Bagus memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya. Hari sudah sangat larut, padahal hari ini adalah hari spesialnya dan ia telah berjanji pada Gita untuk pulang lebih awal. Seharian ini banyak sekali pekerjaan yang menahannya di kantor hingga ia terpaksa lembur. Ia yakin adiknya akan memarahinya begitu ia menginjakkan kaki di dalam rumah.
Sebenarnya malam belum terlalu larut. Jarum pendek jam baru saja menyentuh angka delapan malam. Namun Bagus yakin adiknya itu akan tetap marah meski belum dilanda kantuk. Kalau Gita mengantuk, amarahnya akan semakin parah. Ia hanya bisa berdoa dalam hati sepanjang jalan dari mobil menuju pintu rumah agar ia tak dimarahi adik kesayangannya itu.
Dahi Bagus mengernyit saat mendapati pintu rumahnya terkunci. Gita tak pernah mengunci pintu rumah jika ia berada di dalam dan masih terjaga. Saat ia mengintip lewat jendela, ia mendapati rumahnya dalam keadaan gelap, bagai tak ada orang di dalamnya. Masa Gita belum pulang?
Tangan Bagus mulai merogoh tasnya untuk mencari kunci cadangan. Ia jarang menggunakan kunci tersebut karena biasanya Gita sudah membuka pintu terlebih dahulu sehingga kuncinya berada di bawah dan sulit diraih. Saat ia berhasil memegang kuncinya, seseorang menutup matanya dan menangkapnya dari belakang. Bagus mencoba untuk melepaskan diri namun tenaganya kalah kuat dengan orang yang memerangkap tubuhnya.
Bagus tak memiliki pilihan lain selain berteriak. Siapa tahu orang yang kini berada di belakangnya dan menahan tubuhnya adalah maling. "TOLONG! TOLONG! TO-"
"Sst..., jangan teriak. Nanti ada yang dateng." Orang yang terlihat seperti sedang memeluk Bagus dari belakang itu berbisik tepat di telinganya. Deru napasnya yang hangat menggelitik lubang telinga Bagus.
"Bentar, kayaknya kenal suaranya," ucap Bagus sambil berpikir. Ia berhenti memberontak dan menurunkan kewaspadaannya. "Adi, ya?"
Adi melepaskan tangannya yang menutupi mata Bagus. Ia tertawa seakan-akan dirinya sama sekali tak bersalah.
Tak lama kemudian, pintu rumah dibuka dari dalam dan seberkas cahaya redup mengintip dari kegelapan di dalam rumah. Adi berhenti tertawa dan melangkah masuk ke dalam, meninggalkan Bagus yang masih terpaku di tempatnya berdiri karena masih tak mengerti apa yang terjadi.
"Selamat ulang tahun, Kak Bagus!" ucap Adi dan Gita dengan semangat. Sebuah kue cokelat berdiameter sekitar 16 cm dengan dua lilin angka 2 dan 5 berada di tangan Gita. Mereka berdua menyuruh Bagus untuk cepat-cepat meniup lilinnya agar lelehannya tidak mengotori kue.
Setelah Bagus meniup lilinnya, mereka bertiga pun masuk ke dalam ruang tamu. Gita telah menyiapkan piring kecil dan garpu di meja tamu untuk memakan kue cokelat tersebut. Gita lalu meletakkan kuenya di meja untuk dipotong menjadi beberapa potongan yang agak tipis dan membagikan tiga potong di antaranya ke piring yang telah disediakan. Meski Bagus yang berulang tahun, Gita tidak akan membiarkan kakaknya itu memotong kuenya sendiri. Bisa-bisa kue itu akan hancur dan tak berbentuk lagi.
"Makasih ya kalian udah repot-repot nyiapin ini. Maaf tadi pulangnya agak telat," ucap Bagus saat menerima piringnya dari Gita.
Gita tersenyum menanggapi ucapan Bagus. "Santai aja kali, Kak. Kita kan sodara."
"Gua merasa nyasar di sini." Adi menatap kedua kakak-adik itu.
Gita melambai-lambaikan tangannya sebagai isyarat mengusir. "Sana pergi, lo!"
"Jahat banget sih, lu. Padahal lu yang ngajak gua tadi." Adi pura-pura menangis sakit hati karena diusir oleh Gita.
Gita membalasnya dengan tawa kecil. Ia lalu menyodorkan piring lainnya pada Adi. "Lo udah gue anggap sodara gue sendiri, kok. Gue curiga sebenernya dulu kita kembar tapi lo kebuang di rumah sakit. Kayak putra yang tertukar gitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unexpected [BoyxBoy]
РазноеAdi yakin 100% kalau ia suka perempuan dan sosok Bagus tak lebih dari seorang kakak baginya. Namun semakin banyak menghabiskan waktu dengannya, sesuatu mulai berubah. Ada suatu rasa asing yang mulai merasuki hatinya. Bagus selalu ingin punya adik la...