Mataram Binangkit Buku 402

9.8K 30 3
                                    

Buku 402

Demikianlah mereka berbincang mengenai berbagai hal yang menyangkut keluarga mereka. Ki Gde Menoreh menanyakan tentang cucunya Swantara, yang tentunya sedang lucu-lucunya.

"Ayah Demang menjadi kewalahan mengatasi anak kecil itu"kata Swandaru."Anak itu suka berlari ke sana kemari dan memanjat semua pepohonan yang ada di halaman rumah".

Ki Gde Menoreh mengerutkan keningnya.

"Bukankah Swantara belum berumur empat tahun?" tanyanya.

"Belum ayah. Tetapi ia sudah lincah sekali bermain ke sana kemari. Ada saja gagasannya yang lucu-lucu membuat semua orang tersenyum, bahkan tertawa lebar" kata Swandaru.

"Oo. Alangkah lucunya" kata Ki Gde Menoreh."Kalau aku masih kuat berkuda tentu aku ingin pergi menengok cucuku yang lucu dan nakal itu."

"Ayah, biarlah kelak jika Sekar Mirah sudah melahirkan, aku, Pandan Wangi dan Swantara yang datang kemari menengok adik kecil yang baru lahir," kata Ki Swandaru.

"Baiklah jika demikian. Aku juga sudah tidak bisa lagi memaksakan diri untuk pergi ke Sangkal Putung, apalagi kondisi kesehatanku yang sudah tidak memungkinkan karena cacat di kaki ini" kata Ki Gde Menoreh.

Ki Gde Menoreh termangu-mangu sejenak.

Memang sejak luka-luka di punggungnya setelah berperang tanding dengan Ki Tambak Wedi dahulu, kondisi kesehatan Ki Gde Menoreh tidak bisa pulih seperti sedia kala, terutama cacat pada salah satu kakinya itu. Namun sebagai seorang yang mempunyai kelebihan wadag dan jiwani daripada orang kebanyakan, maka hal itu tidak menjadikan Ki Gde Menoreh menjadi berkecil hati.

Setiap hari Ki Gde Menoreh masih sempat meluangkan waktu untuk masuk ke ruangan sanggarnya untuk melatih kondisi tubuhnya agar tetap tegar. Selain itu, Ki Gde juga meningkatkan kemampuannya untuk bergerak lincah, meskipun hanya mengandalkan bertumpu pada satu kaki. Bahkan Ki Gde Menoreh lebih banyak berlatih untuk meningkatkan tenaga cadangannya. Ternyata dengan bekal tenaga cadangan yang bisa dibangkitkannya, Ki Gde sudah bisa merambah ke peningkatan kemampuannya dalam menggunakan ilmu pamungkasnya.

Seperti halnya dengan anaknya "Nyi Pandan Wangi" ternyata Ki Gde Menoreh mulai mengenali kemampuan ilmunya yang bisa mendahului bentuk wadagnya dalam mencapai sasaran. Ki Gde tak henti-hentinya melatih pengenalan atas ilmunya itu, meskipun secara kewadagan ia sudah merasa mulai menyusut kemampuannya. Namun pengenalan itu membuatnya semakin maju dengan pesat dalam menggeluti ilmu pamungkasnya itu.

"Bagaimana dengan Ki Widura dan anakmas Untara?"tanya Ki Gde Menoreh yang tiba-tiba teringat dengan kedua kerabatnya itu.

"Kalau Ki Widura sekarang menyibukkan diri dengan mengurus padepokan kecil Orang bercambuk peninggalan Kiai Gringsing. Bahkan putera kakang Untara "Wira Sanjaya" kini berguru di padepokan itu." kata Ki Swandaru.

"Oh ya? Bagaimana kabarnya Ki Untara"tanya Ki Gde Menoreh pula.

"Kakang Untara mendapat kepercayaan untuk menjadi Panglima Wira Tamtama, suatu jabatan yang sejak lama kosong setelah Ki Gde Pemanahan mendirikan Mataram. Jabatan itu dijabat Ki Gde Pemanahan pada zaman Pajang" kata Ki Agung Sedayu.

"Oo. Syukurlah. Aku Ikut senang mendengarnya. Apakah Ki Untara akan berkedudukan di Kotaraja?" tanya Ki Gde Menoreh.

"Iya ayah. Kakang Untara yang kini bergelar Ki Prabayudha itu berkedudukan di Kotaraja. Sedangkan jabatan kakang Prabayudha digantikan oleh adi Sabungsari yang kini sudah berpangkat rangga." kata Ki Swandaru Geni menimpali.

"Lalu anakmas Agung Sedayu juga mendapat gelar kekancingan?"tanya Ki Gde Menoreh.

Ki Agung Sedayu hanya terdiam, dan menunduk. Sebagaimana biasanya, ia tidak ingin menonjolkan diri. Berbeda dengan adik seperguruannya yang sekaligus kakak iparnya. Ki Swandaru Geni.

MATARAM BINANGKITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang