"Git, Kak Bagus sukanya apaan?" tanya Adi tiba-tiba saat mereka berdua tengah berjalan menuju tempat parkir. Ia mengingat-ingat jumlah uang di dompetnya sambil berharap kalau uangnya dapat bertambah tiba-tiba. Minggu depan adalah hari ulang tahun Bagus dan Adi ingin memberikan sebuah hadiah yang spesial untuknya.
"Ngapain nanya-nanya?" Gita malah balik bertanya dengan nada jengkel. Lama-lama ia jadi gerah sendiri mendengar Adi yang selalu membicarakan soal kakaknya. Ia merindukan sosok Adi yang sering membuat lelucon yang meski terkadang garing namun selalu membuat harinya lebih ceria.
"Gua pengen beliin kado buat ultahnya."
Mendengar jawaban Adi, langkah Gita sontak terhenti. "Sekarang tanggal berapa?"
"Dua sembilan," jawab Adi singkat. Langkahnya juga ikut terhenti karena ia tak mungkin berjalan sendirian tanpa Gita.
Gita menepuk dahinya. "Kok gue bisa lupa, sih?"
Lengan Adi tiba-tiba ditarik oleh Gita dan mau tak mau Adi terpaksa melangkahkan kakinya mengikuti ke mana Gita pergi, daripada ia harus jatuh karena tubuh bagian atasnya tertarik sedangkan kakinya enggan beranjak dari tanah. Gita menggiring Adi menuju mobil dan menyuruhnya duduk di kursi penumpang seperti biasanya. Lalu ia sendiri berputar dan duduk di kursi pengemudi.
"Sekarang lo ikut gue cari kado," ucap Gita sebelum melajukan mobilnya keluar dari tempat parkir kampus.
"Duit gua belum cair dan lu ngajak gua shopping?" Adi mengeluarkan dompetnya dan melihat-lihat isinya, berharap uangnya dapat melakukan reproduksi vegetatif dengan cara pembelahan biner. Namun yang memenuhi dompetnya hanya lembaran-lembaran kertas bon hutang dan kartu Timezone. Bahkan lembaran uangnya yang terdiri atas beberapa pecahan seribu hingga sepuluh ribu rupiah tak akan berarti banyak meski mereka melakukan pembelahan sekalipun. "Tega lu."
"Perasaan lo yang tadi secara gak langsung ngajak gue belanja, deh," ucap Gita santai sambil terus mengemudikan mobilnya. "Lagian Kak Bagus pasti nerima kado apapun, kok. Lo tenang aja."
"Gua kan rencananya beli awal bulan. Bukan sekarang." Adi menghela napas, masih bersedih meratapi nasib dompetnya. "Apaan aja juga belinya tetep pake duit. Makan apa gua besok?"
"Obat maag sisa bulan lalu masih ada, 'kan?" tanya Gita dengan tawa. Adi benar-benar contoh hidup dari anak kost ngenes yang sering dibicarakan orang-orang. "Udah, tenang aja. Rumah gue selalu terbuka, kok."
"Beneran?" Adi menatap Gita tak percaya. Gita itu pelit. Kikir obligat. Sekarang ia malah menawarkan makanan. Mungkin kiamat sudah ada di depan mata.
Gita mengangguk mantap. Namun sejurus kemudian wajahnya menunjukkan keraguan. "Eh, ntar dulu. Gue mau ngasih satu syarat."
Adi yang baru saja selesai memasukkan dompetnya kembali ke saku celananya menatap Gita bingung. "Syarat apaan? Lu mah kalo ngasih suka gak ikhlas."
"Bukannya gue gak ikhlas. Tapi ini menyangkut kelangsungan hidup manusia."
Adi mengernyitkan dahinya. Seserius itu kah masalah ini? Padahal ia cuma menumpang makan di rumah. Tidak lebih. Itu pun Gita yang mengundangnya. Ah, seharusnya ia sudah tahu sejak awal kalau Gita itu tidak mungkin memberikan sesuatu secara cuma-cuma.
"Syaratnya lo gak boleh pedekate ke Kak Bagus."
Adi dibuat makin bingung dengan syarat yang diajukan Gita. Ia merasa tak pernah melakukan pendekatan dengan maksud untuk menjadikan kakak sahabatnya itu menjadi pacarnya. Terakhir ia mengecek keadaan dirinya, ia masih suka pada wanita, kok. "Bercanda aja lu. Gua kan cuma pengen temenan aja."
Mereka telah sampai di pusat perbelanjaan dekat kampus mereka. Gita memarkirkan mobilnya dan mematikan mesinnya. "Di, lo tau, kan, kalo cewek feeling-nya kuat?"
Adi mengangguk menjawab pertanyaan retoris yang dilontarkan Gita.
"Gue punya feeling kalo lo sama Kak Bagus bakal ada apa-apa. Gue takut itu beneran kejadian. Bukannya gue menentang atau apa, sih. Gue cuma gak mau kalian berdua nanti ngambil jalan yang salah."
"Git, lu tenang aja, deh. Gua masih suka cewek, kok. Gua gak se-desperate itu juga kali," ucap Adi sambil membuka sabuk pengamannya. Ia lalu memutar tubuhnya menghadap Gita dan menatapnya untuk meyakinkan sahabatnya itu. "Kalaupun gua suka sama kakak lu, gua bakal jagain dia sebaik-baiknya. Gua bakal berusaha keras buat bahagiain dia. Lu bisa pegang kata-kata gua."
Gita menghela napas. "Oke, gue pegang kata-kata lo."
"Tapi kalo gua boleh milih, gua lebih milih sama lu daripada Kak Bagus," ucap Adi sambil tertawa.
Gita menyikut lengan Adi cukup keras, "Sialan, lo."
Mereka pun turun dari mobil dan berjalan beriringan menuju pintu masuk. Gita mencoba mengingat-ingat benda apa yang diinginkan kakaknya akhir-akhir ini. "Di, menurut lo bagusnya Kak Bagus dikasih apa, ya?"
"Kok lu malah tanya gua, sih? Kan tadi gua nanya duluan."
"Kan lo cowok. Harusnya lebih ngerti keinginan cowok, dong."
"Lu kan adeknya. Gimana, sih?" Adi melihat-lihat sekelilingnya. Mencari toko yang sekiranya menyediakan barang yang cocok untuk diberikan pada Bagus. "Baju, sepatu, jaket, elektronik, parfum--"
"Stop." Gita menarik tangan Adi, mengisyaratkan untuk berhenti. "Gue gak pernah liat Kak Bagus pake parfum."
Gita menggiring Adi memasuki sebuah toko parfum yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Hidung Adi mengernyit saat berbagai macam bau yang menyengat membuat saraf olfaktorinya bereaksi. Ia suka memakai parfum, namun bau parfum yang bercampur aduk membuatnya sedikit pusing.
"Menurut lo, parfum yang cocok buat Kak Bagus yang mana?" ucap Gita sambil menyodorkan beberapa sample parfum.
Adi mengambil semua yang disodorkan Gita dan menciumnya satu per satu. Ia terlihat berpikir keras dalam menentukan wangi yang mana yang paling cocok untuk Bagus. Setelah agak lama menimang-nimang pilihan, Adi menyodorkan satu botol parfum pada Gita. "Yang ini. Baunya paling cocok sama bau badannya Kak Bagus. Gak terlalu nyengat juga baunya."
Gita mengangguk lalu meminta petugas toko untuk mengambilkan parfum yang sama dengan yang dipegangnya. Setelah selesai membayar, mereka pun keluar dari toko tersebut.
"Jadi lo mau beli apa buat Kak Bagus?" tanya Gita pada Adi yang sama sekali belum memutuskan apa yang akan dibelinya. Hari sudah berubah gelap dan mereka berdua masih terjebak di sini. Gita ingin cepat pulang dan makan di rumah.
"Lu tau ukuran Kak Bagus?" tanya Adi saat ia melewati sebuah toko yang menarik perhatiannya. Ia sejujurnya agak ragu, namun sepertinya pilihannya tidak terlalu buruk.
"Lo seriusan mau beli ini?" tanya Gita tak yakin. "Gue tau, sih. Tapi gue gak yakin ini pilihan yang tepat."
"Kak Bagus bakal suka apapun yang kita kasih, kan? Gua yakin seyakin-yakinnya mau beliin ini buat dia. Abisnya gua gak ada pilihan lain."
"Terserah lo, deh. Gue gak tanggung jawab."
♥
Bersambung
♥
Besok puasa, sodara-sodara, dan saya malah update cerita ini. Yang bisa nebak kado apa yang bakal dikasih Adi ke Bagus, bakal saya dedikasiin chapter depan buat dia. Semoga beruntung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unexpected [BoyxBoy]
RandomAdi yakin 100% kalau ia suka perempuan dan sosok Bagus tak lebih dari seorang kakak baginya. Namun semakin banyak menghabiskan waktu dengannya, sesuatu mulai berubah. Ada suatu rasa asing yang mulai merasuki hatinya. Bagus selalu ingin punya adik la...