I. We Don't Know Each Other

7.2K 191 4
                                    

Pesta besar yang dihadiri oleh pengusaha-pengusaha kaya dan terkemuka itu memang belum dimulai, namun kemeriahan dan kemewahannya sudah terasa sejak awal mereka menginjakkan kakinya di ballroom terbesar dan terluas yang ada di hotel tersebut. Adrian tersenyum puas, proyek barunya lagi-lagi berhasil dan akan diresmikan hari ini juga. Mulai besok, The Major Luxe Hotel dibuka untuk umum. Ah, tapi hanya tamu-tamu penting yang bisa menyewa kamar di hotel tersebut dikarenakan harga per malamnya yang fantastis, diimbangi dengan pelayanan yang juga super-fantastis.

Di sebelahnya, seorang pria paruh baya berdiri tegap, ekspresi ramah yang ditunjukkan sangat jauh berbeda dengan ekspresi putra sulungnya yang justru datar dan cuek. "Hei, son, tersenyumlah sedikit. Kau tidak berniat membuat tamu-tamu pentingmu lari, kan?" Candanya.

Adrian tidak tertawa, menurutnya candaan Andrew adalah yang paling garing. "Tentu tidak, Dad. Aku hanya bersikap seperti sewajarnya."

"Oh, baiklah. Lihat nanti di acara puncaknya, kau tidak bisa lagi memasang ekspresi datarmu itu." Adrian mengernyit sedikit mendengar ucapan ayahnya itu, apa maksudnya? Apa ada suatu rencana yang Adrian tidak ketahui? Atau maksud ayahnya, Adrian tidak akan bisa menahan senyum melihat betapa meriahnya pesta peresmian dan pembukaan hotel secara resmi itu?

Belum sempat Adrian bertanya-lebih tepatnya ia memang mengurungkan niatnya untuk bertanya-tiba-tiba saja ada seorang pria yang kira-kira seumuran dengan Andrew menyapa keduanya. "Sukses besar rupanya?" Tanya pria itu. Wajahnya tegas, suaranya pun sama tegasnya, namun raut jenaka seperti terlihat jelas dari auranya ketika berbicara.

Adrian memandang lurus ke depan, memberi senyuman singkat pada tamu-tamu pentingnya setelah melakukan hal yang sama pada Mr. dan Mrs. Lachlan. Sementara Andrew masih berbincang dengan temannya dan istri temannya itu.

"Di mana putri bungsu Anda?"

"Oh, sepertinya ia tadi bertemu dengan sahabatnya dan lebih memilih untuk bergabung dengan sahabat-sahabatnya itu. Maklum, dia baru pulang dari Amerika," jawab Mrs. Lachlan dengan gayanya yang anggun. Andrew dan Mr. Lachlan tertawa.

"Aku sudah tidak sabar untuk acara puncak nanti, Ashford." Mr. Lachlan kembali tertawa, disusul oleh suara tawa ayah Adrian yang membuat Adrian semakin mencium sesuatu yang tidak beres di acara puncak nanti.

***

"STEFANIE!" Suara melengking itu membuat si pemilik nama yang dipanggil langsung berbalik badan. Kemudian keduanya langsung memeluk satu sama lain erat-erat.

"Kangen! Lama banget gue nggak ketemu lo, astaga!" Balas Stefanie dengan senyum merekah-rekah.

"Olive, yang dipeluk cuma Stefanie aja? Kita-kita enggak?" Salah satu dari mereka dengan warna rambut platinum blond. Warna rambut khasnya itu membuat Olivia lebih mudah mengenalinya, Jordan McKenzie. Sahabat semasa SMA.

"JORDAN!!!" Histerisnya lagi.

"Emang nggak pernah berubah ya, dari dulu histerisan orangnya." Jordan langsung membalas pelukan Olivia. Di sebelah Jordan berdiri seseorang dengan gaya bad boynya dengan tindikkan di hidung dan telinganya. Yang satu ini, Olivia juga tidak pernah melupakannya.

"Serge?!"

"Hi, baby girl, how are you?" Ia memeluk Olivia.

"I'm good, really good! Lo nggak berubah juga! Umur berapa, sih? Tampang masih kayak bad boy jaman-jaman SMA gitu!" Ujar Olivia sambil terbahak.

TBS #1: Mr. PerfectionistTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang