camden market II

30 4 0
                                    

"Ini sulit diprediksi. Sebaiknya mulai sekarang kau belajar memanjat, Julia." Robin mulai melilitkan celana panjangnya sampai selutut lalu bersiap naik pagar ketika tangan Julia mengekang kerah bajunya.

"Perempuan harus lebih dulu, atau kau akan dianggap... hm, begitulah, " Julia lalu memanjat pagar setinggi kurang lebih tiga sampai empat meter, kemudian melompat dengan hasil yang mengagumkan. Robin mengumpat ketika berhasil melompat seperti yang Julia lakukan.

"Harus kuakui kau sangat Atletis." Robin membersihkan celananya dari debu jalanan beraspal. Lututnya sedikit memar, tapi anak laki-laki itu tidak mempermasalahkannya. Julia tersenyum ke arah Robin lalu berjalan angkuh ke depan. Dia sempat melirik bangunan asrama bergaya To door itu. Ia tak habis pikir mengapa orangtuanya harus memilih sekolah dengan reputasi tidak terlalu bagus. Ketika mata Julia kembali tertuju pada jalan, ia terkejut mendapati Robin sudah berjalan jauh di depannya.

"Hei, Robin! Tunggu aku!" Julia berlari agar menyamai langkah Robin.

Jalanan di desa tampak lengang. Banyak pohon cemara dan pinus di setiap sisinya. Hamparan kebun terbentang luas sejauh mata memandang. Udara sejuk serasa memenuhi rongga paru-paru. Mungkin itu alasan mengapa orangtua Julia mengirimnya ke sini. Gadis berusia tigabelas tahun itu memiliki masalah dengan pernapasannya. Jadi, sekolah sekaligus asrama yang terletak di desa itu bagus untuk mempercepat kesembuhannya.

Tapi Julia kesal dengan kenyataan bahwa dirinya tidak bisa bersekolah di sekolah modern lainnya. Yang lebih membuatnya kesal lagi, murid yang berjumlah lebih dari lima ratus orang itu tak satupun mengenal internet. Selain Robin. Ia tidak begitu kolot. Tapi dia sedikit tidak sopan. Robin selalu memanggil nama gurunya tanpa embel-embel pak atau bu. Namun harus Julia akui dia sangat pintar.

Sinar matahari mulai menembus celah dedaunan saat mereka berdua sampai di Camden Market. Letaknya di bagian utara London. Camden Market mempunyai nuansa yang berbeda jika dibandingkan kebanyakan pasar-pasar di kota London. Pasar di sekitar Camden Lock itu berlokasi di beberapa jalan dan bangunannya menjadi tempat yang menyenangkan untuk menghabiskan hari Sabtu. Julia tidak bisa berhenti mengagumi Mode jalanan, kerajinan seluruh dunia. Dan, tentu saja! Nuansa seolah-olah tahun 1960-an tidak pernah berakhir.

"Kupikir ini akan menjadi liburan yang menyenangkan. Atau setidaknya kuharap begitu." Julia terpana dengan Camden High Street yang ramai dan semerbak. Banyak kios penjual pakaian, sepatu, dan perhiasaan.

"Liburan yang sempurna! Aku mau pergi melihat barang etnik dan kerajinan tangan. Kau mau pergi kemana, terserah. Kita dapat bertemu di Regent's Canal sebelum pukul delapan." Robin beranjak pergi meninggalkan Julia yang tampak seperti mayat berdiri.

"Baiklah," Julia tak mengeyahkan kata-kata Robin. Dia cukup mengerti itu. Matanya berbinar ketika melihat toko obral baju di dekat stasiun tube.

***

Robin sedikit menyesal mengajak Julia ikut ke Camden bersamanya. Sebenarnya ia tahu dengan adanya Julia, pasti akan membuat keadaan semakin rumit.
Terlebih Robin harus mengatakan tujuannya ke Camden Market adalah memburu barang antik. Padahal kenyataannya berbeda seratus delapan puluh derajat. Satu-satunya alasan mengapa ia mengajak Julia adalah karena dia cukup pintar.

Walaupun tidak benar-benar pintar. Dan Robin juga sudah mengaitkan jari kelingkingnya dengan Julia bahwa ia akan mengajaknya ke Camden. Robin tahu Julia sangat menyukai berbelanja. Ya, seperti kebanyakan penduduk kota lainnya.

Robin mengeluarkan kunci induk dari dalam sakunya. Masih terasa dingin dan berat. Lalu mengeluarkan sesuatu lagi dari saku yang sama. Selembar kertas yang terlihat beberapa kali dibuka,dilipat, dibuka, dilipat, dan begitu seterusnya.
Ia lalu menggelar kertas berwarna cokelat tua itu di sebuah meja kafe yang ada di dekat Regent's Canal. Denah asrama sekolah tepat berada di depannya. Ia lalu mulai menyalin denah pada kertas kosong yang sengaja ia bawa.
Di kafe bernuasa tahun 80-an itu , ia merasa leluasa mengamati semua lokasi yang ada di asrama sekolahnya. Mungkin, itulah alasan mengapa ia bisa menemukan pintu lorong yang mengarah ke taman luar. Dia memiliki denahnya.

Tales Of Terror From The Lost Hospital (Julia And Robin's Adventure)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang