Halo, ini bukan kelasku.

507 33 12
                                    

Mereka. Sungguh berisik.

Sudah sekitar satu jam aku duduk merenung di pojok kelas dengan kedua tangan menopang dagu, pandanganku menyipit menatap seluruh penjuru kelas yang memang, berisik luar biasa.

Bagaimana aku harus memulai deskripsinya?

Mungkin pertama-tama dari yang terdekat denganmu terlebih dahulu. Baiklah, kita ambil yang itu saja. Di dekatmu ada segerombolan anak perempuan yang tengah duduk mengelilingi sepasang meja. Mereka berada pada baris kedua dari kiri dan dua meja dari belakang. Sesekali terdengar suara tawa cekikikan dari gerombolan ini. Penghuni kelas menyebut mereka lingkaran sosialita.

Kemudian jika sepasang biner dibalik lensa cemerlangmu bergulir menuju pojok kelas sebelah kiri kau akan menemukan lingkaran lain. Bukan lingkaran pemuja setan meski mereka duduk dan menunduk cukup takzim pada satu eksemplar majalah dan setumpuk dvd bercover mozaik. Mereka ini lingkaran pemuja R-18-you-shouldn't-ask-me-what-if-you-know-what-i-mean. Mereka generasi rusak tidak usah diperbaiki karena bakal kumat saban pertengahan bulan purnama.
Sisihkan.

Di belakang lingkaran sosialita dan penghuni pojok kelas, duduk dengan lagak pongah khas ketua dari geng tukang bully. Mereka bagaikan penguasa rimba, yang katanya berada di puncak rantai makanan kelas Seni 2 C. Anak itu laki-laki, kalau masih bisa disebut anak. Usianya memang masih 17 tahun namun dengan bentuk badan menjulang dan otot yang bergumpal serta tatapan keras sekeras jenis primata yang pandai memanjat gedung hingga menguasai layar lebar seluruh dunia beberapa dekade lalu. Dia tak pantas lagi disebut anak. 2 kali tinggal kelas, tato menyembul dari balik lengan baju yang digulung serta rambut mohawk dicat merah. Tak ada yang berani melawannya, bahkan guru ataupun Kepala Sekolah, apalagi karyawan tata usaha karena orang tuanya adalah pemilik jaringan perusahaan yang cukup terpandang. Bahkan tak ada yang berani membicarakannya meski kini sosok itu hanya tinggal selembar gambar terbingkai dalam figura yang diletakkan di atas meja kosong bersama vas berisi bunga segar, tepatnya dua bangku dari sebelah kirimu.

Meninggal karena kecelakaan lalu-lintas (kabar burungnya adalah ia sedang mengikuti balapan liar sebelum sebuah truk gandeng tiba-tiba saja melintas). Kroni-kroninya tak banyak berkutik, ada yang berusaha mengambil alih kekuasaan namun karena sebagian besar penghuni kelas memang tidak senang ditindas terjadi pergolakan, anak yang ingin jadi tukang bully v.02 itu akhirnya memilih pindah sekolah untuk memulai karir yang baru. Sejak hari itu pembullyan di kelas Seni 2 C tinggal sejarah. Beda cerita dengan kelas lain. Dan tak perlu kutulis lagi karena cerita ini bakal terlalu jauh melenceng, dan mungkin kau akan menganggapku bertele-tele. Aku harus menceritakan isi kelas hingga tuntas.

Nah, mari kita lanjutkan menuju pusat kelas, ya di depan papan tulis yang kini telah diisi kaligrafi rumit namun artistik yang pabila dibaca secara saksama berbunyi "Halcyon". Area papan tulis yang biasanya paling disegani untuk dipijak ketika ada guru kini telah dikondisikan menjadi mini stage dengan seorang pemuda yang berdiri penuh percaya diri menyanyi tidak jelas. Diikuti oleh segelintir pengikut setianya memetik gitar, memukul meja atau pura pura memetik gitar pada sapu kelas, yang tidak kebagian alat musik akan bertepuk tangan sambil bilang 'kya kya kya'. Lingkaran calon musisi.

Ah, aku sudah terlalu melenceng, untuk mempersingkat kondisi kelas ada beberapa lingkaran lingkaran kecil tersebar di sepanjang barisan tempat duduk yang meliputi beberapa gadis trendi, gadget mania merangkap gamer merangkap hacker, para kutu buku pendiam yang monoton, lalu ada murid biasa yang lebih membosankan dimana jika kau berkesempatan untuk sekali lihat kau tak akan tertarik dan apabila mendapat kesempatan untuk berkali-kali melihat membuatmu pingsan karena bosan, lalu ada calon politisi (adalah anggota osis merangkap ketua kelas,) dan terakhir lingkaran pehobi klise, tukang tidur.

Yang terakhir anulir, karena ia bukanlah bagian dari lingkaran. Pemuda itu adalah kamu yang bangkunya berada tepat di depanku. Sepasang lensa berbingkai hitam tergeletak manis di depan kedua tanganmu yang saling bersilang berperan sebagai bantal bulu ayam. Kau lelap sekali. Tiada henti mendengkur dan punggungnya melengkung.

Lalu yang paling akhir, sisa dari sisa-sisa, makhluk luar lingkaran yang memilih untuk tidak membuka interaksi. Dia adalah diriku sendiri, penghuni pojok paling belakang dekat jendela. Sang pengamat.

Ah, Tak ada gunanya aku menerangkan seisi kelas untukmu, karena kau telah tertidur jauh sebelum aku mulai bercerita. Bahkan jauh sebelum pengumuman bahwa pagi ini kelas kosong. Bahkan aku tak berbicara padamu, dan bahkan aku hanya mengucapnya dalam hati. Dan bahkan kau mungkin tidak mengenalku karena kau dengan duniamu. Dan aku, hanya memandang dari duniaku.

Aku mendengus. Suara berisik kelas makin menggila. Ada sekumpulan serapahan dari lingkaran gamer. Mungkin mereka kalah atau sistem mereka dibobol hacker lain yang sepertinya lebih profesional. Lalu derai tawa lingkaran sosialita ambil bagian. Mungkin mereka habis bergosip atau mendengar kabar gembira bahwasanya semua anggota mendapat tiket liburan gratis ke Dubai. Tak tahulah aku karena belum sempat aku menduga apa yang membuat mereka tertawa hingga begitu girang, sebuah falseto gagal dari calon musisi di depan papan tulis mendapat sahutan berupa jerit melengking seorang gadis trendi. Entah apakah keduanya saling berhubungan sebab-akibat atau tidak, yang kuamati setelah falsetto gagal Rio (nama si vokalis), terdengar Pricilia (gadis trendi) menjerit sambil menatap histeris pada kuku tangan kanannya. Yang kuduga terkena tumpahan cat kuku atau coretan cat kuku atau sesuatu yang tak seharusnya ada pada kuku.

Lebai.

Seisi kelas semakin riuh, tapi yang membuatku heran pemuda yang duduk di depanku ini. Kamu ini lho seolah tak terganggu. Apakah kau masih sibuk dengan alam mimpimu? Punggungmu naik turun secara teratur. Aku penasaran mimpi macam apa yang kau dapatkan hingga tak terbangun meski kelas sekarang lebih seperti pasar ternak ketimbang institusi pendidikan.

Jam kosong akan terus berlanjut hingga satu jam ke depan. Aku tak mungkin bisa bertahan dengan bising yang benar-benar sangat menggangguku ini. Aku bisa gila atau paling tidak membutuhkan saran dari spesialis THT menyangkut kesehatan telinga. Berada di kelas yang sudah tak ubahnya pasar pinggir jalan bagiku yang menyukai ketenangan nomor wahid, adalah cobaan yang teramat besar nan pedih.

Pedih di telinga.

Makanya, aku memutuskan untuk hengkang dari ruangan kotak dengan banyak bangku dan kursi juga anak remaja labil ini. Aku bukan bagian dari sirkus ini. Ini bukan kelasku yang sesungguhnya.

Meski di daftar siswa namaku jelas jelas tercetak atau pada name-tag yang dijahit di bajuku yang dilengkapi tulisan Art 2-C.

Oh, tetap saja aku tak mau disamakan dengan anarki ini.

Seperti Itu?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang