"Kakak ... gay?" tanya Adi dengan raut wajah terkejut. Ia sedikit hati-hati dan memelankan suaranya saat mengucap kata terakhir yang dilontarkannya. Takut menyinggung atau terdengar oleh orang lain.
Bagus menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu. Cuma kebetulan aja banyak gay yang suka."
"Oh, gitu," Adi menganggukkan kepalanya tanda mengerti. "Gak heran, sih. Abisnya Kak Bagus manis."
"Hah?"
Adi langsung menutup mulutnya yang tak sengaja melontarkan kalimat yang seharusnya ia simpan dalam hati. Wajahnya memerah karena tertangkap basah memuji wajah Bagus yang memang terlihat manis untuk ukuran laki-laki. "Maaf, Kak. Gua gak bermaksud."
Bagus tertawa kecil melihat wajah Adi yang memerah. Adi terlihat lucu saat salah tingkah seperti itu. "Gapapa, kok. Banyak cowok yang bilang gitu."
Adi tidak lagi membalas pernyataan Bagus. Ia mencoba mengalihkan perhatiannya pada parfait yang sempat ia abaikan. Ia menyendok perlahan es krim yang sudah sedikit mencair dan memasukkannya ke mulut. Sudah lebih dari sepuluh suapan dan matanya masih tetap saja nakal melirik ke arah Bagus. Entah mengapa ia ingin terus menerus menatap wajah Bagus dan memujinya manis. Meski sudah berusaha keras memikirkan hal lain, namun tetap saja pikirannya tak pernah lepas dari Bagus yang diam dan memperhatikannya makan.
Tanpa sadar ia terus menerus menyendokkan es krim ke mulutnya hingga ujung sendoknya menyentuh dasar gelas. Ia sama sekali tak menyangka dapat menghabiskan satu gelas besar parfait seenak apapun rasanya. Ia merasa tak enak karena sama sekali tak membaginya dengan Bagus.
"Maaf, Kak. Es krimnya malah gua abisin."
Bagus terkekeh, "Kan aku emang beliin buat kamu." Ia lalu menunjuk mulutnya sendiri. "Belepotan, tuh."
Adi langsung mengusap mulutnya dengan punggung tangan kanannya. Rasanya memang lengket. Ia butuh air. Maka kakinya pun secara otomatis membawanya ke arah wastafel terdekat. Namun sebelum sampai di tempat yang ditujunya, seseorang menghadang jalannya. Pelayan yang tadi melayaninya itu menatapnya sinis lalu melenggang pergi. Adi yang tak mengerti pun hanya dapat mengangkat kedua bahunya dan melanjutkan perjalanannya ke arah wastafel.
"Pulang?" tanya Adi saat kembali ke meja tempat Bagus menunggunya.
Bukannya menjawab, Bagus malah berbalik tanya, "Emang kamu mau ke mana?"
"Gak ada, sih," jawab Adi, masih sambil berpikir. Rasanya ia masih ingin bersama Bagus untuk waktu yang lebih lama. Ada suatu rasa nyaman yang ia rasakan saat bersama Bagus dan rasa itu tak pernah ia temukan sebelumnya.
"Oke, kita pulang," ucap Bagus sambil berdiri dari kursinya. Ia menggandeng tangan Adi tanpa ia sadari. Beberapa pasang mata yang tak sengaja melihat mereka berdua banyak yang mulai bergosip ria.
Mungkin ini rasanya punya adik laki-laki.
♥
"Yakin di sini aja?" tanya Bagus ketika Adi memintanya untuk berhenti di persimpangan. Arah rumah Bagus dan kosan Adi memang berlawanan dan cukup jauh apabila harus memutar. Adi tak mungkin menyuruh Bagus untuk mengantarkannya meski Bagus sendiri sama sekali tak keberatan. Malah dengan senang hati ia menawarkan diri untuk mengantar Adi hingga depan pintu kamarnya.
"Iya. Kosan gua deket, kok." Adi membuka pintu mobil dan bersiap turun. Sebelum menutup kembali pintu mobil Bagus, ia mengucapkan salam perpisahan singkat. Kedua belah bibirnya membentuk sebuah senyuman, tanda bahwa ia menyukai perjalanan hari ini. "Makasih, Kak. Kapan-kapan jalan lagi, ya?"
Bagus membalas senyuman Adi dengan senyum yang tak kalah manis. Ia mengangguk menyetujui ajakan jalan-jalan yang diberikan Adi. Sama seperti Adi, ia pun ingin kembali menghabiskan waktu berdua. Bahkan rasanya ia tak rela melepas kepergian Adi sekarang. Ia masih ingin bicara banyak hal dan mengenal sosok Adi lebih jauh. Rasanya ia seperti menemukan sesuatu yang hilang dalam dirinya. Sosok yang selalu ia impikan untuk menemani hari-harinya. Sosok seorang adik laki-laki.
Setelah Adi menutup pintu mobilnya, Bagus melambaikan tangan sejenak dan dibalas dengan gestur yang sama oleh Adi. Ia lalu kembali menjalankan mobilnya untuk pulang ke rumah.
Saat Bagus membuka pintu, Gita yang sedang membaca majalah di sofa pun lantas mengalihkan pandangannya ke pintu sosok kakaknya yang baru saja sampai. Dahinya mengernyit heran melihat wajah kakaknya yang terlihat begitu ceria. "Gitu, ya. Adek sendiri gak diajak makan, malah traktir anak orang."
Bagus terkekeh pelan. Ia melangkahkan kakinya ke arah sofa dan mendudukkan dirinya di samping Gita. "Kamu mau ikut?"
Gita lantas menutup majalah yang sedari tadi dibacanya dan menaruhnya di pangkuannya. Ia menatap Bagus dengan tatapan tak percaya. Bisa-bisanya kakaknya masih bertanya seperti itu. "Yaiyalah!"
Bagus mengusap kepala Gita lembut. "Yaudah, kapan-kapan kita bisa makan bertiga."
Bertiga?
Dahi Gita mengernyit tak suka. Sejak kapan Adi masuk ke dalam hitungan kakaknya? Aneh. Kakaknya mulai aneh. "Gita kan maunya berdua aja."
Bagus mengangguk-anggukkan kepalanya. Lantas ia bangkit dan beranjak menuju kamarnya. "Yaudah nanti malem kita makan di luar."
Gita bersorak dalam hati. Akhirnya setelah hampir sebulan ia tak pernah makan bersama dengan Bagus, kakaknya itu mengajaknya makan di luar. Ia harus meminta sesuatu yang spesial untuk dimakan nanti. Mungkin buffet di hotel bintang lima bisa dipertimbangkan. Bercanda. Gita tak mungkin tega menghabiskan uang yang diusahakan oleh kakaknya dalam semalam.
Dengan ceria dan sedikit berputar-putar girang, Gita masuk ke dalam kamarnya. Ia harus berdandan dengan baik malam ini. Jalan-jalan dengan kakaknya merupakan hal paling spesial baginya. Jauh lebih spesial daripada makan malam berdua dengan kekasihnya. Kak Bagus merupakan orang yang paling ia sayangi.
Selepas maghrib, Gita yang telah memastikan dirinya terlihat cantik melangkahkan kakinya ke mobil yang telah menunggunya di garasi. Kakaknya telah duduk di kursi kemudi dengan balutan kemeja kasual dan celana jeans. Gita sendiri memakai kaus lengan panjang dan rok selutut. Tak lupa ia membawa tas kecil kesayangannya untuk menyimpan ponsel dan dompet.
"Mau ke mana?" tanya Bagus saat mobil mereka mulai meninggalkan rumah.
Gita tampak berpikir sebentar namun bukannya memberi jawaban, ia malah mengangkat kedua bahunya. "Terserah."
"Yaudah kita makan di rumah aja," ucap Bagus sambil tertawa kecil menggoda adiknya.
Gita cemberut. Meski ia tak dapat membantu kakaknya memilih tempat makan, setidaknya kakaknya tidak perlu langsung menyimpulkan seperti itu. Padahal kalau kakaknya memberi beberapa pilihan ia mungkin bisa memilihnya dengan mudah.
Tangan kiri Bagus terulur untuk mengusap kepala adiknya. "Jangan ngambek, dong. Kita makan pizza aja, ya?"
Gita mengangguk semangat. Sudah cukup lama ia tak makan pizza. Ia mulai merindukan keju-keju yang meleleh dan memanjang saat ditarik. Mengingatnya saja sudah membuat perutnya lapar dan kelenjar air ludahnya mulai lebih keras bekerja. Ia sudah tak sabar lagi untuk segera sampai di sana.
♥
Bersambung
♥
Jadi adakah yang merindukan cerita ini? Maaf lama ya. Mumpung sekarang libur jadi sempet-sempetin nulis. Jangan lupa vote dan komen, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unexpected [BoyxBoy]
DiversosAdi yakin 100% kalau ia suka perempuan dan sosok Bagus tak lebih dari seorang kakak baginya. Namun semakin banyak menghabiskan waktu dengannya, sesuatu mulai berubah. Ada suatu rasa asing yang mulai merasuki hatinya. Bagus selalu ingin punya adik la...