Pipi Silvya merah karena ucapan Dimas ditambah lagi dengan Meida yang menatapnya dengan pandangan jahil. Mata Silvya melotot kearah Meida agar Meida berhenti menatapnya seperti itu. Namun yang ditatap hanya terkekeh pelan. Silvya mengalihkan pandangannya kepada Dimas. Silvya memandang Dimas dengan pandangan heran atau bisa dikatakan pandanagn tidak percaya.
"Kenapa? Gak percaya?" tanya Dimas yang mengerti apa arti dari pandangan Silvya.
"Udah sana pergi!" usir Meida. "Silvya ga percaya sama omongan lo."
"Yaudah."
Dimas pergi meninggalkan Silvya dan Meida. Silvya agak bingung dengan apa yang dikatakan oleh Dimas. Hatinya ingin percaya bahwa itu benar adanya. Namun, otaknya berkata lain dari pada hatinya yaitu tidak.
"Aaaaa... benerkan apa kata gue." Teriak Meida yang dibas dengan pelototan oleh Silvya karena berteriak terlalu kencang. "Kak Alvan itu naksir sama lo, Sil."
"Apaan sih lo ngarang aja." Kata Silvya membantah. Dia tidak ingin terbuai oleh kata-kata Dimas tentang salam dari Alvan. Walaupun sebenarnya Silvya sedikit tertarik dengan Alvan.
"Yeh dibilangin."
Tiba-tiba handphone Silvya berdering, pertanda ada panggilan masuk. 'Unknown number' tertera pada layar handphone nya. Silvya bertanya-tanya siapa yang meneleponnya?
"Siapa, Sil?" tanya Meida.
"Ga tau. Angkat ga?"
"Angkat aja. Siapa tau penting." Kata Meida.
Silvya menerima usulan Meida dengan mengangkat panggilan tersebut.
"Halo." Sapa Silvya ragu.
"Halo, Vy!" sapa seseorang dibalik panggilan tersebut.
"Iya. Ini siapa, ya?" tanya Silvya kepada sang penelpon.
"Coba liat kebelakang."
Silvya membalikkan tubuhnya kebelakang ingin melihat sang penelpon tersebut. Silvya terkejut bukan main. Tepat dua meja dibelakangnya, terdapat anggota Tiran yang sedang makan–nongkrong lebih tepatnya. Dan disana terdapat Alvan yang sedang memegang handphone yang menempel di telinga kanannya.
Mata Silvya bertemu dengan mata Alvan, eye contact. Alvan tersenyum hangat kepada Silvya dan Silvya membalasnya dengan senyuman kikuk. Lalu Alvan mengedipkan sebelah matanya dna membuat Silvya tersipu. Pipi Silvya kembali merah dan panas. Tak kuat dilihat seperti itu, Silvya membalikkan tubuhnya ke posisi semula yaitu, membelakangi Tiran.
"Halo, Vy." Kata Alvan dalam panggilan telepon. "Masih disitu?" tanyanya.
"Eh... iya, kak. Ada apa, ya?" Tanya SIlvya sedikit gugup. Silvya sangat terkejut bahwa Alvan yang menelponnya.
"Ga ada apa apa, kok. Tadi Dimas bilang apa?" tanya Kak Alvan.
"Katanya ada salam dari kakak." Silvya kembali menjawab dengan ragu.
"Emangnya salam apa?" Sial! Alvan seperti ingin menjebak Silvya.
"Hmm... Duh katanya–" Silvya bingung mau jawab apa. Mana mungkin dia jawab 'Salam love you, kak'. Dengernya aja udah geli.
"Love you, ya?" kata Alvan.
"Eh, kayaknya iya, kak." Jawab Silvya.
"Kok kayaknya? Gue kan emang bilang 'love you' buat lo, Vy!"
"Hah? Beneran, ya?" kata Silvya. "Gue kira bohongan, kak."
"Apa perlu gue ulang?" katanya. "Nih, love you!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Where Are We Going?
Teen FictionDari pura-pura bisa jadi kenyataan. Bagaimana dengan awalnya yang hanya bercandaan bisa menjadi kenyataan juga? "Where are we going?" "Who knows?" A.As May, 2016