Part 2

72 2 1
                                    

"Amoraaa!! Bangun...!!! Lihat sudah jam berapa sekarang!" teriak Katrina dari luar kamar ku.

Aku segera bangun dan melihat jam di nakas. Tidak! Aku masuk bekerja pukul 8 dan sekarang sudah pukul 8 lewat 15.

Aku segera berlari keluar menuju kamar mandi. Ini pasti karena tadi malam aku tidur terlalu larut. Bagaimana tidak, Katrina terus saja membicarakan Narend dan tak membiarkan aku tidur sampai dia berhenti.

Aku memakai kemeja putih berbahan halus, rok rempel hitam selutut dan heels hitam. Memang, dengan pakaian seperti ini aku lebih terlihat seperti anak sekolah. Tapi aku lebih suka memakai rempel dari pada span.
"Amora, mau bareng tidak?" tanya Katrina yang muncul dari balik pintu kamar.

"Iya. Tunggu sebentar ya." jawabku sambil membereskan barang-barang yang akan aku bawa.

"Aku tunggu bawah." perintah nya.

---
Author point of view

Jauh di lain tempat seorang lelaki berbadan tegap dengan dibalut setelan jas malah yang dirancang khusus untuknya memandang dari jendela ruangannya. Melihat kepadatan kota saat pagi hari.

"Pagi-pagi udah ngelamun aja." ucap seorang lelaki seumur dengannya yang tiba-tiba masuk ke ruangannya.

Lelaki itu hanya diam dan berbalik menghadap lelaki satunya.

"Sudah dapat?" tanyanya.

"Ya. Ada 2 wanita. Mereka seumur." jawab lelaki satunya.

"Siapa?" tanyanya lagi.

"Pertama sekertasisku dan yang kedua temannya." jawab lelaki itu.

"Kau gila Narend! Sekertaris mu itu? Bukankah kau menyukainya? Kau beri dia padaku? Kau kira aku lelaki macam apa? Mengambil wanita yang disukai temannya sendiri!" ucapnya tidak percaya.

"Ya, aku memang menyukainya tapi kau bisa melihatnya dulu. Siapa tau dia cocok denganmu. Lagi pula masih banyak wanita lain diluar sana." jawab lelaki yang bernama Narend itu.

"Tidak! Aku pilih yang satunya. Teman sekertarismu itu."

"Kau yakin?" tanya Narend

"Ya." jawabnya mantap.

Mendengar jawaban itu, Narend langsung bergegas menuju kantor nya menggunakan Audi hitam miliknya. Selama perjalanan di memikirkan bagaimana ia menyampaikan apa yang tadi ia bicarakan pada Katrina dan juga Amora pastinya.

Tidak mungkin dia bilang bahwa teman nya itu menginginkan Amora menjadi istrinya. Bisa-bisa mereka mengganggap Narend gila karena itu.

Sesampainya di kantor, ia langsung menuju ruangannya. Semua mata memandang padanya saat ia berjalan di lobi kantor menuju lift yang memang khusus untuk pimpinan sepertinya.

Bagaimana tidak semua mata memandang nya, Narend adalah seorang CEO yang jauh dari kata galak. Dia sangat ramah pada semua bawahannya. Dengan rahang yang tegas dilapisi oleh rambut halus disekitarnya, rambut hitam legam, mata coklat tua dan bibir penuh yang selalu menyinggung senyum serta badan tegap yang berisi otot tanpa lemak membuat wanita manapun melihat dua kali padanya.

Narend melihat Katrina sedang duduk di meja kerjanya. Sepertinya sekertarisnya itu sedang sangat serius bekerja karena raut mukanya yang serius menatap berkas-berkas di hadapannya.

Narend menghampirinya dan tersenyum padannya. Katrina langsung mendongak menatap wajah Narend dan ikut tersenyum melihat senyuman Narend.

"Ada yang bisa saya bantu Pak?" tanya Katrina.

"Saya lihat kamu sedang serius bekerja." ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Katrina.

"Tidak juga. Saya hanya melihat ulang jadwal Bapak agar tidak ada yang terlewat." ucap Katrina

"Baiklah, ke ruangan saya sekarang." ucap Narend dan langsung menuju ruangannya yang berada tidak jauh dari meja Katrina.

Katrina pun langsung bangun dari duduknya dan masuk keruangan Narend. Dia duduk berhadapan dengan Narend di meja kerjanya.

Katrina hanya diam sambil terus menatap Narend. Dia tidak tahu kenapa Narend menyuruh dia ke ruangannya.

"Reviano Derekson. Kau kenal dengannya?" tanya Narend.

"Pak Revi? Bukankah dia teman Bapak? Dia sering kesini untuk menemui Bapak bukan?" tanyanya balik.

"Ya. Dia teman saya dan juga sering menemui saya di sini. Dia teman yang sangat dekat dengan saya sejak kami kuliah. Sekarang ini dia sedang berada di bawah tekanan ibunya yang menginginkan dia untuk menikah." ucap Narend langsung pada inti pembicaraan.

"Lalu hubungannya dengan saya?" tanya Katrina. Dia sangat bingung mengapa Narend malah bercerita tentang temannya itu padanya.

"Revi memiliki kepribadian yang sangat bertolak belakang dengan saya. Dia tidak suka berkomunikasi dengan orang asing jika tidak berkepentingan. Dia bisa mengintimidasi seseorang hanya dengan menatap orang itu. Karena itu sampai saat ini dia tidak mengenal wanita. Bahkan dia tidak pernah mempunyai hubungan dengan wanita manapun kecuali soal pekerjaan." lanjut Narend.

"Sebenarnya apa maksud Bapak menceritakan ini pada saya?" tanya Katrina penasaran.

"Saya mau Amora untuk menikah dengan Revi." ucapnya langsung.

Katrina membeku di tempatnya. Pikirannya bekerja dengan keras mencerna apa yang baru Narend katakan.

"Apa? Menikah? Amora bahkan tidak tahu siapa itu Revi!" ucap Katrina kesal dan langsung beranjak dari duduknya menuju pintu.

Saat Katrina meraih handle pintu, Narend pun menarik tangan satunya dan membuat Katrina berbalik dan menabrak dirinya. Narend langsung memeluknya. Katrina mendongak menatap wajah Narend.

"Kau mungkin menganggap saya gila. Tapi ini cara terbaik untuk Amora melupakan lelaki itu. Bukankah kau adalah sahabatnya? Kau pasti tahu bagaimana sakitnya Amora saat lelaki itu menikah. Tidak inginkan kau dia bangkit dari kesedihan itu?" ucap Narend tanpa melepas Katrina yang masih berada di pelukan nya.

"Mungkin yang kau maksud adalah bangkit dari kesedihan dan terjebak di kesedihan lainnya. Aku tahu bagaimana Revi memandang wanita. Dia bahkan tidak segan menghina wanita itu jika berbuat salah. Sekarang kau mau Amora bangkit dari kesedihan nya dengan menikah dengan orang seperti itu?" tanya Katrina sambil menatap wajah Narend. Dia pun tidak berusaha untuk melepaskan dirinya pada Narend.

"Katrina, bisakah kau bicara ini terlebih dahulu dengan Amora. Mungkin saja ia mau. Aku tau Revi mungkin bisa menjadi kesedihan kedua bagi Amora. Tapi mungkin juga, Amora akan menjadi sumber dari kebahagian Revi." ucap Narend.

"Darimana kau tau kalau itu mungkin bisa terjadi?" tanya Katrina.

"Karena aku pernah mengalaminya Katrina." jawab Narend.

"Apa maksudmu? Kau pernah menikah?" tanya Katrina.

"Tidak. Aku hanya pernah mengalami hal seperti itu. Ketika aku menyangka bahwa aku akan menjadi kesedihan bagi seseorang, tapi malah seseorang itu menjadi sumber kebahagiaan ku."
Jawab Narend

Katrina hanya diam menatap Narend. Dia melihat mata Narend yang juga sedang menatap nya. Ada sesuatu di mata itu. Sebuah kesedihan mungkin? Tapi bagaimana bisa seorang yang dia anggap sangat ramah dan tanpa masalah itu menyimpan kesedihan.

---

Hope you like it guys!!

Maybe Someday Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang