Karin menunduk selama berjalan cepat menuju toilet. Sesekali bahunya menabrak orang, tapi dia tak peduli. Gadis itu menggigiti kuku jari jempolnya beberapa kali. Untungnya tiap lantai sekolah memiliki toilet sehingga dia tak perlu ke bawah. Di tengah koridor, Karin berbelok.
Setelah masuk ke toilet, Karin segera memutar keran. Dia membasuh muka cepat-cepat. Dinginnya air menyegarkan, tapi pikirannya masih kembali ke Briona, lalu ke masa SMP-nya.
Dulu, Karin tidak seperti itu. Dia juga punya teman. Dia pun senang membicarakan hobinya kepada mereka. Biasanya cewek selalu berkelompok dan meskipun di antara empat orang hanya Karin yang hobi menggambar, dia senang bisa tertawa bersama yang lain ketika makan bersama atau membicarakan hal-hal sederhana.
Namun, bukan hanya hobi yang membuat Karin berbeda.
Karin menatap cermin. Kerutan di dahinya mulai berkurang. Dia juga sudah mengatur napas semenjak tadi. Melakukan pernapasan teratur bisa mengurangi ketegangan. Setidaknya, tadi dia sempat gemetar. Sekarang sudah tidak lagi.
Kenapa aku bisa seemosi itu? Apa untungnya memaksakan pendapatku ke orang yang tak mungkin mengerti?
Karin mendesah, lalu mengelap wajahnya dengan sapu tangan.
"Uhuk, uhuk!" Sapu tangan biru itu masih menutupi mulut. Napas Karin mulai sesak hingga dia harus mengambil *alat hirup dari saku seragamnya, lalu menyemprotkan obat beberapa kali ke dalam mulut.
Karin mengambil dan mengembuskan napas beberapa kali. Kepalanya tertunduk lemas. Dia mencengkeram tepi wastafel, menyokong tubuh agar tak terjatuh sambil menenangkan pernapasan. Matanya terpejam, meresapi setiap udara segar yang dapat masuk.
"Fuuh ...." Setelah bernapas lega, Karin menengadah.
"Wah, kamu sempet liat TKP-nya?"
Pintu toilet tiba-tiba berderit terbuka. Karin menoleh terkejut. Dia mendengar suara cempreng dari cewek yang sudah tak asing.
"Aku sih bakalan nggak masuk habis liat yang begitu," lanjut si cewek cempreng.
Cewek cempreng itu mengenakan rok lebih pendek dari yang lain. Seragamnya juga lebih ketat, menonjolkan buah dadanya yang besar. Yang paling Karin tidak suka darinya adalah rambut ikal si gadis yang dicat kecokelatan. Setiap sisi penampilan gadis itu melanggar peraturan sekolah, membuat dahi Karin kembali mengerut.
Si cewek menoleh. Perbincangan dengan kedua temannya berhenti. Ketika pandangan mereka bertemu, keheningan tercipta untuk beberapa saat. Derit pintu yang menutup dan suara keran yang masih memuntahkan air mengisi toilet. Siswi yang Karin benci itu kemudian menyeringai.
"Wah, ada si penyakitan di sini."
Karin mengalihkan pandangan ke bawah, lalu memegang erat siku tangan kirinya.
"Weh, Liz, kamu yakin mau ngerjain dia di sini? Sekarang?" Gadis gemuk di sebelahnya memegang bahu si cewek cempreng—Eliza. "Inget nggak Kamis kemarin? Kita siram pakai air, dia malah sakit sampai Senin."
"Hmm ... Mungkin harus pakai cara lain?"
Karin melemparkan tatapan kesal. "Kenapa kalian terus menggangguku, sih?"
Eliza melotot. "Heh! Di sini banyak kaca, kenapa nggak ngaca aja?"
"Apa hubungannya? Belum mulai belajar juga otakmu sudah kacau?"
"Itu, tuh!" Eliza mendekat dan mendorong bahu Karin. "Kamu itu ngomong nggak pernah mikir-mikir! Makanya kubilang ngaca! Gitu aja nggak ngerti. Sendirinya ngomong nggak pakai otak, malah nyalahin orang lain."
"Aku cuma bilang jujur. Kalian memang berisik, kok, bicara pas jam pelajaran. Kan sudah dikasih waktu istirahat. Banyak juga yang terganggu, bukan cuma aku."
Eliza mendorong lagi. "Ini anak?! Udah dikasih pelajaran masih belum kapok-kapok juga."
"Liz, sabar, sabar."
"Ah!" Eliza menepis tangan kedua sahabatnya. "Kalian jangan bengong aja! Ambil air, rokok, atau apa kek! Aku bener-bener muak liat ini anak."
Kedua temannya saling bertatapan. Ada kekhawatiran pada sorot mata mereka.
Karin tidak melewatkan itu. Dia mendengus. Senyuman kembali pada wajahnya. "Apa kalian tidak takut?"
"Maksudmu?" Eliza menggeram..
Karin mengambil napas dalam-dalam. Dia tak boleh gentar. "Kamu tadi bilang soal TKP? Pembunuhan di berita tadi pagi kan?"
Raut wajah Eliza berubah. Kecemasan mulai terlihat. "Kalau iya, emang kenapa?"
Posisi mulai terbalik. Senyum Karin melebar, penuh kepuasan. "Aku tahu siapa yang terbunuh itu. Dan kamu juga pasti sudah kenal."
Sesuai dugaan Karin, Eliza menunjukkan ketakutan. Tangannya mengepal, gemetaran. Eliza menunduk dengan mata tak berkedip.
Kedua teman Eliza saling memandang, sebelum salah satu dari mereka bertanya, "Kenapa kamu jadi keliatan takut gitu, Liz?"
Eliza tidak bisa menjawab.
"Tentu dia takut. Soalnya dia punya teman yang tidak bisa dihubungi kemarin malam. Teman penindas seperti kalian, yang pasti banyak dibenci. Wajar saja kalau tiba-tiba mati terbunuh."
"Jangan bilang kalau dia mati!" Eliza mendorong Karin lagi.
Kali ini, dinding menghalangi Karin mundur lebih jauh. Dia sedikit menjerit ketika punggungnya terbentur. Matanya melirik kanan-kiri. Pandangannya teralih ke pintu, ketika Eliza mulai mencekiknya.
******
Footnote:
*Alat hirup: Biasa disebut juga inhaler. Alat yang dipakai oleh penderita asma ketika gangguan asma (sesak napas) terjadi, untuk membantu pernapasan. Obat disemprotkan dari dalamnya ketika ditekan.
******
Author's Note: Terima kasih telah membaca sampai sini :D Jangan lupa tinggalkan vomment kalian untuk mendukung author ya. Tapi btw, mungkin author juga harus lebih semangat dan gak gitu peduliin vomment dulu, soalnya kadang suka berkecil hati dan malah gak lanjut-lanjut. Maaf ya. Author akan lebih semangat ^^/
KAMU SEDANG MEMBACA
Anomaly Within - The Black Hood Murder
Mystery / ThrillerUPDATE: 2 part tiap Sabtu malam :) Sebagai salah satu siswi teladan dan gadis ramah yang disukai banyak orang, Briona memiliki satu masalah; menolong tanpa pikir panjang. Kerap kali dia menyesali perbuatannya sendiri. Mulai dari sekadar memberi perm...