Kabur!!

139 16 9
                                    

Gemuruh guruh terdengar keras dan mengancam. Menghardik anak-anak manusia yang seharusnya tidak berkeliaran di dasar hutan taman kota. Mungkin ia sudah kesal karena ancaman awan mendungnya yang semakin pekat tak membuat putra putri adam di sana menyudahi permainan konyol mereka dan pulang. Guruh menggelegar lagi. Memberi peringatan terakhir pada mereka yang nampaknya tengah berdebat. Sudah tak sabar rasanya ingin menjatuhkan ribuan misil air pada mereka, anak-anak bodoh itu. Biar saja mereka basah kuyup dan kakinya terbenam lumpur becek. Biar saja mereka terkena banjir atau terseret longsor atau tersesat dan tak bisa pulang. Bodoh amat, siapa suruh tetap di sana huh? Begitu pikir sang guruh gemuruh di angkasa sana.

Mungkin satu atau dua tetes dulu, mereka pasti akan segera kabur pulang. Ha. Atau mereka memang benar-benar bodoh.

Namun di bawah sini, aku tak mengacuhkan gemuruh guntur. Bunyi-bunyian langit itu kuanggap angin lalu. Mereka hanya sekedar suara alam yang berisik. Yang jadi perhatian utamaku adalah, dari mana asal suara tadi?

Bukan suara gemuruh guruh yang ku maksud. Aku tak perduli pada mereka. Tak usah dibahas, sisihkan saja. Suara yang ku maksud adalah suara kurang sopan yang tadi menyela pembicaraanku dengan Azura. Namun seolah itu hanya imajinasiku belaka, suara yang kucari menghilang. Seakan tak pernah terdengar.

Aku bertanya pada Azura apakah ia juga mendengar suara itu namun ia malah mengacak-acak rambutnya sendiri yang kini sudah hampir mirip sarang burung. Kesal jelas terpampang di wajahnya.

"Aku gak dengar apa-apa. Mungkin saja itu penunggu hutan, aku mau pulang. Terserah kamu mau ikut apa nggak." Lelaki muda itu berjalan menghampiri Pricilia yang masih lelap. Menopang badan rekan sekelasnya itu untuk berdiri ia bersiap untuk pergi.

"Ku peringatkan sekali lagi bahwa jika terjadi apa-apa padamu, itu bukan urusanku. Jadi tolong jika kamu kembali dalam wujud ruh halus jangan salahkan aku, jangan menuntutku, jangan menaruh dendam atau bahkan berusaha menyeretku ke duniamu, karena aku sudah berusaha mengajakmu kembali. Semoga kau beruntung."

Aku menyeringai melupakan sejenak suara asing tadi. Rasanya agak kesal juga jika salah seorang temanmu berkata seolah-olah kau tak akan kembali dengan selamat.

"Aku mendengarmu, Arima."

"Hee?" Aku hampir lupa juga kalau Azura bisa membaca pikiranku. Aku kok mendadak pikunan sih? Kezel.

"Tenang saja tak akan ada yang menghantuimu, aku pasti kembali dengan selamat dan meski kakiku terkilir aku pasti bisa menemukannya." Ucapku sinis.

"Gundulmu apek!" Mendadak suara itu kembali.

Aku terperanjat demi mendengar suara yang barusan terdengar lagi. Suara itu tidak dikeluarkan Azura. Meski ia tampak ingin berkata-kata membalasku, mulutnya terkatup rapat. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Namun aku tak menemukan apa-apa. Selain dahan-dahan pohon dan dedaunan kering.

"Ka-kamu dengar itu Azura?"

"Dengar apa? Suara perut Pricilia? Gak. Kalau kamu mau pulang ya pulang saja, gak usah sok-sokan kuat terus mengarang cerita soal..."

Aku mengabaikan omelan Azura yang kian merepet saja. Aku berkonsentrasi, mengabaikan suara gemuruh yang bersaut di atas sana, suara gemerisik dedaunan dan dahan yang berderak-derak karena tiupan angin. Suara ganjil tadi tak kunjung terdengar.

Hening lagi.

Aku tidak bisa untuk terus diam begini. Aku menggigit bawah bibirku. Memandang ke sekeliling untuk kesekian kalinya. Tak kutemukan apapun selain bahwa tempat di mana kami berada rupanya di kelilingi oleh beberapa pohon beringin yang cukup besar.

"Si-siapa itu?" Jelas saja aku tak tahu siapa pemilik suara itu. Suaranya terdengar tidak terlalu jauh pun juga tidak terdengar dekat.

"Wah aku merasa sedih karena kamu ndak mengenaliku, apa karena sebagian suaraku masih nyangkut ke dimensi lain ya?"

Seperti Itu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang