"Kau akan makan ketika kau lapar. Kau akan tidur ketika kau lelah. Tapi apakah kau akan datang padaku saat aku begitu rindu padamu?" –Jeanne Chauvet
.
.
Moskow merupakan kota yang luar biasa. Banyak hal menarik yang terdapat di dalamnya. Red Square, Kremlin, Mausoleum Lenin, dan betapa banyak. Katya tiba-tiba merasa kerdil sekaligus besar. Ia merasa demikian karena selama dua puluh tiga tahun hidupnya hanya ia habiskan di Zelenograd, meringkuk, menulis, mengisi perut, dan melakukan hal membosankan lain di dalam rumah.
Kini Katya bersyukur ia pergi ke Moskow. Ia merasa menjadi perempuan yang beruntung karena lahir di negara penuh sejarah seperti Rusia, meski dipenuhi intrik dan skandal internasional. Katya bahagia menjadi bagian dari Rusia.
Ia tak henti-henti mengagumi setiap foto yang diambilnya. Katya tersenyum samar. Di salah satu foto, terdapat sesosok perempuan yang tengah membelakangi kamera, rambut coklat panjangnya berkibar indah. Apakah Milla sadar saat Katya memotretnya?
"Aku tidak tahu kenapa aku merasa harus mengatakan ini," kata Milla, jeda. Diraihnya secangkir kopi hitam di atas meja, ia lalu melanjutkan bicara sebelum menyesap kopinya. "Kau terlihat sangat bahagia."
Mereka tengah beristirahat di kedai kopi yang dekat dengan jembatan Spassky setelah berkeliling Red Square hingga Kremlin selama dua jam. Katya membalas kalimat Milla dengan senyuman.
Katanya, "Bagaimana tidak? Ini akan menjadi pengalaman yang menakjubkan. Aku akan menceritakan semua pengalamanku hari ini pada Gwen agar dia sesekali memuji Rusia."
"Gwen?"
Katya mengangguk bersemangat. "Dia sahabatku. Setengah Rusia dan setengah Inggris. Dia menyebalkan dan tidak begitu sopan, tapi dia adalah orang pertama yang akan datang padaku saat aku membutuhkan uluran tangan. Kau tentu tahu, perempuan modern yang mengagung-agungkan negara lain ketimbang negaranya sendiri. Tapi aku tidak heran karena ada darah Inggris yang mengalir di tubuhnya."
"Oh, sepertinya dia orang yang menyenangkan." Milla menanggapi tanpa rasa tertarik.
"Yeah..." Giliran Katya meneguk kopinya. "Sudah hampir tujuh tahun kami bersahabat. Sayang sekali karena dia harus kuliah di London. Aku harap dia pulang saat liburan nanti."
Milla memilih untuk tidak menanggapi apa-apa karena sesungguhnya dia bingung apa yang harus dia katakan.
Setelah beristirahat sejenak, mereka memutuskan untuk bertandang ke museum sejarah. Karena terdapat peraturan dilarang memotret, Katya terpaksa menitipkan kameranya sementara di tempat penitipan yang sudah disediakan. Ia agak kecewa tapi hal itu tidak mengurangi rasa antusiasnya. Milla terlihat jelas tidak tertarik pada hal-hal berbau seni dan sejarah. Yang dilakukan perempuan berambut coklat itu hanya menatap bosan dan menguap.
"Maaf karena sudah membuatmu bosan." Katya tiba-tiba bicara. Milla jadi salah tingkah dan bersikap seolah dia begitu bersemangat, matanya terbuka cerah—tidak kuyu seperti beberapa detik lalu. Melihat hal itu membuat Katya tertawa pelan.
"Aku buta sejarah."
"Oh!" Katya berseru seolah ia telah menemukan sesuatu yang lucu pada diri Milla. Ia menghembuskan napas panjang, bukan bentuk dari kecewa, melainkan mempersiapkan diri untuk menceritakan sesuatu yang barangkali akan membuat Milla benar-benar bersemangat (tidak pura-pura seperti saat ini). "Aku bisa membuatmu mencintai sejarah."
Milla menatap bingung. Sebelah alisnya terangkat lucu.
Katya tersenyum penuh arti dan siap untuk memulai kuliah sejarahnya. Ia melihat ke arah lukisan seorang perempuan yang tergantung begitu anggun dan strategis. Milla ikut mengalihkan pandang pada obyek yang dilihat Katya. "Bagaimana menurutmu lukisan yang satu ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Adultery: A Russian Affair
RomanceMilla Aleksandrov memutuskan untuk pergi meninggalkan kekasih perempuannya, Jeanne Chauvet, setelah pertengkaran mereka di malam saat salju pertama kali turun. Milla kemudian bertemu dengan Katya Zakharov-seorang perempuan dengan segenap rahasia mas...