Aku memberanikan diri melangkah masuk bangunan itu. Tempat yang selalu kuhindari selama lebih dari lima tahun ini. Warna bangunan tidak lagi sama, dulu orange, sekarang biru, persis seperti bangunan sekolah untuk anak berseragam putih biru.
Masa di mana hal abstrak yang diidamkan banyak orang hadir. Masa di mana hanya memikirkan diri sendiri adalah hal terpenting. Jika beruntung, kamu bisa mendapat kenangan sangat manis. Namun, jika lebih beruntung, kamu akan mendapat luka terpahitmu disini. Itu akan menjadi luka pertamamu dalam perjalanan kisah cintamu. Sesuatu yang dapat kamu jadikan pelajaran. Sudut pandangmu tentangnya akan tersketsa dari sana.
Kuberanikan diri melangkah lebih dalam lagi, menyusuri lorong demi lorong. Sudah banyak yang berubah, tetapi aku masih bisa melihatmu berlatih paskibra di lapangan basket sekolah. Bayanganmu masih sangat sempurna untuk tidak menjadi nyata. Hentakan kakimu, suara lantangmu, masih sangat kurasa getarannya. Tanpa sadar aku tersenyum.
Lalu aku melihat sebuah bangunan yang kini sangat berubah. Bangunan yang berada paling belakang ini, sudah tidak ada lagi jendela besarnya. Sudah digantikan dengan tembok yang sangat tinggi.
"Pak, ini sekarang ruangan apa?" Tanyaku pada seseorang yang sedang sibuk mengecat bangunan itu."Jadi lapangan bulu tangkis, neng. Kelasnya sudah di pindah ke lantai dua." Kata si Bapak dengan menunjuk salah satu bangunan lain.
"Ohh, begitu." Kataku mengangguk. "Saya boleh masuk ke dalam?" Izinku padanya.
"Boleh, manga." Si Bapak mempersilakan.
Sudah tidak ada lagi kursi dan meja kayu seperti dulu. Lantainya pun diganti. Terdapat garis putih yang mengisi setiap sudut lantai ruangan. Aku berjalan menuju bagian tempat dudukku dulu. Meja terdepan. Aku berdiri sembari menghadap ke kiri, melihat bayanganmu sedang makan dan duduk di bangkumu. Begitu dekat. Setiap mataku memandang, tempat ini tidak ada yang berubah. Bayanganmu masih ada, tawamu, senyummu, caramu berjalan, dan sebagainya.
Di ruangan inilah semuanya dimulai. Ingatkah saat kita pertama bertemu? Kita bahkan tak saling mengenal, juga tak saling memiliki firasat bersatu. Saling menatap pun kita enggan. Diruangan baru dengan suasana serba baru. Aku tak mengenal satu manusia pun disini. Sementara kamu, mengenal siapapun yang hadir.
Sehari-dua hari, tak ada yang berganti. Kami masih menjadi dua orang misteri, masih saling menjauhi. Minggu berganti, bulan juga tak kalah dilewati. Percakapan pertama kita setelah lamanya. Mungkin hanya sebatas berbalas kata, tapi itu sangat berharga. Entah apa sebabnya.
"Udah join grup kelas?" Tanyamu sembari melihat kearah ponsel dengan daftar nama yang terus kau baca berkali-kali.
"Udah," Kataku singkat sembari mengangguk, tanpa tersenyum.
"Hah, iya? Nama lu siapa?" Kamu lalu mengalihkan pandangan padaku, dengan raut wajah heran kau kembali meneruskan. "Oh, Sorry, gua belum hafal nama-nama temen kelas." Katamu sembari menyeringai dan telapak tangan kau arahkan padaku pertanda maaf.
Bohong.
"Lista, Lisqhita." Aku mengeluarkan earphone dan memasangnya pada kedua telingaku, pertanda tidak ingin melanjutkan kembali percakapan ini. Sudah kuduga, dia tidak pernah ingat namaku.
Kamu menjadi canggung dan mejauh pergi dariku sembari menggaruk tengkukmu yang tidak gatal. Ada perasaan tidak mengenakan dari auramu, tetapi aku tidak peduli. Percakapan ini memang singkat, bahkan terkesan menjadikan suasana di antara kita semakin buruk. Kau yang tak suka dengan kelakukanku, memilih menghindari urusan denganku. Dan aku tidak pernah benar-benar membencimu. Hingga tibalah suatu ketika, kau kembali membuka percakapan denganku. Entah apa maumu.
"Ta, pinjem pensil dong." Kamu mencondongkan badan sedikit kekanan untuk lebih dekat dengan mejaku.
Ya, kami memang biasa duduk dibaris tengah terdepan. Dua meja yang selalu dihindari mayoritas orang, justru menjadi tempat nyaman untukku. Karena dengan begitu, aku bisa lebih terhindar dari kerumunan. Kamu duduk di bangku nomor empat dari pojok kiri, sedang aku nomor lima. Meski begitu, hal ini tak mengubah fakta bahwa kamu baru tau namaku, hari ini.
"Nih," Aku menyerahkan tanpa menoleh dengan tangan kiri karena itu memang lebih mudah.
"Ih, anak manis sopan banget tangannya." Katamu sambil melihat kearah tanganku alih-alih mengambil pensil.
"Yaudah, gausah." Aku menarik tanganku kembali keatas meja dan meletakan pensil itu.
"Gitu aja ngambek! Nanti cepet peyot, lho." Katamu sembari bangun merebut kembali pensil tadi.
Aku tidak menjawab, hanya mataku yang berbicara. Gua tabok lu kalo ngomong sekali lagi!. itulah yang tersirat dari tatapan sinisku.
Tuk!
Kamu menutuk kepalaku dengan pensil yang kupinjamkan padamu. Oh, bukan, tepatnya kau rebut dariku.
"Ish, Arik!" Akhirnya setan tersenyum karena kupukul juga lenganmu.
Namun, kau hanya tertawa. Hatiku berdebar.
Katanya, kalau mau buat orang jatuh cinta, kita harus membuatnya tertawa. Namun, kenapa semakin kamu tertawa semakin aku yang jatuh cinta?
============================ Bersambung ============================

KAMU SEDANG MEMBACA
Still Remember
Novela Juvenil"Mantan. Bukan untuk dibanggakan, Juga bukan untuk dijatuhkan. Tapi mantan, hanya untuk dikenang kan?" Ucap perempuan yang sedang duduk dipinggir lapangan, Lista. "Mantan ga harus jadi musuh 'kan?" Laki-laki disamping Lista bertanya tanpa mengalih...