003

128 8 0
                                    

Apa yang paling mengenaskan di dunia?

Saat ini, mungkin aku.

Aku merasa benar-benar terjebak dalam lorong takdir.

Tidak. Apa yang aku alami bukanlah qada' atau takdir, tapi pilihanku sendiri. Aku mencoba mengingat kejadian semalam.

Tadi malam aku sedang dalam perjalanan pulang ke pondok setelah mengantar Koko ke rumahnya, trus di jembatan aku melihat perempuan yang ingin bunuh diri. Otomatis, aku harus mencegahnya, karena perbuatannya merupakan kemungkaran yang bisa kucegah. Tapi, ia malah melamar aku, memintaku berjanji untuk datang melamarnya pada orang tuanya. Pake acara ngancem segala, akan longcat dari jembatan kalau aku tidak mengiyakan. Ah.

Padahal aku bisa pura-pura tidak melihatnya kan? Aku bahkan bisa membiarkannya longcat ke sungai saat dia ngancam. Dalam sejarah hidupku, tidak pernah sedikitpun dalam bayanganku, aku bakal dilamar oleh perempuan. Apalagi perempuan kurang waras tidak berhijab dan berpakaian minim.

Entah ini hukuman untuk dosa yang mana?

Bodohnya lagi, aku sudah berdiri di depan pagar rumah yang sesuai dengan alamat yang ia sms kan semalam. Sambil memencet bel.

"Asalamu alaikum..." teriakku tidak sabaran.

Seorang laki-laki berseragam security berlari ke arahku. Ia memperhatikan penampilanku dari ujung kaki hingga ujung kepala dari balik pagar. Apa yang salah?

Tidak ada yang salah dengan penampilanku. Penampilanku seperti biasanya. Dengan kaos hitam bersablon "Yuk Ngaji", jaket yang sudah kumal, celana jins hitam yang agak menggantung dan longgar, sepatu sneakers, dan rambut yang kuikat tapi. Tidak ada yang salah. Aku bahkan tidak pakai make up seperti aktor-aktor yang digilai kaum hawa itu. Apalagi pakai lipstik. Apalagi pakai rok.

"Assalamu alaikum, pak," ucapku ramah sambil mengangkat tangan kanan.

"Walaikum salam. Cari mas Rio, ya? Mas Rio sudah tobat, mas. Motor balapnya sudah disita sama bapak," ucap bapak security dengan name tag 'Abdul Aziz'.

Aku mengerutkan kening. Nih bapak gak liat apa, kalau aku bawa sepeda? Kok malah bahas motor? Jangan-jangan alamatnya salah? Ah, aku dikerjain nih.

"Rio siapa, ya?" tanyaku polos.

"Lho, mas bukan mantan teman balapannya mas Rio ya?" tanya pak Aziz bingung. Aku menanggapi dengan tertawa kecil.

"Ah, bapak. Teman balap apaan? Sepeda? Saya gak cari Rio kok, pak. Kenal aja nggak."

"Trus mas cari siapa? Pacar barunya Halimah, ya? Kan nggak mungkin kalau mas nya cari mbak Bela."

Aku menepuk tangan satu kali. "Nah itu. Saya cari Bela," ucapku dengan disertai cengiran lebar. Pak Aziz nampak tidak percaya.

"Mas mau rampok ya?" tuduh pak aziz tiba-tiba.

"Ya Allah... Tampang unyu begini dibilangin rampok. Saya beneran cari Bela. Tunggu saya telpon."

Baru saja aku hendak merogoh hp di dalam tas, perempuan yang kutemui di jembatan itu keluar dari rumahnya yang megah. Dia tersenyum manis.

"Daffa," ucapnya saat jarak diantara kami hanya beberapa meter saja. Pak Aziz tampak bingung.

"Beneran temannya, mbak?"

Perempuan bernama Bella itu tersenyum. "Calon suami, pak," ucap Bella sambil membukakan pintu pagar untukku.

Pingsan sekarang, boleh?

Mataku mengitari rumah Bella. Aku masih tidak habis pikir, kok perempuan secantik Bella mau menikah dengan aku?

Not Cinderella's WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang