Ferdi tertawa kecil sambil mengikuti Briona menuju jalan besar. "Eh, gimana, gimana? Aku jadi nggak ngerti."
"Jangan ketawa deh, ya. Nggak lucu." Briona tetap berjalan cepat, tapi Ferdi sudah menyusul di samping. "Tadi ada bocah yang minta permen, padahal aku cuma punya satu. Uh ... Pagi-pagi udah sial."
"Kalau nggak mau kasih, ya tadinya nggak usah kasih aja, kan?"
"Terus harus ngedengerin bocah itu nangis terus? Mending aku kehilangan permen, meskipun dua-duanya nggak enak."
Ferdi menepuk jidat. "Nana, Nana. Nggak usah segitunya, lah. Cuma demi permen."
"Bukan cuma, tahu! Huh! Coba nanti abis latihan basket, aku minum minuman kamu, biar kamu kehausan. Terus aku bilang, 'cuma air'."
Ferdi terdiam sesaat. Pengandaian seperti itu selalu berhasil membuatnya bungkam, lantaran dia ingin membayangkannya, tapi tak bisa. Paham tak paham, disetujuinya saja. "Iya juga, sih. Ya udah deh. Cup, cup." Ferdi menepuk-nepuk kepala Briona. "Jangan cemberut lagi, ya."
Dengan tubuh Briona yang bahkan lebih pendek dari bahu Ferdi, gadis itu jadi terlihat seperti anak-anak, terutama bila diperlakukan begitu. Wajah Briona bersemu merah. Pikirannya mengulang kata-kata dan perbuatan yang baru saja dia lakukan. Tak seharusnya aku marah-marah cuma karena ini. Jadi malu sendiri dia.
Namun ketimbang malu, Briona malah lebih merasa kesal pada hal lain. Dia merengut. Sikap Ferdi yang seperti itu entah mengapa selalu membuat perasaannya kacau. Sedikit-sedikit kesal, sedikit-sedikit senang. Dia benci ketika perasaannya tidak konsisten.
"Wah, Dik Briona sama Dik Ferdi. Pagi-pagi, nih, seperti biasa." Seorang wanita paruh baya menyapa mereka dari depan salah satu rumah. Dia tampak baru saja membeli sayur.
Briona semakin tersipu. Dia sadar maksud dari wanita itu. Sudah biasa. Sejak kelas satu SMP—sekitar empat setengah tahun yang lalu—Briona dan Ferdi pulang-pergi sekolah selalu bersama. Liburan pun sama-sama. Orang-orang sekitar sudah mengenal mereka. Fakta bahwa mereka belum berpacaran juga menjadi kebingungan yang lumrah. Setidaknya, mereka tidak selalu ditanyai dan itu sudah cukup membantu Briona mengatur emosi.
Briona tersenyum. Dia menyapa balik ibu-ibu tadi. Sayang, emosi dan pikirannya mengganggu. Dia malah terbata-bata. Ferdi tertawa kecil di sampingnya. Briona melirik sinis pada pemuda yang sedang menikmati situasi itu.
Komplek perumahan tempat mereka tinggal tidak bisa terbilang besar ataupun kecil. Sepanjang perjalanan, Briona dan Ferdi berpapasan dengan orang-orang yang sering mereka jumpai. Di seberang jalan begitu mereka keluar perumahan, ada mini market. Ferdi mengajak Briona belanja. Toh, Briona baru saja kehilangan makanan kesukaannya.
Briona menggeleng. "Uang jajanku lagi nipis."
"Ya udah. Aku yang beliin, lah. Biar mood kamu balik kayak biasa." Ferdi cengar-cengir.
Briona balas menyeringai. "Kalau begitu, sekalian beliin yang sekantong, ya."
"Lah, kenapa jadi sekantong? Bukannya yang diambil 'si bocah' tadi cuma satu lolipop?"
"Katanya mau beliin."
"Ya, jumlahnya beda, Na. Duitnya juga."
"Kan biasanya kamu juga suka nyontek PR aku, tuh. Sekalian bayarannya, lah." Briona memonyongkan bibir bawahnya. "Masa' usahaku ngerjain PR cuma dihargai satu lolipop. Apa nggak usah aja nih, PR hari ini?"
Ferdi menelan ludah. Hari itu memang ada tugas Fisika. Bukan cuma PR, tapi kuis dadakan juga sering ada. Udah mana gurunya galak! Ferdi mendesis, memikirkan jumlah uang di dompet. Seingatnya, jatah bulan itu masih tersimpan banyak. Sekantong permen seharusnya bukan masalah besar, dibanding hukuman si guru Fisika.
"Iya deh, iya. Sekantong aja, gampang," ucap Ferdi sombong.
"Kalau begitu, sekalian es krim, ya."
"Wah, kok jadi nambah?"
Briona tertawa kecil mengiringi gerutu Ferdi. Gilirannya menikmati situasi. Hingga memasuki toko, Briona masih belum berhenti menggodanya.
Di pagi hari, jalanan kota kecil itu tidak bisa dibilang ramai, meski motor dan mobil sudah berlalu-lalang. Ketimbang kepulan asap dan bunyi klakson, kealamian pepohonan dan bunyi kepak sayap burung masih lebih mendominasi.
Briona sesekali melihat ke luar toko. Ada seorang gadis berdiri diam memegangi tali seekor anjing pom. Di sekitar situ memang banyak yang memelihara hewan. Paling-paling ada teman atau saudaranya di dalam toko. Membawa anjing memang merepotkan. Melihat ekor si anjing yang bergerak-gerak, Briona jadi teringat sesuatu.
Belum lama ini, banyak yang membicarakan soal mayat anjing dan hewan lain tergeletak di jalanan atau tong sampah. Bekas sayatan memenuhi tubuh hewan-hewan itu. Kata mereka sih, penyiksaan hewan. Pelakunya belum ditemukan. Polisi daerah sini memang payah, menurut banyak orang. Atau mungkin, pembunuhan hewan tidak terlalu menarik perhatian mereka. Toh, hewan-hewan itu memang hewan liar, bukan peliharaan. Lagipula bukan berarti mereka sudah pasti dibunuh secara sengaja. Masih ada kemungkinan tabrak lari.
Namun, bagaimana dengan kematian siswi SMA di sekitar sekolahnya?
Briona jadi ingat hal itu. Baru saja tadi pagi ibunya memberi tahu. Beritanya baru tersebar di dunia maya karena masih belum lengkap. Briona memang jarang mengecek internet, tapi ibunya rajin menonton berita sambil lihat ponsel, ditambah koran sebelum berangkat kerja. Katanya, mayat ditemukan sekitar jam lima dini hari. Itu tidak terlalu membuat ibunya khawatir. Tempat terbunuhnyalah yang mengkhawatirkan: di dekat SMA Alma, sekolah Briona saat ini.
Anehnya, siswi itu bukan berasal dari SMA Alma. Identitas mayat memang masih belum diberitakan, tapi setidaknya fakta soal asal sekolahnya sudah tersebar. Penyebab kematiannya juga sudah: kehilangan darah akibat tusukan pisau di perut. Jelas-jelas pembunuhan.
"Woi!" Ferdi menjentikkan jari di depan wajah Briona. "Bengong lagi."
Briona berkedip. Mereka ternyata sudah di depan kasir. "Maklum, Fer. Belum keisi nih, tenaganya."
"Nih!" Ferdi menyodorkan lolipop. "Kesukaan kamu. Udah dapet, kan? Jangan bengong mulu, ya."
"Iya, iya." Briona tersenyum sembari mengambil lolipop. Dia membuka bungkusan dan mulai mengemutnya.
Pintu keluar toko terbuat dari kaca transparan. Ada tulisan PUSH yang berarti "dorong", tertera di pegangan pintu. Briona berusaha mengarahkan fokus ke sana. Dia tak ingin melihat kaca.
Kaca adalah tempat di mana si Tudung Hitam berdiri, menatapnya.
Ya, ya, aku tahu. Kehidupan normal.
Tak usah pedulikan apa-apa.
Pembunuhan itu tak ada kaitannya dengan kita.
******
Author's Note: Makasih udah baca sampai sini yah. Jika kalian suka atau mau dukung author, jangan lupa tinggalkan vote dan komennya~ Ini misteri pertama author yang bener-bener author pikirin pembunuhan dan triknya gimana loh. Tapi gak tahu sih kalo bakal ada plot hole atau gak. Wkwkwk. Author kan bukan ahli, tapi tetap berusaha kasih yang maksimal :) Btw, udah ada tebakan soal Briona itu sebenernya gimana? Wkwkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anomaly Within - The Black Hood Murder
غموض / إثارةUPDATE: 2 part tiap Sabtu malam :) Sebagai salah satu siswi teladan dan gadis ramah yang disukai banyak orang, Briona memiliki satu masalah; menolong tanpa pikir panjang. Kerap kali dia menyesali perbuatannya sendiri. Mulai dari sekadar memberi perm...