Gimana Kalau itu Beneran Hantu?

35 8 5
                                    

Kami terus berlari, dan secara aneh aku tidak merasakan sakit pada kakiku yang tadi terkilir. Apakah kakiku sudah mati rasa? Ah, tidak-tidak kedengarannya mengerikan, jangan sampai deh. Demi membayangkannya aku bergidik ngeri. Bulu-bulu halus di belakang tengkuk hingga ketiakku meremang.

Omong-omong ke arah mana kami berlari? Aku tak tahu, karena aku hanya mengikuti Flaw berlari menembus lebatnya hutan taman kota. Ah, apakah benar ini hutan taman kota? Aku tidak pernah menyangka hutan kecil yang dibangun pemerintah setempat beberapa puluh tahun silam ini jadi begini besar. Mungkin karena sudah lama ditinggalkan dan tidak dirawat atau kami hanya berputar-putar saja disesatkan oleh penghuninya. Aku mempercayai pendapat kedua.

Yang ku tahu sekarang kami tidak melalui jalan setapak, melainkan jalur dengan banyak sesemakan yang tumbuh liar tak teratur. Dahan-dahannya menggores kulitku ketika kami berusaha menembusnya sementara daun-daunannya yang kecil, seakan tak mau kalah, ikut-ikutan menampari wajahku. Mungkin mereka kesal pada kami yang seenaknya menerobos. Tapi mau bagaimana lagi? Jalan setapak yang bobrok itu tidak ketemu dan terpaksa kami harus mengarungi lautan semak tiada akhir ini. Aku berharap untuk segera menemukan jalan yang benar.

Angin sarat bulir air hujan mulai membasahi ku lalu bercampur dengan butiran keringat dan mulai mengalir perlahan, beberapa bulir kuyakin mulai berjatuhan. Tidak nyaman rasanya. Flaw masih erat memegangiku, seakan aku bisa hilang kapan saja kalau ia mengendurkan pegangannya. Aku sendiri secara aneh tidak merasa keberatan dengan hal itu. Mungkin dengan malu-malu harus kuakui kalau aku merasa aman. Ah, mendadak pipiku dirayapi sensasi panas seperti beberapa waktu lalu. Kenapa ya? Apa aku perlu ke dokter?

Dibandingkan itu, bukankah sebaiknya aku mencemaskan suara asing yang tadi sempat terdengar? Mungkin yang lain belum sadar sama seperti ketika aku mendengar suara Flaw tadi ya? Azura bahkan tak mengacuhkannya dan terus berlari memimpin di depan. Anak itu sepertinya sudah tidak tahan berada di dalam hutan ini. Apalagi hujan sudah mulai turun. Ia pasti marah besar padaku. Mungkin di dahinya telah muncul empat tanda siku komikal.

"Hei-hei kenapa kalian lari gitu sih? Tungguin dong!" Suara yang berat dan dalam itu kembali terdengar, mengema di belakang kami, namun ketika aku mencoba untuk menoleh Flaw menyergahku, "apapun yang terjadi jangan menoleh."

"Hei, kenapa kalian tak mengacuhkanku sih? Halo~~" suara berat itu terdengar lagi.

"Kenapa?"

"Bahaya tau, itu piyantuncemeng yang aku pun tidak ingin terlibat dengannya. Kau tentu tau kan?"

Aku mengangguk. Tentu saja aku paham benar apa yang sedang dibicarakan Flademir, piyantuncemeng adalah roh jahat berupa sosok hitam besar dengan mata merah menyala yang gemar mengumpulkan anak-anak hingga remaja untuk koleksi pribadinya. Ia biasa tinggal di pepohonan besar yang tumbuh berumpun atau rumah-rumah besar yang ditinggalkan. Di saat seperti ini malah bertemu dengannya bukanlah skenario terbaik yang kami harapkan. Tapi hari ini sepertinya apes bagi rombonganku.

"Oi Arima serius nih nggak mau nengok? Noleh dikit aja keles. Dih sombong." Aku berusaha untuk berpura-pura tidak dengar sambil mencoba untuk fokus berlari ke depan. Namun suara itu seolah tak menyerah, "Oi itu bukan Flaw yang asli lho, Arima~"

Flaw berseru padaku, "jangan percaya perkataannya, kau tau sendiri kan muslihat mereka?"

"Yang asli di sini lho, bukan yang sama kamu itu. Aduh, payah deh kamu Arima. Hahaha..." Suara itu masih terdengar berat dan dalam, khas suara pria paruh baya yang telah makan banyak asam garam kehidupan. Sayangnya suara tawa yang terdengar menyusul kemudian terasa begitu menyebalkan. Dari belakang suara bapak-bapak itu mengumpat, "wah wasyemi kok badanku jadi koyo buto mengkene. Arima pokoke itu bukan aku."

Seperti Itu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang