Amora point of view
Dering handphone membangunkanku dari tidur. Aku melihat di nakas menunjukan pukul 7 pagi. Aku mengambil handphone ku dan melihat nomer yang tak dikenal menelponku.
"Halo?" sapaku.
"Turun sekarang. Aku di basement." ucapnya.
"Siapa ini?" tanyaku lagi.
"Revi." ucapnya lalu mematikan sambungan telepon.
Aku diam sejenak. Mencerna apa yang baru dia katakan. Ya Tuhan, dia di bawah!
Masih megenakan baju tidur aku bergegas turun menemuinya. Aku melihat sekeliling basement. Aku melihat Revi sedang bersandar di mobil Ferrari miliknya dan asik dengan ponselnya. Ya Tuhan, mengapa ia begitu tampan?
Aku menghampirinya. Dia mendongak dan melihatku dari atas sampai bawah.
"Kau tidak menganti bajumu?" tanyanya heran.
"Kau menyuruhku turun dan menemuimu. Aku tidak enak jika kau harus menunggu, jadi aku langsung kesini." jawabku.
Dia menghembuskan nafasnya kasar. Sepertinya dia kesal padaku. Tapi mengapa? Bukankah dia menyuruhku untuk menemuinya?
"Dengar, aku menyuruhmu menemuiku karena aku ingin mengajakmu untuk bertemu ibuku." ucapnya.
Menemui ibunya? Apakah tidak terlalu cepat? Aku baru bertemu dengan nya sekali. Walau sebenarnya aku sudah cukup mengenal dirinya lewat Narend kemarin.
"Tapi hari ini aku bekerja." ucapku.
"Kau bekerja di hari Minggu?" tanyanya. Astaga! Bodoh sekali aku ini. Bagaimana bisa aku lupa kalau hari ini libur.
Aku hanya tersenyum padanya. Dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Maaf, aku lupa. Baiklah, aku akan bersiap. Tak apa kan jika kau harus menunggu?" tanyaku tak enak.
Dia hanya mengangguk pelan dan masuk ke dalam mobil sportnya. Mungkin ini yang Narend maksud. Dia tidak bisa mengatakan apa yang dia rasakan atau apa yang dia mau. Dia hanya melakukannya. Tanpa kata.
Aku bergegas mandi dan berganti baju. Aku memakai baju lengan panjang putih, rok rempel biru muda dan wedges putih. Tak lupa tas keciku.
Setelah selesai aku menghampirinya di basement. Aku melihat dia di mobilnya sedang menelpon. Aku pun langsung masuk ke dalam mobilnya. Dia hanya melirikku dan kembali berbicara di telepon.
Aku memperhatikannya. Dia memakai sweater cokelat, jeans dan sneaker putih. Dia tampak lebih fresh dengan pakaian casualnya. Tampak lebih muda dari umurnya.
Dia sudah menutup telponnya dan melihatku sejenak dengan datar. Saat matanya menangkap mataku, dia menatapku tajam. Anehnya, aku tidak takut dengan tatapan itu. Entah dorongan dari mana, aku menyentuh rahangnya. Lagi.
Dia hanya diam saat aku menyentuhnya.
Aku juga tidak tahu mengapa aku menyentuhnya. Seperti ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin menyentuhnya.Setelah cukup lama bertahan dalam posisi tadi, dia memalingkan wajahnya dariku. Wajahnya terlepas dari tanganku.
Dia melajukan mobilnya tanpa berkata apapun. Aku pun juga hanya diam. Sesekali aku meliriknya, melihat wajah seriusnya saat menyetir. Aku baru sadar bahwa sejak pertama aku bertemu dengannya, dia hanya memperlihatkan wajah seriusnya. Tak bisa berekspresi. Itu kata Narend.
Mobilnya berbelok ke rumah yang sangat besar. Mungkin bisa dibilang Mansion?
Dia berhenti tepat pada pintu masuk utama. Dia turun dan aku mengikutinya.
Kami masuk ke dalam mansion itu. Interiornya membuatku kagum. Dengan bergaya istana di italy yang mewah dan klasik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maybe Someday
RomanceMungkin aku ini gila karena mau menikah tanpa cinta. Tapi ini jalan satu-satunya untuk melupakan dia. Dia.. yang sudah milik orang lain. -Amora Permata Dia sempurna. Sempurna untuk mendampingiku, dan menjadi partner hidupku. -Reviano Derekson