mataram Binangkit Buku 399

4K 36 3
                                    

Buku 399

SEJENAK setelah Ki Tumenggung Untara naik ke pendapa dan duduk di atas tikar, muncul Ki Widura dari ruang dalam. Ki Widura pun tersenyum lebar dan menyambut kemanakannya itu dengan gembira.
"Kedatangan anakmas sungguh merupakan suatu kebahagiaan bagiku dan bagi semua penghuni padepokan bahwa anakmas bersedia meluangkan waktu sebagai penerus perguruan Ki Sadewa di tengah-tengah kesibukan anakmas"kata Ki Widura sambil masih tersenyum menyambut kemanakannya itu.


"Tentu saja aku datang, paman. Setelah kupikir-pikir secara lebih matang, ternyata aku memang harus meningkatkan kadar ilmuku. Aku menyadari, selama ini apabila terjadi peperangan dan aku menghadapi orang yang berilmu tinggi aku selalu dikelilingi oleh senapati pengapit yang cukup banyak. Semoga kalau hal itu terjadi lagi, aku bisa mengurangi jumlah senapati pengapitku. Atau bahkan aku bisa menghadapinya sendiri tanpa senapati pengapit"kata Ki Tumenggung Untara.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian menyampaikan kepada Ki Widura bahwa ia akan pergi ke gua di atas tebing itu wayah sepi uwong, sehingga tidak ada seorang pun yang akan melihatnya ketika memasuki gua itu. Selama Ki Tumenggung Untara bertirakat di dalam gua itu, ia menitipkan kudanya di padepokan kecil tersebut.
Mereka pun berbincang sampai matahari tergelincir di balik bukit di sebelah Barat. Ki Tumenggung Untara pun kemudian pergi ke pakiwan untuk membersihkan dirinya dan sesuci. Ia bersujud memohon ampun kepada Yang Maha Agung, sekaligus berterima kasih bahwa ia dan keluarganya mendapat anugerah kesehatan dan keselamatan serta kemuliaan sebagai seorang prajurit di lingkungan pasukan Mataram.
Setelah itu ia pun kembali ke pendapa. Ternyata Ki Widura pun sudah selesai melaksanakan kewajibannya dan telah duduk pula di atas tikar putih yang dianyam halus dan diberi bergaris merah pada pinggirannya.
Mereka pun melanjutkan lagi ceriteranya ke sana ke mari, mengenang ketika Untara dan Agung Sedayu masih kecil. Betapa Untara yang mempunyai sikap lebih dewasa dan kekakakan, selalu berusaha melindungi adiknya. Adik yang cengeng dan sangat penakut itu. Hal itu karena sikap ibunya tidak mau kehilangan Agung Sedayu seperti anak keduanya, yang meninggal ketika anak itu masih kecil.
Agung Sedayu mendapat kasih sayang yang berlebihan dari ibunya, karena ibunya tidak ingin anak itu terluka barang segorespun dalam permainannya. Agar Agung Sedayu tidak meninggalkan rumah jauh-jauh seperti Untara yang sering dibawa mengembara oleh ayahnya"Ki Sadewa"maka ibunya membuat ceritera-ceritera yang menakutkan bagi Agung Sedayu, di antaranya mengenai genderuwo bermata satu yang sangat menghantuinya.
Mereka terbahak-bahak ketika mengenang masa kecil Untara dan Agung Sedayu.
"Untunglah ada Alap-alap Jalatunda, Sidanti dan Kiai Gringsing yang bisa memecahkan kungkungan rasa takut Agung Sedayu"kata Ki Tumenggung Untara.
"Ya. Karena peranan mereka dalam posisi masing-masing, membuat adikku itu terlepas dari kungkungan rasa takutnya."
"Tetapi aku sempat repot ketika Agung Sedayu berada di Sangkal Putung dan harus bersaing untuk merebut hati Sekar Mirah di rumah Ki Demang Sangkal Putung"kata Ki Widura pula.
"Aku terpaksa harus bercerita kepada para prajurit Pajang ketika itu, bahwa Agung Sedayu telah menjadi dewa penyelamat, menjadi pahlawan bagi pasukan Pajang di Sangkal Putung. Tanpa kehadiran Agung Sedayu yang mengabarkan rencana kedatangan gerombolan pasukan Tohpati yang dikenal dengan nama Macan Kepatihan itu, tentu prajurit Pajang di Sangkal Putung sudah menjadi lumat. Namun dewa penyelamat itu justru bersembunyi ketika perang dengan pasukan Jipang di bawah pimpinan Macan Kepatihan itu benar-benar terjadi"ujar Ki Widura sambil tersenyum pula.
Ki Widura itu meneruskan pula, sebelum bertemu dengan Kiai Gringsing untuk kemudian diangkat sebagai murid utamanya, Agung Sedayu telah meningkatkan ilmunya dengan cara yang aneh.
"Aneh bagaimana paman?"tanya Ki Tumenggung Untara.
"Agung Sedayu meminta berlembar-lembar daun rontal dan alat tulis kepadaku. Ia menggambar berbagai jurus yang diingatnya dari Ki Sadewa. Ia pun memberi cara pemecahan yang rumit atas jurus-jurus itu. Semuanya digambarnya pada daun rontal tersebut."
"Ketika kami kebingungan untuk mengarahkan Glagah Putih agar mendalami aliran ilmu murni dari perguruan Ki Sadewa, aku dan mendiang Kiai Gringsing kehilangan pegangan. Karena tidak ada seorang pun yang menguasainya secara tuntas."
"Kami juga tidak ingin aliran ilmu dari perguruan Ki Sadewa punah, maka daun-daun rontal yang digambari oleh Agung Sedayu yang aku simpan itu ternyata sangat berguna untuk mengingat kembali berbagai jurus dari ilmu perguruan Ki Sadewa."kata Ki Widura.
Ki Tumenggung Untara menjadi tertarik mendengar ceritera pamannya mengenai daun-daun rontal yang digambar oleh adiknya itu.
"Apakah daun rontal yang berisi gambar dan dibuat oleh Agung Sedayu itu masih ada paman?"tanyanya.
"Tentu. Tentu masih ada. Aku masih menyimpannya baik-baik"kata Ki Widura."Tunggulah sebentar aku akan mengambilnya."
Ki Widura pun kemudian masuk ke ruang dalam padepokan itu dan sejenak kemudian keluar lagi sambil membawa sebuah kampil yang berisi seikat daun rontal yang tersusun rapi.
"Inilah anakmas daun rontal yang digambari oleh Agung Sedayu"katanya.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian membuka ikatan daun rontal itu dan membukanya satu per satu. Keningnya berkerut-kerut melihat gambar-gambar berbagai jurus ilmu perguruan Ki Sadewa yang sangat dikenalnya. Di bawah gambar-gambar itu, terdapat keterangan berbagai sikap yang harus dilakukan untuk melakukan jurus itu. Semuanya dijelaskan secara lengkap dan terperinci.
"Agung Sedayu mempunyai ingatan yang tajam atas setiap sesuatu yang dilihat dan diperhatikannya dengan sungguh-sungguh"kata Ki Widura."Ia pun mempunyai bakat menggambar yang luar biasa, gambarnya sangat baik"
Ki Tumenggung Untara mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terus membuka lembar demi lembar daun rontal itu. Semua yang digambar dan ditulis di bawahnya demikian runtut. Ki Tumenggung dapat memahami sampai lembar terakhir yang tergambar dan tertulis di atas daun rontal itu. Namun ada beberapa jurus-jurus yang ternyata merupakan pengembangan dari olah pikir Agung Sedayu sendiri.
Kesibukan mereka memperbincangkan gambar dan tulisan Agung Sedayu di atas daun-daun rontal itu pun terhenti sejenak, ketika seorang cantrik mengatakan bahwa hidangan makan malam telah tersedia di ruang dalam.
"Marilah anakmas. Sebelum anakmas berangkat wayah sepi uwong malam nanti, anakmas harus makan yang banyak lebih dulu."
"Marilah paman. Namun aku juga sudah membawa perbekalan untukku selama berada di dalam gua itu."
"Ya syukurlah anakmas. Namun ketika aku juga kemudian menuntut ilmu Ki Sadewa di dalam gua itu, aku masih meninggalkan peralatan masak-memasak di sana. Anakmas dapat mempergunakannya. Yang perlu anakmas bawa hanya bahan mentah saja. Di dalam gua itu juga terdapat aliran air yang tidak pernah putus sepanjang tahun, sehingga anakmas tidak perlu turun dari tebing itu jika memerlukan air"
Mereka pun kemudian bersantap malam di ruang dalam. Setelah selesai mereka kembali ke pendapa sambil menanti saat wayah sepi uwong. Mereka melanjutkan berceritera mengenai berbagai hal termasuk mengenai anak Ki Tumenggung Untara yang sudah menjelang dewasa. Wira Sanjaya.
"Anak itu perlu mendapat pengawasan yang sungguh-sungguh paman"kata Ki Tumenggung Untara."Terus terang pengawasanku atas anak itu termasuk longgar karena kesibukan tugas menyita waktuku."
Ki Widura mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Percayakanlah anak itu kepadaku. Kakeknya."
Ki Tumenggung Untara pun sekali lagi mengucapkan terima kasih kepada pamannya itu yang bersedia mengasuh Wira Sanjaya di padepokan.
"Pernyataan seperti itu aku rasa tidak perlu berlebih-lebihan anakmas. Bukankah anakmas juga termasuk pendiri padepokan ini. Tanpa bantuan anakmas, padepokan ini tentu tidak berdiri seperti sekarang"
"Ah paman bisa saja."
Demikianlah ketika telah tiba wayah sepi uwong, Ki Tumenggung Untara pun berpamitan, setelah menyiapkan perbekalnnya, ia pun mulai menelusuri jalanan yang telah sangat sepi itu. Karena Ki Tumenggung tidak ingin seorang pun mengikuti perjalanannya, maka ia menempuh jalan setapak yang terdapat di petegalan-petegalan, ladang-ladang jagung, lalu menyusuri tepian sungai. Ki Tumenggung sangat mengenali berbagai jalan menuju ke tebing sungai itu, karena ketika kecil sampai menjelang dewasa ia telah berulangkali memasuki gua di tebing sungai itu. Ia memasuki gua itu baik bersama ayahnya"Ki Sadewa"maupun sendiri saja, tanpa seorang pun mengawaninya.
Ki Tumenggung terus berjalan menyusuri jalanan setapak yang sempit dan rumpil. Ia berjalan sambil kadang-kadang meloncati parit, merunduk di sela-sela akar pohon, atau menebas semak perdu yang menghalangi perjalanannya dengan pedang pendek yang sengaja dibawanya. Karena ia sudah berulang kali ke sana, meskipun kali ini ia melintasi jalan yang jarang dirambah orang, tidak membuatnya kehilangan arah.
Ki Tumenggung Untara tahu pasti di belakang parit kecil didepannya terdapat gumuk kecil, lalu menuruni tebing yang agak tinggi, terjal dan panjang. Di belakang tebing yang menurun panjang itulah terletak sebuah batu yang menjorok agak ke tengah sungai. Di atas batu yang menjorok ke tengah sungai itulah terdapat sebuah gua di tebing sungai. Gua yang terletak di tebing sungai itulah yang kini ditujunya.
Ketika bintang gubug penceng di langit sebelah selatan semakin bergeser miring ke Barat, ia telah sampai di tebing sungai itu. Ki Tumenggung Untara mendengar gemercik air yang terjun dari gerojogan tidak jauh dari tempatnya duduk di atas sebuah batu hitam. Ia meletakkan kampil yang berisi perbekalan di sebelahnya.
Ki Tumenggung Untara duduk beberapa saat di atas batu itu untuk beristirahat sejenak sambil mengamat-amati tepian sungai itu.
"Hm. Agaknya tidak banyak terjadi perubahan atas tebing sungai ini, selain hutannya menjadi lebih lebat, sehingga agak sukar dikenali pada malam hari."
Setelah beristirahat sejenak Ki Tumenggung Untara pun mengeluarkan tambang dari tali ijuk yang dianyam kuat. Pada ujung tambang itu terdapat sebuah jangkar kecil yang dipergunakan untuk mengait bebatuan sebagai pancadannya untuk memasuki gua itu.
Ki Tumenggung Untara pun teringat ketika ayahnya pertama kali mengajaknya pergi ke dalam gua itu dan memintanya melemparkan tali ijuk berjangkar itu ke atas. Berulang kali ia melemparkan tali berjangkar itu, tetapi jangka terjatuh kembali karena tidak tepat menyangkut pada batu di atasnya.
"Begini caranya, Untara. Bergeserlah dan perhatikan cara ayah"kata ayahnya ketika itu. Ki Sadewa memutar-mutar tali yang pada ujungnya diikatkan jangkar itu dengan kencangnya. Pada saat yang tepat tali itu dilepaskannya, meluncur ke atas dan jangkar menyangkut pada batu di atas tebing gua itu. Sedangkan talinya berjuntai di depan gua dan ujungnya terhampar di batu tempat mereka berpijak.
"Naiklah. Ayah menjagamu di bawah"kata ayahnya.
Untara kecil itupun mulai merayap di depan tebing dan tangannya berpegangan pada simpul-simpul tali yang dibuat ayahnya pada jarak setiap dua jengkal, sehingga memudahkannya menaiki tebing itu.
Untara kecil itu pun merasa betapa pedih tangannya yang tergores oleh tali ijuk yang tajam itu. Namun tidak terdengar sepotong keluhan pun dari bibirnya. Ia terus merayap dengan berpegangan pada tali itu, simpul demi simpul dipanjatnya. Keringat bercucuran dari seluruh tubuhnya, sehingga bajunya basah seperti baru kena hujan lebat.
Untara terus merayap, sementara ayahnya memperhatikan di bawah, takut kalau-kalau Untara terpeleset atau lepas pegangan pada tali ijuk itu. Akhirnya Untara kecil itu sampai juga di bibir gua. Dengan hati-hati ia mengayun tubuhnya, dan dengan mudah ia meloncat ke dalam mulut gua serta berdiri dengan sigapnya seperti memasang kuda-kuda.
"Ayah aku sudah berada di dalam gua"katanya berteriak lantang. Untara pun menarik-narik ujung tali untuk memberi tanda bahwa ia sudah sampai di atas.
"-Baik. Tunggulah. Ayah segera menyusul"kata Ki Sadewa. Demikianlah dengan cepat dan cekatan Ki Sadewa memanjat tali itu, dan beberapa saat kemudian ia sudah sampai di mulut gua.
Setelah keduanya sampai di atas, sambil terengah-engah keduanya duduk di atas batu hitam yang terdapat di bibir gua itu. Setelah nafas mereka yang tadinya memburu normal kembali, maka Ki Sadewa itu mengajak Untara kecil masuk ke dalam gua. Mereka menyusuri gua yang sempit dan berkelok-kelok menanjak itu. Udara di dalam gua itu terasa lembab dan sedikit berbau. Di langit-langit gua itu, bergelayutan ratusan kelelawar yang berbunyi dengan suara yang riuh. Agaknya di dalam hutan di dekat tebing gua itu banyak terdapat pohon buah-buahan, sehingga kelelawar itu senang tinggal di dalam gua itu dan beranak pinak di sana.
Di bagian gua yang sempit dan menanjak tajam, kakinya sempat tergores batu-batu tajam yang seolah ditanam di tanjakan dinding gua itu. Kakinya terasa pedih dan ketika dipegangnya, dari kaki yang pedih itu mengalir cairan merah. Darah.
Pada ujung gua itu terdapat sebuah tikungan yang dari celah-celahnya terdengar gemercik air yang mengalir deras. Di atas bebatuan itu terdapat batu ceper yang berbentuk seperti mangkuk. Air yang meluber dari mangkuk batu itulah yang terdengar gemrojog ketika jatuh di atas batu di bawahnya.
Di sebelah tikungan itulah terdapat ruangan yang luas. Ruangan yang luas itu sedikit lebih terang, karena di kubahnya terdapat sebuah lubang kecil yang meloloskan cahaya matahari ke dalam gua itu. Dari lubang itu pulalah mengalir udara dari mulut gua di tebing sungai ke dalam gua dan keluar dari lubang di atas kubah itu.
Di tempat itulah ayahnya"Ki Sadewa"menempa dirinya dengan ilmu olah kanuragan berulangkali, bahkan berhari-hari mereka berdua berada di dalamnya. Namun tidak sepatah kata pun ayahnya menyebut tentang goresan-goresan gambar atau petunjuk tentang ilmu aliran perguruan Ki Sadewa yang terlukis di dinding gua itu kepadanya.
Yang ia rasakan adalah ayahnya dengan keras melatihnya untuk membajakan diri di sana. Setingkat demi setingkat, selapis demi selapis ilmunya mencapai tataran yang lebih tinggi. Dengan berbagai peralatan sederhana yang ada di sana Ki Sadewa melatih Untara kecil dengan tekun dan telaten serta penuh dengan kesabaran. Untara kecilpun mengikuti segala petunjuk ayahnya dengan tabah dan tidak terdengar keluhan barang sedikit pun dari bibirnya.
Ki Tumenggung Untara beberapa saat masih termangu-mangu mengenang pembajaan diri yang diperolehnya dari ayahnya. Ia masih dapat mengingat dengan baik, semua gerakan yang harus dilakukan sesuai dengan petunjuk ayahnya. Semua gerakan, jurus, gerak tipu dan berbagai kembangannya, masih terpateri dengan baik di dalam bilik ingatannya. Semua itu dicapainya dengan kerja keras dan dengan upaya yang bersungguh-sungguh.
Agaknya segala jerih payahnya itu tidak sia-sia. Dengan bekal yang diperolehnya dari latihan pembajaan diri di dalam gua itu dan beberapa kali pengembaraan bersama ayahnya ke wilayah Bang Wetan, sangat bermanfaat baginya ketika ia mengikuti pendadaran sebagai seorang prajurit di Pajang.
Ia diterima sebagai prajurit dengan sebutan terbaik. Jenjang kepangkatannya pun semakin bersinar dan menanjak dengan cepat. Dari seorang prajurit, lalu menjadi lurah prajurit dan naik menjadi seorang rangga. Ketika Ki Untara mendapat penugasan menjadi seorang senapati di Kademangan Sangkal Putung, pangkatnya telah pula dinaikkan menjadi seorang panji oleh Panglima Pasukan Wiratamtama ketika itu. Ki Gede Pemanahan atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Gede Mataram. Meskipun Ki Untara telah mencapai pangkat panji, namun sangat jarang ia mempergunakan pangkat resminya itu sebagai sebutan bagi dirinya.
"Panggil saja aku Untara. Kalau kau tidak ingin merasa deksura karena langsung menyebut namaku, sebut saja aku Senapati Untara"katanya kepada seorang lurah prajurit yang baru ditempatkan di bawah wewenangnya ketika ia masih di Kademangan Sangkal Putung. Karena itu sangat jarang orang yang tahu, kecuali orang-orang yang berkaitan langsung dengan kenaikan pangkatnya bahwa pangkatnya telah dinaikkan menjadi pandega setelah Ki Untara berhasil mengalahkan Macan Kepatihan dan pasukannya di Sangkal Putung. Oleh karena itu, banyak pihak yang merasa sangat terkejut ketika Ki Untara yang tidak pernah disebut-sebut tingkat kepangkatannya, tiba-tiba menjadi seorang Tumenggung membawahi Pasukan Mataram di wilayah Selatan.
Namun kenaikan jenjang kepangkatannya itu harus ditebusnya dengan keterlambatannya dalam berumah tangga. Karena kesibukannya yang tenggelam dalam tugas-tugas, ia seakan-akan tidak mempunyai waktu untuk melirik seorang gadis pun.
Memang pernah seorang kawannya yang juga seorang prajurit memperkenalkannya dengan seorang gadis. Meskipun gadis itu cukup cantik, namun Untara yang mulai menanjak bintangnya kurang tertarik karena ia merasa sikap manis yang ditunjukkan kepadanya sekadar pulasan belaka. Karena tanpa sengaja Untara melihat sikap gadis itu yang kasar, ketika untuk kedua kalinya ia datang ke rumah gadis itu. Gadis itu yang tidak mengetahui kedatangan Untara, juga tidak tahu ketika Untara mengendap-endap pergi meninggalkan rumah gadis itu.
Sejak itu, Untara tidak pernah lagi berusaha untuk terpaut hatinya terhadap seorang gadis pun. Ia pun semakin tenggelam ke dalam olah keprajuritan dan latihan-latihan dalam perang gelar serta berbagai paugeran yang berlaku. Semuanya itu ditekuninya, sehingga hampir menyita seluruh waktunya.
Memang untuk mencapai sesuatu ada harga yang harus dibayar untuk mencapai gegayuhan tersebut. Karena kesibukan dalam olah keprajuritan itu membuatnya terlambat menikah, sehingga salah seorang atasan tidak langsungnya telah mengambil prakarsa untuk mencarikan jodoh baginya. Untunglah ia tidak tergelincir karena calon mertuanya ketika itu ternyata sempat terseret arus pemberontakan terhadap Pajang, meskipun pada akhirnya ia menyadari dan kembali pada garis perjuangannya yang benar.
Ki Untara tiba-tiba terlepas dari lamunannya. Suara gemrojog air terjun yang terletak tidak jauh dari tempatnya duduk itu, membuyarkan angan-angannya akan masa lalu. Suara air terjun itu ditingkahi pula dengan suara burung bence dan burung kedasih yang ngelangut di tengah hutan yang hening di malam hari. Ia sadar bahwa ia harus segera memanjat tebing sungai itu untuk masuk ke dalam gua.
Kalau puluhan tahun yang lalu ia naik ke atas tebing itu bersama ayahnya"Ki Sadewa"maka kini Ki Tumenggung Untara harus naik sendiri ke dalam gua itu.
Perlahan-lahan Ki Tumenggung Untara memutar-mutar tali ijuk yang pada ujungnya diikatkan jangkar dari besi itu. Semakin lama putaran tali berjangkar itu semakin cepat. Dengan sebuah hentakan tali berjangkar itu meluncur ke atas melewati gua di atas tebing sungai itu, melewati sebuah batu besar di atas tebing dan ternyata jangkar itu langsung menyangkut di batu itu.
Seakan-akan menguji kekuatan tali jangkar dan batu tempatnya bergantung, Ki Tumenggung Untara pun mencoba menariknya dengan beban berat tubuhnya. Ternyata batu itu bergeming. Setelah merasa yakin akan kekuatan tali, jangkar dan batu di atasnya, Ki Tumenggung Untara pun mengambil kampilnya dan menyangkutkannya di leher dan meletakkan di bagian punggung agar tidak mengganggu gerakannya.
Ki Tumenggung Untara pun mulai memanjat simpul demi simpul tali yang dibuatnya. Dengan bantuan simpul-simpul tali pada jarak setiap dua jengkal, ternyata tidak terlalu sulit baginya untuk mencapai lubang gua itu. Hal itu karena pada masa kecilnya telah berulang kali Untara memasuki gua itu dengan cara yang sama dan mendapat bimbingan dari ayahnya.
Sebelum Ki Tumenggung Untara masuk ke dalam gua itu, di kejauhan ia mendengar kokok ayam hutan untuk terakhir kalinya.
"Hampir fajar"desisnya di dalam hati. Ia pun melihat di ufuk timur, cahaya merah mulai membayang di ujung cakrawala. Tentu sebentar lagi sang surya segera menampakkan dirinya. Menerangi permukaan bumi ini, seperti pada hari-hari sebelumnya, seperti pekan-pekan sebelumnya, seperti pada bulan-bulan sebelumnya dan seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Semuanya itu terjadi dengan ajeg, berulang, berulang dan berulang kembali. Bumi berputar zaman pun beredar. Alam berputar mengikuti kodrat-Nya. Tidak bergeser barang sedikit pun. Namun perubahan itu terjadi pada manusia yang mengisi alam dunia ini.
Kalau dulu Untara datang ke dalam gua itu dengan diantar dan dibimbing ayahnya, maka kini ayahnya itu telah tiada. Kalau dulu ia masih terhitung kanak-kanak ketika pertama kali memasuki gua itu, kini ia telah mempunyai anak. Wira Sanjaya. ]
"Suatu saat aku akan mengajak Wira Sanjaya ke mari"katanya di dalam hati pula.
Ki Tumenggung Untara pun segera mengamankan ujung tali dengan menggulungnya dan meletakkan gulungan tali itu di mulut gua. Ujung tali yang berisi jangkar dibiarkannya tetap menyangkut pada batu di atas tebing sungai.
Perlahan-lahan ia masuk ke dalam gua. Makin lama gua yang menanjak itu semakin sempit. Ketika tanjakan itu semakin terjal, di dasar lorong itu terdapat batu-batu tajam, namun kakinya tidak tergores seperti ketika pertama kali ia memasuki gua itu bersama ayahnya. Ia terus memasuki lorong sempit dan panjang itu dengan berhati-hati. Acapkali ia harus menunduk dan merayap, ketika lubang gua itu semakin menyempit. Seperti ketika dahulu ia memasuki gua itu bersama ayahnya, di bagian gua yang agak lega setelah tanjakan itu, masih juga terdapat ratusan bahkan mungkin sudah berkembang menjadi ribuan kelelawar yang mencicit dengan berisiknya.
Selain berisik, ribuan kelelawar itu juga meninggalkan bau yang pesing karena kotorannya yang jatuh di lantai gua.
Ketika sampai di cucuran air yang meluncur dari mangkuk batu itu, Ki Tumenggung Untara pun meletakkan kampilnya lalu mengambil air sesuci. Setelah itu ia memanjat lagi, ke bagian gua yang agak terang karena ada lubang pada kubahnya. Agaknya kelelawar itu kurang suka tinggal di bagian gua yang agak terang, sehingga pada bagian gua itu tidak terdapat kotoran kelelawar.
Ia pun melakukan kewajibannya untuk menghadap Yang Maha Agung, sambil berdoa untuk meneguhkan niatnya untuk memetik ilmu dari peninggalan orang tuanya. Ki Sadewa.
Di ruangan yang paling luas itulah, menurut pamannya Widura digoreskan tuntunan ilmu sesuai jalur perguruan Ki Sadewa. Ki Tumenggung Untara pun kemudian menyalakan oncor biji jarak yang ditusuk dengan sunduk bambu yang sudah diraut halus. Dengan menggunakan batu titikan dan dimik belerang Ki Tumenggung Untara pun menyalakan oncor itu.
Sambil memegang oncor biji jarak itu, Ki Tumenggung Untara pun mulai memperhatikan dinding gua itu. Ternyata di sekeliling dinding gua itu terdapat goresan gerakan olah kanuragan seperti diceriterakan oleh pamannya Widura yang mendapat keterangan itu dari Agung Sedayu. Ternyata sebagian besar dari goresan gambar yang terdapat di dinding itu terdapat dalam gambar rontal yang dibuat oleh Agung Sedayu ketika berada di Sangkal Putung.
Setelah mengamati semuanya, Ki Tumenggung Untara pun meletakkan oncor biji jarak itu di sebelah batu hitam pipih seperti tempat duduk yang terletak di tengah gua. Di atas batu pipih itulah biasanya Untara melihat ayahnya duduk bersila sambil bersedakep. Ayahnya bersemadi di sana.
Ia pun mulai mengikuti semua gerakan yang tergores pada dinding gua itu. Bahkan pada gerakan-gerakan yang terasa agak rumit, ternyata di sebelahnya ada penjelasannya yang tertulis dengan huruf-huruf kecil dan rapi. Tulisan itu adalah tulisan ayahnya. Ki Sadewa.
Demikianlah Ki Tumenggung Untara itupun tenggelam dalam kesibukannya menempa diri sambil mengamat-amati lukisan di dinding yang berisi jurus-jurus perguruan Ki Sadewa yang sebagian sudah dikuasainya. Namun sebagian lagi belum dikuasainya. Ia mengagumi ketajaman pikiran adiknya Agung Sedayu, karena sebagian yang tergores di daun rontal buatannya, justru terdapat pada lukisan di dinding gua itu.
"Anak itu memang luar biasa"katanya di dalam hati.
Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Untara semakin membenamkan dirinya dalam pembajaan diri meraih puncak ilmu perguruan Ki Sadewa, ternyata Swandaru Geni dan istrinya Pandan Wangi juga tidak tinggal diam. Ketika anaknya yang sudah bisa berjalan ke sana kemari di halaman rumah dengan lincahnya diawasi Ki Demang, maka mereka pun punya kesempatan lebih banyak untuk masuk ke dalam sanggar.
Ki Swandaru Geni dan istrinya Pandan Wangi pun semakin sering mengasah ketajaman ilmunya. Setelah Ki Swandaru Geni terbentur pada kenyataan bahwa ilmunya bukan apa-apa dibandingkan kakak seperguruannya Ki Rangga Agung Sedayu, barulah ia mau menerima kenyataan akan kedalaman ilmu pedang istrinya. Pandan Wangi.
Ilmu pedang Pandan Wangi semakin tajam dan berbobot. Kalau semula jarak jangkau pedangnya mampu mendahului bentuk wadag pedang itu satu dua jengkal lebih panjang, maka dengan latihan mesu diri yang terus menerus dan bersungguh-sungguh, maka penambahan ilmu pedangnya telah mampu mendahului bentuk wadagnya sepanjang pedang itu sendiri. Atau dengan perkataan lain boleh dikatakan, bahwa panjang pedang Pandan Wangi daya jangkaunya telah menjadi dua kali lipat.
Dalam latihan di dalam sanggar, Ki Swandaru telah terpukau melihat kenyataan bahwa dalam jarak dua kali panjang pedangnya, istrinya mampu merobek karung pasir yang tergantung di sudut ruangan. Brettt, brett, maka sebuah lubang menyilang telah timbul pada sebuah karung yang tergantung itu. Pasir yang terdapat di dalamnya pun berhamburan keluar dari karung itu. Namun Pandan Wangi belum selesai, dengan sebuah sabetan mendatar maka karung itu terputus pada tali penggantungnya dan jatuh berhamburan di bawah.
"Kau mencapai kemajuan yang pesat, Wangi"kata Ki Swandaru Geni mengakui kemajuan istrinya.
"Kakang pun dapat mencapainya, kalau kakang mau mesu diri dan mau berlatih dengan sungguh-sungguh"jawab Pandan Wangi membesarkan hati suaminya.
"Baiklah aku akan mencobanya"kata Ki Swandaru Geni. Iapun kemudian mulai menjalani laku sebagaimana tertulis dalam petunjuk yang terdapat di dalam kitab perguruan Windujati yang diperolehnya dari Kiai Gringsing. Meskipun kitab perguruan Windujati itu tidak sedang berada di tangannya, namun Ki Swandaru telah mencatat beberapa hal penting tentang berbagai laku yang tidak dapat dihapalnya seketika, pada beberapa daun rontal. Ternyata catatan kecilnya itu berguna ketika ia membutuhkan, namun kitab itu tidak sedang berada di tangannya.
Ki Swandaru Geni itu pun tidak segan-segan lagi bertanya kepada istrinya jika ada hal-hal yang kurang dipahaminya. Karena itu, Ki Swandaru pun mulai merambah ke kedalaman ilmunya, suatu pekerjaan yang selama ini dianggapnya sia-sia dan tidak disukainya jika hal itu dilakukan oleh Pandan Wangi.
Untuk tahap pertama Ki Swandaru pun harus melakukan puasa selama empat puluh hari dan patigeni selama tiga hari tiga malam. Pandan Wangi yang telah lebih dahulu merambah ke kedalaman ilmunya itu pun mendukung niat suaminya.
"Kakang harus berada di dalam sanggar selama empat puluh tiga hari. Setelah itu kakang akan mencapai suatu titik lemah secara kewadagan dan untuk memulihkannya paling tidak memerlukan waktu selama sepekan"kata Pandan Wangi.
"Jadi aku selama itu harus berada di dalam sanggar, Wangi?"tanyanya pula.
"Iya kakang. Itu kalau kakang ingin segera mencapai peningkatan yang berarti dalam ilmu kakang. Kalau kakang hanya puasa sepekan dan patigeni satu hari satu malam, memang kakang akan bisa mulai merambah ke kedalaman ilmu kakang. Namun peningkatan itu tentu akan kurang memuaskan hati kakang. Aku khawatir kakang akan kecewa nantinya"
"Baiklah jika demikian aku akan mulai memasuki sanggar tiga hari dari sekarang. Besok aku akan menugaskan beberapa orang anak muda untuk memanggil para pemimpin pengawal kademangan dan pemimpin pengawal padukuhan untuk datang ke kademangan pada keesokan harinya. Nanti aku akan memberi berbagai petunjuk kepada mereka, mengenai berbagai hal yang harus mereka lakukan selama aku berada di dalam sanggar."
"Kakang terlebih dahulu juga harus memberi tahu kepada Ayah"Ki Demang Sangkal Putung"dan ibu, agar mereka dapat memakluminya."
"Tentu. Tentu saja Wangi. Aku akan segera memberi tahu mereka dan sekaligus mohon doa restu."
Ketika ayahnya Ki Demang Sangkal Putung tengah duduk-duduk di pendapa bersama cucunya, maka Ki Swandaru Geni pun kemudian menghampirinya dan menyatakan niatnya untuk menjalani laku selama sekitar lima puluh hari untuk meningkatkan ilmunya. Empat puluh hari berpuasa, tiga hari patigeni dan sekitar sepekan untuk memulihkan kekuatannya.
Ki Demang Sangkal Putung pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia sudah semakin sepuh, namun pemahamannya terhadap suatu masalah masih jernih. Hanya saja Ki Swandaru harus bersuara keras di dekat telinga ayahnya, karena sejalan dengan usia yang bertambah, pendengaran ayahnya itu sudah semakin berkurang.
Demikianlah, pada hari yang ditetapkan Ki Swandaru Geni telah menerima kehadiran para bebahu kademangan, para bebahu padukuhan dan para pemimpin pasukan pengawal dari seluruh kademangan dan padukuhan di banjar kademangan.
Ki Swandaru Geni itu pun mulai menjelaskan niatnya untuk memasuki sanggar selama sekitar lima puluh hari guna meningkatkan ilmunya. Untuk itu, selama ia berada di sanggar, maka segala beban tugasnya akan dibagi secara merata kepada para bebahu kademangan dan padukuhan serta para pemimpin pasukan pengawal kademangan dan padukuhan. Seluruh pemimpin kademangan dan pasukan pengawal itu pun mengangguk-angguk. Mereka sudah memahami apa yang harus mereka lakukan, karena Ki Swandaru telah sering melakukannya ketika ia harus berangkat berperang atau menengok mertuanya di Tanah Perdikan Menoreh.
"Kami siap melaksanakannya"kata seorang bebahu kademangan yang meyakini bahwa laku yang dijalani oleh Ki Swandaru Geni semata-mata untuk kemajuan kademangan itu dan semua padukuhan di dalamnya. Karena mereka yakin, jika Ki Swandaru semakin tinggi ilmunya, tidak akan ada penjahat atau perampok yang berani mengganggu wilayah mereka. Hal itu berarti akan semakin mempermudah tugas mereka dalam menjaga keamanan di wilayahnya.
"Terima kasih Ki Jagabaya dan para bebahu kademangan, bebahu padukuhan serta para pemimpin pasukan pengawal atas segala pengertian kalian. Untuk selanjutnya aku akan membagi tugas kepada kalian semua, selama aku berada di sanggar nanti"
Demikianlah Ki Swandaru Geni pun mulai membagi tugas kepada para bebahu kademangan, bebahu padukuhan dan para pemimpin pasukan pengawal agar mereka selalu waspada menjaga keamanan wilayahnya. Pada petang harinya, Ki Swandaru Geni telah mandi keramas dengan abu merang untuk membersihkan dirinya dan mengukuhkan niatnya untuk melaksanakan laku sebagaimana tertulis di dalam kitab perguruan Windujati peninggalan gurunya. Mendiang Kiai Gringsing.
Maka pada keesokan harinya Ki Swandaru Geni mulai memasuki sanggar. Pada hari pertama itu ia duduk bersila di tengah-tengah sanggar, bersedakep, mengatupkan matanya dan memusatkan nalar budinya. Dengan konsentrasi penuh, Ki Swandaru Geni mulai menutup seluruh indranya dan justru membangun komunikasi pikiran dengan Yang Maha Agung. Dengan niat yang sungguh-sungguh ia memohon petunjuk-Nya agar bisa meningkatkan kemampuannya dalam olah kanuragan itu.
Ketika cahaya senja telah membayang di cakrawala Barat, maka Pandan Wangi pun telah memasuki ruangan untuk menyediakan keperluan suaminya untuk berbuka puasa. Setelah berbuka, Swandaru keluar sejenak untuk pergi ke pakiwan, mandi, sesuci dan melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung. Iapun segera tenggelam kembali ke dalam semadinya. Namun ia berusaha keras untuk tidak tergelincir ke alam tidur. Karena antara semadi dan alam tidur hanya dipisahkan oleh selapis tipis kesadaran. Jika Ki Swandaru Geni tergelincir dalam alam tidur, maka akan sia-sia lah upayanya untuk meningkatkan ilmunya. Ibarat ranting kayu yang patah, sebelum menjadi cabang. Karena itu, meskipun matanya menjadi sangat berat dan mengajaknya terpejam, namun dengan sekuat tenaga ia berhasil mengatasinya.
Demikianlah dari hari ke hari berikutnya Ki Swandaru Geni semakin dalam memasuki alam semadi dan memperkeras niatnya, sehubungan dengan godaan dalam dirinya yang semakin besar untuk ngudhari semadinya. Namun niat Ki Swandaru ternyata lebih besar dari godaan dalam dirinya, sehingga ia bisa tetap bertahan melanjutkan semadinya.
Setiap cahaya senja muncul di ufuk Barat, kembali Ki Swandaru mengakhiri semadinya untuk hari itu ketika Pandan Wangi memasuki sanggar dan membawakan makanan untuk berbuka sampai hari ketujuh. Setelah makan, ia pun ke pakiwan dan sesuci serta melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung.
Namun setelah hari ketujuh, Ki Swandaru mulai mengubah lakunya. Kalau pada hari sebelumnya, sehabis melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung ia tenggelam kembali ke dalam semadi, maka mulai hari itu ia mulai mendalami ciri-ciri dan watak dari ilmunya. Sebab ia ingin menguasai dengan lebih mapan segala jurus, pukulan, tendangan, sabitan kaki, pukulan sisi telapak tangan, gerak tipu dan segala macam kembangannya.
Semula Ki Swandaru Geni melatih semua gerakan dan jurus-jurus yang tersimpan dalam kitab Windujati dengan tangan kosong. Ia melakukannya berulang-ulang dan menghayati setiap gerakan itu. Tanpa terasa ternyata gerakannya itu semakin bertenaga dan menimbulkan kesiur angin yang tajam menyusul pukulan tangan atau tendangan kakinya.
Ia pun mulai melatih pukulan dan tendangannya ke arah kantong pasir yang telah diganti setelah dibabat putus oleh Pandan Wangi dengan pedangnya yang mempunyai daya jangkauan dua kali lipat. Swandaru memukul ke arah kantong pasir itu pada jarak sejengkal. Mula-mula kantong pasir itu hanya bergetar sedikit. Ia pun mengulanginya berkali-kali, bahkan sampai berpuluh kali dan beratus kali. Makin lama getaran dan dorongan atas kantong pasir itu pun semakin keras.
Ketika getaran itu sudah semakin keras pada jarak sejengkal, ia pun mengulanginya lagi pada jarak dua jengkal. Dalam pukulan pertama pada jarak dua jengkal, kantong pasir itu tidak bergetar sama sekali. Ki Swandaru pun mengulang-ulangnya terus sampai pada akhirnya kantong pasir itu pun mulai bergetar sehingga pada akhirnya terayun-ayun pada pukulannya yang ke seratus kali.
Demikianlah pada setiap kemajuan dalam pencapaiannya, Ki Swandaru menambah jarak jangkauannya dari kantong pasir itu. Sehingga pada akhirnya ia bisa menggetarkan kantong pasir itu pada jarak jangkauan satu depa. Namun ia masih belum puas, karena itu pukulan dan tendangan itupun terus dihayatinya, sehingga pada akhirnya ia bukan saja bisa menggetarkan kantong pasir itu. Kantong pasir itu bergoyang-goyang dengan kerasnya. Ke depan ke belakang. Ketika ia mengubah arah pukulan dan tendangannya, maka gerakan karung pasir itu pun berubah ke kiri ke kanan.
Ki Swandaru kemudian mengubah pukulannya dengan tusukan keempat jarinya yang dirapatkan dengan jempolnya menekuk ke dalam. Pada tusukan pertama, karung pasir itu hanya terdorong sedikit. Karena itu ia terus mengulang-ulang gerakannya, sehingga pada akhirnya karung pasir itu pun mulai robek sedikit, pada tusukan berikutnya robek makin lebar dan pada tusukan selanjutnya kantong pasir itu robek lebar dan pasir pun berhamburan keluar.
Pada serangan berikutnya Ki Swandaru memukul dengan sisi telapak tangannya, yang membuat tali pengikat kantong pasir itu pun putus dan pasir berhamburan di lantai sanggar.
Ki Swandaru masih tetap belum puas atas pencapaiannya. Pada hari-hari selanjutnya kemampuannya itu semakin diperdalam dan dipertajam. Ia pun kemudian mempergunakan sebuah pedang besar yang pada gagangnya masih berjuntai pita kuning keemasan pemberian Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati. Pedang itu diambilnya dari gantungan pada dinding. Dikeluarkannya pedang itu dari sarungnya. Ia mengamat-amati sejenak pada bagiannya yang tajam. Pedang itu masih tetap bersih dan mengkilat, meskipun sudah cukup lama ia tidak mempergunakannya.
Sejak Ki Swandaru Geni semakin menekuni ilmu cambuk dari perguruan Orang Bercambuk, maka pedang itu sudah jarang disentuhnya. Namun ia masih menghayati betapa berat pedang itu dan betapa kemampuan yang bisa dibangkitkannya dengan pedang itu.
Ia pun kemudian melatih gerakan-gerakan seperti dilakukan sehari sebelumnya dengan tangan kosong. Ia mulai melihat ada kemajuan dalam gerakan ilmu pedangnya. Seperti yang dapat dilakukan oleh Pandan Wangi, maka jangkauan ujung pedangnya pun mampu mendahului bentuk wadagnya. Mula-mula ia melatih jarak jangkauan pedangnya pada jarak sejengkal, lalu dua jengkal dan begitu seterusnya sehingga pada waktunya jarak jangkauan serangan pedangnya itu telah berkembang menjadi satu depa.
Ki Swandaru Geni masih belum puas atas pencapaiannya itu. Ia kemudian memperhatikan api oncor yang bergerak-gerak liar tersambar gerakan pedangnya. Ia meletakkan ujung pedangnya di atas nyala api oncor yang bergerak ke kiri ke kanan. Ia memusatkan nalar budinya, untuk menyerap inti kekuatan api dari nyala oncor itu. Tak beberapa lama ujung pedang itu membara. Hal itu menarik perhatiannya. Ia mengamati ujung pedang yang tadinya membara itu kini telah hilang baranya.
Ia lalu mengulanginya dengan menunjuk lurus ke arah api pada oncor biji jarak itu dengan ujung pedangnya pada jarak sejengkal. Ia pun mulai menyerap inti api yang tersebar dari oncor jarak itu dan menariknya ke ujung pedangnya.
Ki Swandaru pun kemudian memusatkan nalar budinya. Dengan mendasarkan pengetahuannya bahwa ujung pedangnya mampu menyerap inti kekuatan api, maka ia mencoba menerapkan kemampuannnya itu pada jarak sejengkal.
Ternyata ia mampu menyerap inti panasnya api dari oncor biji jarak itu, seperti besi sembrani yang menarik butiran-butiran besi ke ujungnya. Semakin lama inti panas itu terkumpul semakin banyak sehingga membuat ujung pedang itu membara.
Ketika panas yang terserap sampai ke gagangnya makin tinggi, maka buru-buru ia melepas pita berwarna kuning keemasan pemberian Raden Sutawijaya itu. Sungguh sayang kalau pita itu harus terbakar, padahal itu pemberian Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati ketika ia memimpin Mataram. Kini pemimpin Mataram itu telah tiada.
Setelah melepaskan pita kuning itu, ia pun mengulangi lagi pencapaiannya tadi. Demikian seterusnya diulang-ulangnya. Setiap kali panas itu sudah sampai ke gagangnya, maka ia membuat jaraknya semakin jauh dan semakin jauh dari oncor biji jarak itu.
Pada hari berikutnya, setelah jarak jangkauannya mencapai satu depa, Ki Swandaru kemudian membalik caranya menyerap panas itu. Ia memusatkan nalar budinya dan mulai membangkitkan panas dari udara di sekitarnya. Ia tidak lagi menyerap panas itu dari oncor biji jarak di sudut ruangan sanggar. Ketika ujung pedang itu sudah membara, maka ditoreh-torehnya potongan sebatang kayu glugu yang tertancap di sanggar itu.
Hal itu diulanginya kembali dari awal pada jarak satu jengkal. Ketika pedang itu telah membara kembali ia melatihnya pada potongan kayu glugu yang tertancap di sanggar itu. Ditoreh-torehnya kayu dari batang pohon kelapa itu menyilang, semakin lama semakin banyak. Bekas torehan pedang Ki Swandaru dari jarak yang semakin lama semakin jauh itu pun menimbulkan bekas terbakar. Hangus.
Ketika jarak jangkauannya telah mencapai sedepa, ia pun mulai melatih kecepatan dalam membangkitkan panas dari pedangnya. Kalau pada awalnya Ki Swandaru membutuhkan waktu dua kali waktu penginang untuk membangkitkan panas pada pedangnya itu, maka ia terus melatihnya. Pada keesokan harinya, ia hanya membutuhkan waktu sepenginang untuk memanaskan pedangnya dari ujung ke ujung. Karena panas itu dibangkitkan dari dalam dirinya, maka ia tidak merasakan panas itu menyengat kulit tangannya. Demikianlah terus dilatihnya, sehingga dalam waktu sepekan berikutnya ia telah mampu membangkitkan inti panas dari udara dalam waktu hanya sekejap.
Dalam latihan pada pekan berikutnya, Ki Swandaru mulai berlatih dengan cambuknya. Semula ia merasa ragu-ragu untuk menyalurkan lambaran ilmunya pada kulit janget yang dianyam tinatelon tersebut.
Dalam keraguannya itu ternyata timbul tekadnya untuk menyalurkan kekuatan inti panas itu ke dalam cambuknya. Kalaupun cambuk itu menjadi rusak atau hangus, maka ia dapat minta tolong kepada Ki Widura di padepokan kecil Kiai Gringsing untuk membuatkannya lagi. Ki Widura telah mendapat keahlian khusus dari Kiai Gringsing mengenai cara membuat cambuk sebelum orang tua yang aneh itu pergi untuk selamanya.
Ki Swandaru pun mulai mencoba menyerap inti panas dan menyalurkannya ke cambuk kulit janget pemberian gurunya. Ia memegang gagang cambuk itu di tangan kanannya dan ujungnya di tangan kirinya. Sejenak sempat tercium bau kulit terbakar. Namun hanya sejenak. Agaknya, karena ia memeganginya pada ujung dan pangkalnya, maka cambuk itu sama sekali tidak terbakar. Selain itu, cambuk kulit janget yang dianyam tiga rangkap ganda itu ternyata dibuat dengan ramuan khusus dari perguruan Orang Bercambuk, sehingga tidak hangus oleh panas betapapun tingginya.
Tak lama kemudian cambuk itu pun nampak membara tetapi tidak hancur karena hangus. Ki Swandaru pun mulai menggerak-gerakkan cambuknya yang membara itu dengan gerakan sendal pancing. Kali ini yang menjadi sasarannya adalah tonggak glugu yang tertancap di dalam ruangan sanggar itu. Batang pohon kelapa itu pun menjadi hangus dan membekas goresan menyilang mengikuti bekas tarikan sendal pancing cambuknya yang tidak menimbulkan suara ledakan yang keras.
Ki Swandaru Geni mengulang-ulangnya dengan pengerahan tenaga yang semakin lama semakin cepat dan semakin besar. Akibatnya pun menjadi semakin luar biasa. Batang glugu itu pun pada benturan ke seratus, terpotong menjadi dua. Ia masih belum puas. Glugu di sebelahnya yang masih utuh pun diincarnya dengan gerakan sendal pancing. Glugu itu pun seperti glugu sebelumnya, terpotong menjadi dua dengan meninggalkan bekas hangus pada tempat kena benturan.
Akhirnya sampailah Ki Swandaru Geni ke hari yang keempat puluh. Seperti biasanya, setelah makan, ia ke pakiwan dan sesuci. Ia lalu melaksanakan kewajibannya kepada yang Maha Agung dan bersyukur bahwa sampai hari keempat puluh ia masih mendapat perlindungan-Nya dan dianugerahi kesehatan serta keselamatan.
Selanjutnya Ki Swandaru Geni mulai memasuki patigeni selama tiga hari tiga malam berturut-turut. Dalam menjalani patigeni ini, selain tidak menyalakan lampu di dalam ruangan sanggar, iapun tidak melakukan aktivitas apapun selain tenggelam dalam semadi.
Seperti halnya pada waktu berpuasa maka dalam patigeni ini pun godaan untuk ngudhari semakin besar. Ia seolah-olah mendengar bisikan di dalam hatinya, agar ia menghentikan saja kegiatannya itu.
"Bukankah kau sudah berhasil mencapai kemajuan pesat dalam ilmumu"kata bisikan hatinya yang penuh godaan.
Namun niatnya jauh lebih besar lagi untuk mengakhiri laku yang harus dijalaninya sampai tuntas.
Ki Swandaru Geni pun yang kemudian semakin larut dalam semadinya merenungkan segala yang telah dilakukannya seperti lintasan peristiwa yang bergerak demikian cepat dalam alam pikirannya. Semua itu silih berganti melintas dan semakin membulatkan tekadnya untuk tetap teguh berpegang kepada Yang Maha Agung. Yang memberikan segala kemampuan dan pencapaiannya yang nggegirisi itu.
Ia menyadari bahwa semua itu harus diabdikan bagi kepentingan peradaban manusia dan mengingat hubungan bebrayan secara keseluruhan. Semua pencapaian itu pun semakin merendahkan hatinya, bahwa semua itu tidak dapat terjadi tanpa kehendak-Nya.
Ki Swandaru Geni pun dalam semadinya itu mengungkapkan ikrar dalam hatinya, bahwa semua pencapaiannya itu tidak akan membuatnya pongah, sombong atau bahkan congkak.
Ia teringat ucapan gurunya"mendiang Kiai Gringsing"yang suatu ketika pernah memintanya untuk selalu rendah hati dan bersabar dalam menghadapi segala sesuatu dalam hidup ini.
"Kau harus selalu rendah hati, bersabar dan selalu berusaha mengendalikan diri dalam setiap persoalan, ngger Swandaru"kata mendiang gurunya dengan nada sareh.
Ia akan mereguk ilmu padi yang semakin berisi akan semakin merunduk. Sebab Ki Swandaru menyadari bahwa ilmu yang demikian nggegirisi itu jika dipergunakan dengan semena-mena, dengan semau-maunya, akan menimbulkan kegoncangan dalam hubungan antar manusia, dan hubungan dengan alam sekitarnya.
Hal seperti itu pun agak disesalinya, ketika ia beberapa tahun sebelumnya pernah tergelincir oleh godaan manis yang membenturkan dirinya dengan Mataram. Ketika itu, Ki Saba Lintang melalui seorang gadis terlah mendorongnya untuk meningkatkan kedudukan kademangan Sangkal Putung menjadi Tanah Perdikan. Untunglah nawala yang dikirimnya kepada pemimpin tertinggi Mataram, sempat dihentikan oleh Ki Patih Mandaraka, atas permintaan kakak seperguruannya. Ki Rangga Agung Sedayu.
Pada akhirnya Ki Swandaru Geni dapat mengakhiri semadinya dalam laku patigeni itu dengan perasaan yang semakin mantap. Ia pun ngudhar patigeninya ketika Pandan Wangi membuka selarak pintu dari luar dan menyediakan bubur cair untuknya. Badannya terasa lemah dan letih ketika semadinya selesai. Ia membuka matanya dan bangkit perlahan-lahan. Badannya agak limbung namun ia tetap berusaha berdiri perlahan-lahan. Ki Swandaru kemudian berjalan ke amben bambu yang terdapat di sudut ruang an sanggar dipapah oleh Pandan Wangi.
"Aku lemah dan letih sekali, Wangi. Tetapi aku berhasil memperdalam ilmuku"katanya sambil tersenyum.
"Syukurlah kakang. Sebaiknya kakang makan bubur cair ini sebelum pergi ke pakiwan, agar tenaga kakang bisa pulih kembali"kata Pandan Wangi. Ki Swandaru pun pelan-pelan menyuapi mulutnya dengan bubur cair dengan suru dari daun pisang. Meskipun agak lama, bubur cair itu pun habis masuk ke dalam kerongkongannya. Ia meneguk air dari kendi. Kini terasa tenaganya mulai pulih kembali, meskipun belum sepenuhnya.
Setelah tenaganya lebih besar lagi, Ki Swandaru pun pergi ke pakiwan untuk mandi, sesuci dan selanjutnya menghadap Yang Maha Agung. Ia pun semakin mantap dalam pencapaian ilmunya itu dan memanjatkan puji syukur atas segala karunia yang diterimanya.
Untuk melemaskan ototnya, maka Ki Swandaru pun berjalan pelan-pelan di rumahnya. Dari ruang dalam, ke ruang belakang, lalu berbalik ke pendapa. Di pendapa dilihatnya anaknya yang lincah mulai bermain ke sana ke mari diikuti oleh kakeknya. Ki Demang Sangkal Putung. Ketika anak kecil itu melihat ayahnya, segera ia merangkul kakinya lalu berusaha memanjat badan ayahnya. Dengan gembira Ki Swandaru merangkul anaknya itu.
"Hahaha. Swantara. Kau sudah kuat sekarang memanjat badan ayah"katanya. Anak itu pun tidak bisa tinggal diam, dari gendongan ayahnya, ia naik ke pundak dan memeluk kepala ayahnya dari belakang. Ditariknya ikat kepala Ki Swandaru dan dilemparkannya ke kakeknya. Sambil tertawa lebar, Swantara yang juga gemuk seperti ayahnya itu mengacak-acak rambut ayahnya. Ki Swandaru pun tertawa semakin lebar mendapat perlakuan yang demikian dari anaknya. Swantara.
"Agaknya kau kangen dengan ayah, Swantara"kata Ki Swandaru Geni sambil masih tertawa.
Ki Demang Sangkal Putung juga tidak tahan melihat tingkah polah Swantara, dan tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya yang terasa menjadi sakit karena menahan tawa.
Ketika tenaganya menjadi pulih benar pada hari kelima setelah ia menjalani patigeni, maka Ki Swandaru Geni mengajak Pandan Wangi ke suatu tempat di tepian sungai yang berpasir dan berbatu-batu yang jarang dirambah orang. Ia ingin menunjukkan pencapaian ilmunya kepada istrinya, setelah ia puasa selama empat puluh hari ditambah dengan patigeni selama tiga hari tiga malam. Pandan Wangi pun menyambut gembira ajakan suaminya itu dan mereka pun pergi ke tepian sungai itu.
Seperti ketika ia meningkatkan ilmunya di dalam sanggar, maka Ki Swandaru pun mulai menunjukkan kemampuannya dengan tangan kosong. Setahap demi setahap ilmunya itu ditingkatkan, sehingga menimbulkan kesiur angin. Semakin lama kesiur angin itu pun semakin tajam dan terasa semakin jauh jarak jangkaunya. Ketika jarak jangkauan angin pukulannya pada jarak sedepa, maka ia meloncat mendekati sebuah batu hitam sebesar kerbau dewasa yang tergolek di tepian sungai.
Ia memusatkan nalar budinya lalu memukulkan tangannya ke arah batu itu. Akibatnya sungguh dahsyat. Batu itu pecah berkeping-keping menjadi sebesar kepalan.
"Bagus kakang"kata Pandan Wangi yang melihat betapa pukulan berjarak itu mampu memecahkan batu hitam sebesar kerbau dewasa itu menjadi hancur berkeping-keping.
Ki Swandaru merasa belum selesai. Ia pun mencabut pedang besarnya dan mengayunnya berputar-putar dengan menerapkan jurus perguruan Orang Bercambuk. Ketika telah merasa cukup, ia pun mulai melambarinya dengan penyerapan panas dari udara seperti yang dilakukannya di dalam sanggar.
Tidak beberapa lama pedang besar itu pun mulai membara, namun ia tetap mengayun-ayunkan pedang yang besar dan berat itu seakan-akan tanpa bobot. Dengan lincahnya ia meloncat ke sana kemari. Kadang-kadang ia berjumpalitan, lalu menebas mendatar. Di saat yang lain, Ki Swandaru Geni meloncat tinggi. Badannya terasa ringan, seakan ia terbang seperti burung sikatan yang menyambar bilalang.
Seperti pada pukulannya, maka pedangnya pun mempunyai jarak jangkauan seolah-olah pedang yang membara itu menjadi tombak yang panjangnya sedepa lebih panjang. Batang-batang perdu dan pepohonan yang berada di tepian sungai itu pun ditebasnya dengan ilmu pedangnya yang nggegirisi itu. Ketika pukulan pedang itu menerjang sebuah batu, maka batu itu pun pecah berantakan meskipun batu itu berada pada jarak sedepa lebih jauh dari ujung pedangnya.
"Hebat kakang."terdengar teriakan Pandan Wangi yang disambung dengan tepuk tangan dari tempatnya mengamati yang agak jauh.
Namun Ki Swandaru belum selesai dengan latihannya setelah menjalani laku puasa empat puluh hari dan patigeni tiga hari tiga malam. Ia masih ingin menunjukkan sampai tuntas ilmu yang telah dicapainya setelah mesu diri selama hampir dua bulan itu. Ia pun mengurai cambuk dari balik baju di pinggangnya. Seperti pada latihan dengan tangan kosong dan dengan pedang tadi, maka Ki Swandaru pun mulai menggerakkan cambuk berjuntai panjang itu dengan jurus-jurus ilmu perguruan Orang Bercambuk.
Mula-mula gerakannya pelan tapi bertenaga, lalu semakin lama semakin cepat, dan semakin cepat lagi. Terdengar beberapa kali cambuknya meledak dengan suara keras seakan-akan memekakkan telinga istrinya Pandan Wangi. Namun makin lama suara ledakan cambuknya seakan-akan teredam dan sama sekali tidak berbunyi keras. Namun akibatnya sungguh luar biasa. Udara pada arah ke mana cambuk itu ditujukan, terasa bergetar keras. Bahkan Pandan Wangi yang duduk berjuntai di atas batu, sempat terkejut. Karena getaran cambuk Ki Swandaru yang tidak menimbulkan suara keras itu seakan-akan mengguncang jantungnya. Ketika ujung juntai cambuk yang terdapat karah-karah baja bersegi sembilan di ujungnya itu diarahkan ke sebuah batu, maka batu itu pun meledak. Batu hitam itu hancur berkeping-keping, debu pun berhamburan dari pusat ledakan.
Tiba-tiba Ki Swandaru berhenti dengan gerakannya. Ia memperhatikan akibat dari benturan ilmunya dengan batu hitam itu.
Ia berdiri kokoh seolah-olah kakinya menghunjam ke dasar bumi, yang tidak akan goyah oleh kekuatan serangan hujan atau badai yang menerjang. Gagang cambuknya terpegang erat dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang juntainya.
Perlahan-lahan Ki Swandaru menyerap inti panas dari udara dan cambuk kulitnya yang dianyam tiga ganda dan berjuntai panjang itu terlihat membara dari gagangnya lalu bergerak ke ujung, sehingga pada akhirnya seluruh cambuk itu terlihat membara.
Pandan Wangi yang mengambil jarak agak jauh, melihat betapa cambuk suaminya itu menjadi merah membara. Seolah-olah suaminya memegang bara di tangannya, dan beberapa saat kemudian suaminya mulai bermain-main dengan bara api yang lentur itu. Bara api itu pun diputar-putarkannya. Sebuah batang pohon yang agak tinggi berada di dekatnya seperti tertebas oleh golok yang tajam ketika cambuk membara itu menderanya. Suaranya berderak ketika roboh dan dedaunan yang masih melekat di batang itu pun segera layu lalu berguguran satu demi satu. Sedangkan batang pohonnya yang langsung tersambar cambuk membara itu menjadi hangus terbakar.
Ki Swandaru belum selesai. Ia pun melompat menjauhi istrinya Pandan Wangi dan mendekati batang perdu yang agak jauh dari tepian sungai yang cukup luas itu. Ki Swandaru memutar-mutar kembali cambuknya yang membara seperti baling-baling, makin lama makin cepat. Wilayah pengaruh putarannya pun makin lama makin luas ketika ia menerapkan ilmu cambuknya yang membara itu dengan jarak jangkauan melebihi bentuk wadagnya.
Semua pepohonan, perdu dan kayu kering yang berada di dekatnya, segera tumbang kena sambaran cambuk yang membara itu. Bahkan termasuk pepohonan yang berada di dalam jangkauan di luar bentuk wadag dari cambuknya itu yang seolah-olah panjangnya menjadi dua kali lipat panjang cambuknya semula.
Ki Swandaru yang semula merasa sudah cukup dengan permainan cambuknya, segera meloncat mendekati sebuah batu, namun masih di luar panjang cambuknya. Juntai cambuk yang pada ujungnya terdapat karah-karah baja bersegi sembilan dan secara khusus ditambahinya dengan gelang-gelang itu pun meledak menyambar ke arah batu itu. Terdengar dentuman dahsyat.
Pandan Wangi merasa seolah-olah bumi tempatnya berpijak bergetar bak diguncang gempa. Dari arah batu hitam yang dihajar juntai cambuk Ki Swandaru, meskipun ujung cambuk itu belum menyentuhnya secara wadag, nampak batu hitam itu mengepul seperti serpihan pasir dan kerikil terlempar ke udara berserak ke segala arah. Pandan Wangi pun memalingkan dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya agar percikan pasir itu tidak memasuki matanya.
Ki Swandaru masih berdiri tegak di depan batu yang hancur tersambar cambuk yang memanjang di luar jangkauannya. Tangan kanannya memegangi gagang cambuk itu dan tangan kirinya memegang juntainya. Perlahan-lahan ia meredakan nafasnya, dan bara api itu meredup pada ujungnya, kemudian bergerak ke arah pangkalnya, akhirnya bara itu lenyap sama sekali. Ternyata cambuknya itu masih utuh. Tidak terbakar atau hangus karena dilewati panas, sepanas bara api. Ketika cambuk telah dingin kembali, Ki Swandaru pun membelitkannya di bawah baju di lambungnya.
"Luar biasa kakang. Apakah nama ilmu cambuk kakang itu?"tanya Pandan Wangi.
"Apa ya? Aku akan memberinya nama aji Cambuk Geni atau aji Bara Cambuk, atau aji Cambuk Bara. Manakah yang menurutmu pantas untuk nama ilmu cambukku yang baru ini, Wangi"tanya Ki Swandaru Geni.
"Aku rasa lebih tepat kakang menyebutnya aji Cambuk Bara. Karena dalam aji itu cambuk kakang tidak mengeluarkan api atau geni, melainkan cambuk itu berubah menjadi bara."
"Ya. Mulai sekarang aku akan menyebutnya aji Cambuk Bara, Wangi. Aku"Swandaru Geni"dengan aji Cambuk Bara"katanya.
Demikianlah kedua suami istri itupun segera mengakhiri pengamatan mereka atas ilmu yang dicapai oleh Swandaru di tepian sungai yang berpasir dan berbatu itu dan kembali ke rumahnya di kademangan Sangkal Putung. Untunglah tempat itu jarang diambah orang, sehingga tidak seorang pun yang melihat tempat itu menjadi porak poranda dan pepohonan terbakar hangus serta batu hitam yang hancur berantakan menjadi pasir dan kerikil ketika dihantam oleh aji Cambuk Bara.
Dalam pada itu, di dalam gua di atas tebing sungai Ki Tumenggung Untara mulai mengenali goresan lukisan di dinding gua itu satu persatu, seperti halnya ia mengenali lukisan di atas daun rontal yang dibuat adiknya Agung Sedayu. Ki Tumenggung pun mengenali berbagai jurus yang terpahat melingkar di dinding gua itu. Semakin tinggi tingkatan ilmu dari aliran perguruan Ki Sadewa itu, maka letaknya di dinding gua itu pun semakin tinggi. Ternyata ia hanya mengenali ilmu yang terpahat sebanyak tiga perempat dari tinggi gua itu. Selebihnya masih asing baginya.
Sebelum Ki Tumenggung Untara memulai mesu diri untuk meningkatkan ilmunya, maka ia mulai dengan meneguhkan niat untuk mempelajari ilmu olah kanuragan peninggalan ayahnya itu.
"Niyat ingsun untuk mempelajari ilmu olah kanuragan peninggalan Ki Sadewa dalam gua ini"katanya di dalam hati. Setelah itu mulailah Ki Tumenggung Untara dengan langkah awalnya untuk menguasai ilmu dari peninggalan Ki Sadewa yang terpahat di dinding gua itu.
Oleh karena itu Ki Tumenggung Untara ingin mengamati dan menghapalkan urutan gerak dari ilmu aliran Ki Sadewa dari awal sampai akhir secara runtut dalam sehari. Selebihnya ia akan mendalami ilmu itu dari awal sampai akhir dalam waktu yang tersisa. Seperti halnya Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Tumenggung Untara pun dikaruniai oleh Yang Maha Agung mempunyai ingatan yang tajam atas sesuatu benda atau suatu hal yang dengan penuh perhatian dilihat atau ditelitinya. Pada beberapa hal ia pun mengoreksi gerakannya yang masih belum sesuai dengan pahatan di dinding gua itu.
Setelah menghapalkan semua goresan yang terpahat di dinding gua itu pada hari pertama, pada hari berikutnya Ki Tumenggung Untara pun mulai memperagakan semua gerakan yang sudah terpateri di dalam bilik ingatannya. Dalam waktu singkat ia sudah bisa memperagakan semua gerakan dari awal sampai akhir, namun terhenti pada puncak kubah, karena puncak ilmu yang terpahat di sana tanpa sengaja telah dihancurkan oleh Agung Sedayu.
Setelah lancar memperagakan semua gerakan itu, Ki Tumenggung Untara pun mengulanginya kembali dari tingkat paling dasar, namun dengan pengerahan nalar budi dan dengan diberi tenaga yang semakin besar. Ia pun meloncat-loncat lincah dan setiap jurus mendapat lambaran tenaga nirwadag yang menimbulkan kesiur angin yang tajam.
Semakin lama desau angin yang terdorong oleh pukulannya pun semakin keras dan semakin keras. Ki Tumenggung Untara pun kemudian memperhatikan dan mempertajam tekanan angin pukulannya itu. Makin lama tekanan angin nirwadag itu pun berubah menjadi mempunyai kekuatan yang bersifat kewadagan. Ketika ia bergerak dengan lincahnya, dari sudut ruangan gua ia mengarahkan dorongan pukulannya ke sebuah batu hitam pipih yang berada di tengah gua. Namun Ki Tumenggung Untara tidak ingin menghancurkan batu pipih itu, karena ia teringat di sanalah ayahnya bersemadi setelah menjalankan latihan seharian.
Oleh karena itu Ki Tumenggung hanya ingin mendorong batu itu beberapa jengkal dari tempatnya tanpa harus merusakkannya. Terdengar batu itu berderit bergeser karena dorongan ilmunya. Ki Untara terkejut ketika mendengar derit batu yang bergeser karena dorongan ilmunya. Ia pun melangkah mendekati batu pipih itu.
Ternyata di bawah batu itu terdapat sebuah rongga. Ia pun teringat ketika beberapa kali ayahnya mengajak memasuki gua itu, ayahnya pernah mengangkat batu hitam itu dan menaruh sesuatu di dalam rongga tersebut.
Ki Tumenggung Untara pun mendekati batu hitam yang tergeser tadi. Matanya terbelalak. Di dalam rongga di bawah batu hitam ternyata terdapat sebuah kotak kayu yang sudah mulai lapuk di sudut-sudutnya, meskipun masih membekaskan sunggingan halus yang sangat indah. Di sebelah kotak kayu itu teronggok sebuah pedang mustika. Sebuah pedang yang wrangkanya berwarna putih disalut kuning keemasan. Ki Tumenggung Untara teringat bahwa pedang mustika itu selalu dibawa oleh ayahnya kalau mengembara.
Ki Tumenggung Untara pun mengangkat pedang mustika itu dari tempatnya di bawah batu hitam pipih yang terletak di tengah gua itu. Pedang itu meskipun berukuran sedang, namun beratnya dua kali pedang pada umumnya.
Ia pun menarik pedang itu dari wrangkanya, ternyata pedang itu bukan pedang biasa. Hal itu terlihat dari bilahnya yang berat itu ternyata terukir pamor yang sangat jelas. Ayahnya mengatakan bahwa pedang itu ditempa seperti para empu membuat sebilah keris, sehingga pada bilahnya itu mempunyai pamor seperti pada keris.
"Pamor Bimakroda"katanya di dalam hati. Agaknya pedang itu berjodoh dengan dirinya. Meskipun Agung Sedayu berada di dalam gua itu lebih lama, namun adiknya itu tidak menemukan pedang mustika itu. Ki Tumenggung lalu memasukkan kembali pedang itu ke dalam wrangkanya.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian mengangkat peti kayu yang terletak di sebelah pedang itu. Perlahan-lahan ia membuka tutup peti itu dengan menggeser bagian atasnya. Peti itu pun terbuka, ternyata di dalamnya terdapat sebuah kitab dan selembar rontal yang terletak di atas kitab itu. Di dalam rontal itu ternyata tertulis rangkaian huruf yang telah ditulis puluhan tahun yang lalu. Meskipun telah lama ditulis, namun bentuk dan warna tulisan itu masih tetap jelas dapat terbaca. Ia pun mengamati bentuk-bentuk huruf dalam tulisan itu, ternyata itu adalah bentuk tulisan ayahnya. Ia lalu mulai membaca tulisan pada rontal itu.
"Anakku Untara, jika kelak di suatu ketika kau menemukan surat ayah ini, maka tentu kau sudah tidak bertemu dengan ayah lagi. Aku menyadari saat-saat akhir hayatku sudah mendekat. Namun pada saat aku merasa masih kuat ini aku telah menyempatkan menyimpan pedang mustika yang selalu kubawa dalam pengembaraanku. Aku ingin mewariskan pedang mustika ini kepadamu. Sedangkan di bawah rontal ini adalah kitab dari Perguruan Jati Kencana, yang merupakan aliran dari perguruanku. Selain ilmu silat tangan kosong yang sudah aku pahatkan di dinding gua ini, yang juga berasal dari kitab ini, di dalam kitab ini juga terdapat ilmu pedang dari Perguruan Jati Kencana"Ki Tumenggung Untara menahan nafas setelah membaca sebait tulisan dalam rontal itu. Ia lalu melanjutkan membaca.
"Angger anakku Untara, cikal bakal pendiri dari perguruan Jati Kencana adalah kakek buyutku. Berarti kalau kau beruntung bisa meneruskan perguruan Jati Kencana, maka kau adalah keturunan kelima dari perguruan Jati Kencana. Nah di dalam kitab ini, selain ilmu silat tangan kosong yang terpahat di dinding, juga terdapat ilmu pedang yang merupakan padanan bagi pedang mustika yang kau temukan di dalam gua ini."
"Pelajarilah ilmu pedang itu untuk menegakkan keadilan dan menghilangkan sikap angkara murka dari muka bumi ini. Aku rasa kau bisa memilah dan memilih, manakah yang bernama keadilan dan manakah sikap angkara murka itu. Karena aku mempunyai anak dua, yaitu kau Untara dan adikmu Agung Sedayu, maka kau hendaknya berbagi pula dengannya untuk mempelajari ilmu dari perguruan Jati Kencana."
"Karena perguruan Jati Kencana bersifat tertutup, maka yang hanya boleh menguasai ilmu dari perguruan kita ini adalah hanya sebatas anak keturunan kakek buyutku. Tentu saja, pamanmu Widura termasuk orang yang boleh mempelajari kitab ini."
"Nah anakku, selamat mempelajari ilmu pedang dan berbagai puncak ilmu yang terdapat di dalam kitab perguruan Jati Kencana. Aku yakin kau bisa mempelajarinya, meskipun kelak aku sudah tidak bisa membimbingmu seperti saat kau kecil sampai beranjak dewasa. Aku harapkan ilmu perguruan Jati Kencana peninggalan kakek buyutmu tidak terputus sampai di sini. Ayahmu. Sadewa"
Ki Tumenggung Untara trenyuh membaca rontal yang ditulis ayahnya puluhan tahun yang lalu itu. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya mempunyai perhatian yang demikian besar kepada dirinya dan adiknya. Ia pun kemudian menyimpan rontal yang ditulis ayahnya itu dengan hati-hati ke dalam peti kecil itu, setelah mengambil kitab perguruan Jati Kencana itu untuk dipelajarinya. Ia lalu memasukkan kotak kayu itu ke dalam kampilnya.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian membuka-buka kitab perguruan Jati Kencana itu. Ia kemudian membandingkan semua yang tertuang dalam pahatan di dinding gua dengan yang terdapat di dalam kitab itu. Semuanya sama, kecuali puncak ilmunya yang telah dirusak secara tidak sengaja oleh Agung Sedayu, ternyata terdapat lengkap di dalam kitab itu.
Ki Tumenggung Untara pun kemudian segera menghafal dan mematerikan ke dalam blik ingatannya semua laku yang harus dilaksanakan untuk menguasai ilmu puncak tangan kosong perguruan Jati Kencana. Ternyata untuk menguasai puncak ilmu silat tangan kosong perguruan Jati Kencana itu, pada tataran ilmu yang sudah dikuasainya sekarang, hanya membutuhkan patigeni tiga hari tiga malam. Selain itu dengan menjalani patig
Ki Tumenggung Untara pun kemudian segera menghafal dan mematerikan ke dalam bilik ingatannya semua laku yang harus dilaksanakan untuk menguasai ilmu puncak tangan kosong perguruan Jati Kencana. Ternyata untuk menguasai puncak ilmu silat tangan kosong perguruan Jati Kencana itu, pada tataran ilmu yang sudah dikuasainya sekarang, hanya membutuhkan patigeni tiga hari tiga malam. Selain itu dengan menjalani patigeni, akan meningkatkan ilmu meringankan tubuhnya.
Dalam kitab itu Ki Tumenggung Untara juga membaca bahwa di dekat grojogan dekat tikungan gua di sebelah ruangan itu, di balik sebuah batu besar terdapat sebuah belumbang yang cukup untuk satu orang untuk berendam. Jika orang itu berendam dalam gua itu maka ia bisa mendapat ilmu kebal sekaligus kebal terhadap segala bisa dan racun yang paling tajam sekalipun.
Hal itu karena di atas gua itu terdapat pohon mahkota dewa yang mempunyai sifat kebal terhadap berbagai jenis racun. Pohon mahkota dewa adalah sejenis pohon yang mempunyai getah yang sangat pahit dan sifat menawarkan segala macam racun dan bisa.
Oleh karena itu, Ki Tumenggung Untara berniat melaksanakan kedua laku itu menjadi satu. Patigeni tiga hari tiga malam sekaligus berendam di dalam belumbang yang ada di dalam gua itu. Sejalan dengan niatnya itu ia pun merapikan barang bawaannya di dalam kampil dan menyimpannya bersama dengan pedang dan kotak kayu yang berisi kitab perguruan Jati Kencana peninggalan kakek buyut dari ayahnya di dalam rongga yang ada di bawah meja batu pipih di tengah gua itu.
Setelah merapikan semuanya Ki Tumenggung Untara pun mulai melaksanakan patigeni dan berendam di dalam belumbang itu. Ketika hendak masuk ke dalam belumbang itu, di celah-celah batu itu terlihat akar pohon mahkota dewa itu yang menjalar ke sana ke mari. Dari sela-sela akar itu mengalir air yang cukup deras dan jernih.
Demikianlah mulai hari itu Ki Tumenggung Untara meningkatkan mesu dirinya dengan patigeni selama tiga hari tiga malam sekaligus berendam di dalam belumbang kecil di dalam gua itu. Ia melepas bajunya dan berendam sebatas leher. Ketika tanpa sengaja sepercik air masuk membasahi bibirnya, terasa air itu sangat pahit.
Mula-mula Ki Tumenggung merasakan air yang sejuk di dalam belumbang itu. Sejalan dengan udara yang berubah menjadi dingin karena matahari tenggelam di balik bukit pada wayah surup, maka air di dalam belumbang itu pun berubah menjadi dingin. Air itu menjadi semakin dingin dan akhirnya menjadi sangat dingin pada waktu menjelang terbit matahari.
Karena dinginnya air itu, membuat seakan-akan tubuh Ki Tumenggung Untara menjadi membeku dan ia pun menggigil di dalam air. Namun Ki Tumenggung Untara yang sudah mempunyai ketahanan tubuh luar biasa itu pun juga berusaha menyerap inti dinginnya air tersebut sebagai dasar bagi lambaran ilmunya. Karena ia menyesuaikan diri dengan air yang dingin itu, maka yang terjadi adalah bahwa inti dingin air itu justru membuat tubuhnya hangat. Perlahan-lahan tubuhnya tidak lagi menggigil, dan akhirnya terbiasa dengan air dingin tersebut.
Air di belumbang itu pun mulai menghangat ketika matahari mulai memanjat ke atas cakrawala. Air itu mulai panas, dan sangat panas seperti air yang mendidih ketika matahari berada di puncak langit. Badannya seolah-olah berkeringat di dalam air, karena air yang panas itu seperti merebus dirinya.
Seperti ketika menghadapi air yang dingin di pagi hari, maka pada puncak panas itu, tubuh Ki Tumenggung Untara pun kemudian perlahan-lahan menyesuaikan diri dengan air yang seakan-akan mendidih itu. Karena tubuhnya juga menjadi panas, maka serangan panas dari air itu seolah-olah tidak dirasakannya lagi dan berubah menjadi tidak sepanas sebelumnya. Justru inti panas dari air itu pun diserapnya sebagai lambaran dari ilmunya.
Hal itu terulang kembali di hari berikutnya. Pada saat malam menjelang, maka air itu bergerak menjadi dingin. Puncak dingin itu pun tercapai ketika menjelang matahari terbit di ufuk timur. Ia melihat pergerakan matahari itu dari cahaya yang memantul dari lubang pada kubah gua itu. Meskipun seberkas tipis, pantulan cahaya itu sudah cukup memberikan isyarat kepada Ki Tumenggung wayah apa ketika itu.
Tidak seperti pada hari sebelumnya, di mana air yang dingin bahkan sangat dingin itu membuat tubuhnya seolah-olah menggigil. Maka pada hari kedua Ki Tumenggung sudah tidak terlalu merasakan serangan air yang dingin itu. Begitu pula pada siang harinya, serangan panas air itu tidak terlalu dirasakannya seperti air mendidih. Air itu terasa hanya hangat saja, meskipun pada awalnya sempat menjadi panas yang meresap ke dalam dirinya.
Demikian pula pada pergantian hari yang ketiga, perubahan antara panas dan dingin itu sudah tidak lagi terdapat perbedaan yang besar. Kalau pada hari pertama tubuhnya terasa menjadi menggigil di pagi hari dan menjadi terasa mendidih di siang hari, maka pada hari ketiga tubuhnya terasa menjadi segar. Setelah selesai patigeni dan berendam di belumbang itu, maka Ki Tumenggung Untara pun bangkit dan keluar dari belumbang tersebut.
Ki Tumenggung pun mengelap tubuhnya yang basah itu dengan kain pengering badan yang dibawanya. Setelah itu ia duduk bersila di atas batu pipih itu dengan posisi tangan bersedakep. Beberapa saat ia memusatkan nalar budinya. Setelah ia merasa mendapat ketenangan lahir dan batin, maka Ki Tumenggung Untara pun mulai bangkit dari atas batu itu.
Ki Tumenggung ingin mendapat keyakinan atas hasil patigeni dan berendam di dalam belumbang itu. Ketika ia mencoba meloncat dari atas batu pipih itu, tiba-tiba tubuhnya melayang sangat tinggi sehingga membuatnya sedikit terkesiap. Ternyata ia telah mendapat ilmu meringankan tubuh tanpa disadarinya. Untunglah ia segera dapat menguasai dirinya, sehingga pada loncatan pertama itu kepalanya tidak membentur kubah gua.
Untuk bisa mengukur kemampuan dirinya, maka Ki Tumenggung pun mencoba meloncat ke sana ke mari, sehingga ia menjadi terbiasa dengan daya lontar kakinya yang mendorongnya seperti seekor bilalang.
Ia pun mencoba berjumpalitan di udara, ternyata hal itu pun sangat mudah dilakukannya. Badannya menjadi seringan kapas, dan mudah digerakkan selincah bilalang. Satu jejak dorongan kaki, dapat menghantarkannya ke puncak kubah gua itu. Namun sebelum kepalanya membentur bagian atas gua itu, ia pun meliuk dan berputar berjumpaitan di atas, lalu turun dengan mudahnya. Ketika kakinya menapak ke lantai gua, kakinya tidak menimbulkan suara sama sekali. Kakinya seringan kaki kucing yang terjatuh dari atap dan tidak terdengar suara apa pun.
Ki Tumenggung Untara masih belum puas juga. Ia melakukan semua itu berulang-ulang, berulang dan berulang lagi. Kini ia mencoba gerakan lain. Ia meloncat ke satu sisi dinding gua, ketika kakinya menjejak dinding gua itu, ia melontarkan dirinya ke dinding gua yang lain di belakangnya. Lalu Ki Tumenggung Untara bergeser pula sedikit demi sedikit, sehingga pada akhirnya ia berputar dari sisi gua yang satu ke sisi gua yang lain. Ketika ia berada kembali di posisi awalnya, ketika ia menjejakkan kakinya untuk yang pertama kalinya, maka ia kemudian melenting dan berputar berjumpalitan lalu turun dengan posisi kaki yang tegak dan agak sedikit merenggang.
Setelah berulang-ulang menekuni kemampuannya yang baru dalam ilmu meringankan tubuh, maka Ki Tumenggung Untara pun kemudian beristirahat sejenak. Ia duduk bersila di atas batu pipih yang berbentuk seperti meja di tengah ruangan gua itu. Tangannya bersedakep.
Lalu ia memusatkan nalar budinya dan mengenali arus peredaran darahnya serta detak urat nadinya. Hal itu dilakukannya berulang-ulang, sehingga pada gilirannya terasa suatu hawa murni yang bergerak dari lubang hidungnya, mengalir ke bawah, ke paru-paru, ke jantung, ke bawah perut, bergerak ke atas ke kepala sampai ujung rambut. Kemudian turun lagi ke bawah sampai ke ujung jari kakinya. Semua pergerakan hawa murni itu terus diamati dan dikendalikanya.
Namun ia merasa seolah-olah pergerakan itu masih tersumbat dan memerlukan penyaluran. Kadang-kadang pergerakan hawa murni itu berputar tak terkendali dan lepas dari pengawasannya. Namun dengan bersusah payah akhirnya hawa murni dari tenaga cadangan itu perlahan-lahan bisa dikuasai dan dikendalikannya. Setelah berkutat hampir setengah hari, akhirnya Ki Tumenggung Untara menyelesaikan latihan olah pernapasannya itu.
Ki Tumenggung Untara pun membuka sila kakinya dan mengurai tangannya yang bersedakep. Ia lalu turun dari meja batu pipih itu, lalu pergi ke cucuran air yang terdapat di sudut ruangan gua itu. Ki Untara lalu sesuci dan melaksanakan kewajibannya kepada Yang Maha Agung.
Setelah selesai dengan kewajibannya, maka Ki Tumenggung Untara mengangkat batu pipih itu dan mengeluarkan kotak kecil, pedang mustika dan kampilnya. Ia lalu membuka kotak kecil itu dan mengeluarkan kitab yang berisi jalur ilmu perguruan Jati Kencana yang diperolehnya dari warisan ayahnya Ki Sadewa secara aneh itu.
Perlahan-lahan Ki Tumenggung Untara membuka dan mempelajarinya. Ternyata semua unsur gerakan dari perguruan Jati Kencana yang tertuang dalam kitab itu sudah dapat dikuasainya. Kitab itu terbagi dalam dua bagian. Yang pertama adalah dasar gerak ilmu olah kanuragan dan bagian kedua adalah bagian Jaya Kawijayan. Dalam bagian kedua kitab itu, ternyata terdapat beberapa macam ilmu Jaya Kawijayan berupa puncak ilmu Jati Kencana. Dalam kelompok ini terdapat Aji Jati Kencana sendiri, lalu ilmu kebal Lembu Sekilan, dan ilmu pengobatan. Namun yang tidak diduga oleh Ki Tumenggung Untara, ternyata dalam kitab ini juga terdapat beberapa ilmu yang bersifat halus seperti panglimunan, welut putih, dan aji begananda, suatu ilmu sirep yang bersifat sangat tajam.
Dalam kitab itu juga terdapat berbagai katuranggan seperti wanita, kuda, burung perkutut, burung gemak dan lainnya. Juga dijelaskan berbagai tanda-tanda zaman berupa pedut, lindu, pirasat mimpi dan sebagainya. Dalam buku itu juga terdapat ilmu saat. Dalam ilmu saat ini tercantum berbagai saat yang tepat untuk memulai sesuatu kegiatan seperti saat untuk menanam padi, saat untuk membuat sumur, saat untuk membangun rumah, saat untuk menikah dan sebagainya.
Meskipun cakupan ilmu dalam kitab itu begitu luas, namun Ki Tumenggung Untara lebih tertarik untuk menyimak ilmu yang berkaitan dengan puncak ilmunya yaitu Aji Jati Kencana. Ia pun kemudian semakin tenggelam dalam menyimak buku itu. Di dalam kitab itu dijelaskan bahwa ketika hawa murni dari tenaga cadangan itu sudah terkumpul sedikit di bawah perut, maka dengan menggerakkan tangan dan kakinya sesuai petunjuk kitab itu, tenaga itu akan dapat disalurkan menjadi kekuatan yang nggegirisi.
Demikianlah Ki Tumenggung Untara pun berlatih dan berlatih, mengikuti petunjuk yang terdapat di dalam kitab itu. Ketika dalam posisi berdiri dengan kaki direnggangkan, kedua tangan yang berada di sisi badannya, perlahan-lahan diangkat sampai setinggi dagu dengan telapak tangan menghadap ke atas.
Ketika sudah berada di depan dagu terasa hawa murni itu terdorong ke arah tangannya. Ia lalu memusatkan nalar budinya, yang membuat dorongan hawa murni dari tenaga cadangan itu semakin terkumpul di telapak tangannya.
Setelah ia merasa tenaga itu sudah terkumpul sepenuhnya di telapak tangannya, maka Ki Tumenggung Untara mendorongnya dengan sekuat tenaga ke arah sebuah batu besar yang berada di sudut ruangan gua itu. Sungguh dahsyat.
Batu yang berjarak beberapa depa dari Ki Tumenggung itu pun meledak berkeping-keping ketika sebuah cahaya putih kekuning-kuningan meluncur dari kedua telapak tangannya. Batu hitam itu pun seperti disambar petir dan meninggalkan kerikil dan pasir yang berhamburan.

—ooOOOoo—

MATARAM BINANGKITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang