Dentuman musik elektronik menggema begitu saja di ruangan yang telah disesaki oleh ribuan manusia. Pasang-pasang kaki bergerak seirama dengan musik yang mengalun. Gelapnya malam di luar berbeda dengan di dalam yang ramai lampu warna-warni saling menyorot. Berdiri di tengah keramaian seperti itu sangat menyesakkan bagi yang tak biasa. Lain halnya dengan mereka yang terbiasa dengan dunia malam. Hal seperti ini sudah menjadi makanan mereka tiap hari. Tak lupa dengan pakaian kekurangan bahan hingga menampilkan tonjolan-tonjolan jelas di tubuh si pemakai. Kalau sudah seperti ini, pria hidung belang lah yang mendapat keuntungan. Ditambah bau khas alkohol yang pekat sekali tercium se-antero ruangan.
"C'mont Ve! More! More!"
Sorakan semakin ramai karena Vallerie mengikuti seruan mereka. Gadis itu meneguk terus bir yang sudah tak terhitung berapa botol telah ia habiskan. Baginya, seruan teman-temannya itu adalah perintah. Kesadarannya sudah menghilang sejak awal memasuki club malam tersebut. Pengaruh alkohol semakin membuatnya tak mampu menahan diri. Ia melenggak lenggokan tubuhnya di atas meja bar sambil tetap meneguk bir dari botol yang ia pegang. Badannya terasa panas jika dia hanya berdiam diri.
Sementara itu di sudut club telah duduk seorang pria yang sedari tadi memperhatikan tingkah Vallerie. Tangannya sudah mengepal kuat menahan emosi. Bagaimana tidak, di depan sana gadisnya sedang ditonton oleh banyak mata pria. Mereka menatapnya dengan penuh nafsu binatang. Ia mencoba untuk tetap bertahan di bangkunya karena tak ingin membuat keributan di club seperti ini. Bila ia sampai membuat keributan maka dipastikan besok telah terpampang wajahnya di surat kabar. Bukan hanya itu, mungkin berita itu akan menjadi headline karena sosok dirinya yang bukan orang sembarangan.
"Cukup Ve. Ayo kita keluar dari sini!"
Seorang pria berperawakan sedikit bule dengan hidung mancung dan berbadan tegap dengan mudahnya membopong Vallerie pergi dari ruangan itu. Tanggannya melingkar di pinggang gadis tersebut. Sontak pria yang tadi mengamati Vallerie bangun dan mengikuti kemana langkah kaki mereka pergi.
Mobil sedan mewah telah menanti keduanya di depan pintu masuk club. Tidak butuh waktu lama untuk mereka pergi meninggalkan club. Tak kalah sigap, pria tadi mengambil mobilnya dan mengikuti mereka. Untung saja mobilnya diparkirkan juga dekat pintu masuk. Mobil mereka melaju membelah ibu kota yang tak ada sepinya meskipun sudahmemasuki waktu istirahat. Tibalah mereka di sebuah hotel mewah. Di lobi hotel tersebut sudah ada seseorang yang menunggu kedatangan mereka. Amarah sudah mencapai ubun-ubun pria tadi. Jika saja ia tak sadar diri pastilah ia sudah kalap sekarang. Kini ia hanya berani mengamati dari kejauhan sambil berkamuflase. Ia tidak ingin terlihat mencolok dan ketahuan bahwa ia sedang mengamati mereka.
"Tuan Alex, ini kuncinya," sergah seseorang berpakaian serba hitam. Sepertinya dia adalah ajudan orang yang membawa Vallerie ke sini.
Kini ia tahu bahwa pria yang berani membawa Vallerie ke hotel bernama Alex. Berani-beraninya dia. Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa.
Alex membopong sendiri tubuh Vallerie. Ia tak mau ada orang lain yang menyentuh Vallerie. Baginya, Vallerie adalah barang mahal yang tidak boleh sembarangan orang menyentuhnya. Ia membawa Vallerie ke kamar yang telah disiapkan ajudannya. Mudah sekali ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Hal itu lah yang dari tadi menguras kesabaran pria yang mengikuti Alex dan Vallerie. Tibalah mereka di depan kamar bernomor 911. Danny ingin segera menerkam Alex namun di depan kamar itu dua ajudannya tetap berjaga dengan siaga. Alhasil Danny hanya mengawasi dari tikungan di lorong yang menuju kamar tersebut.
"Mas Danny? Sedang apa di sini?"
"Disa?" Danny terpelenjat kaget.
Oh betapa bodohnya Danny. Ia mengendap-endap layaknya pencuri di kantor adiknya sendiri. Disa menjadi chief manager di hotel bintang lima di kawasan Senayan. Karirnya jauh membanggakan dibanding Danny.
"Pertanyaan Disa bukannya dijawab malah bengong gitu. Mas Danny lagi ngapain?"
"Tidak, hanya sudah janjian dengan teman ingin bertemu di sini."
"Oh gitu. Disa tinggal gak apa-apa Mas? Disa masih banyak kerjaan."
Danny mengangguk. Itulah yang ia butuhkan sekarang. Dia harus terus mengawasi Alex dan Vallerie. Vallerie adalah separuh jiwanya. Danny tak ingin hal buruk terjadi pada Vallerie. Danny sangat menyayangi Vallerie meskipun Vallerie tak mempunyai rasa yang sama padanya. Lebih dari 15 tahun ia memendam rasa itu. Tersiksa sendiri karenanya. Ah sudahlah, semakin menyakitkan jika diingat.
Nada dering ponsel yang ada di sakunya menyadarkan Danny dari kegiatan mengintainya tersebut. Tertera nama sekretarisnya. Ia melihat arlojinya sebentar, sudah hampir tengah malam tapi sekretarisnya itu menelfonnya. Sungguh ini bukan saat yang tepat karena Danny tidak boleh lengah terhadap Vallerie.
"Ada apa Siska?" tanya Danny to the point dengan nada yang sangat sinis. Di seberang sana Siska bukan tidak ketakutan dengan bosnya yang bisa memarahinya karena menelfon tengah malam seperti ini. Perihal pekerjaan membuatnya terpaksa melakukan ini karena urgensi.
"Kenapa harus sekarang Sis? Apa dia tidak tahu tata krama orang Indonesia hah?!"
"Baiklah saya akan kesana."
Sial. Lagi lagi urusan pekerjaan membuatnya tidak bisa mengawasi Vallerie. Andai saja Danny bukan CEO di perusahaan tambang milik ayahnya, sudah dipastikan dia mengajukan surat resign sejak lama. Namun, jika Danny sampai melakukan itu maka hak waris ayahnya bisa dihapuskan atas dirinya. Mustahil Danny resign karena masa depan masih menantinya. Bagaimana bisa Danny hidup tanpa harta keluarganya yang tak akan habis tujuh turunan. Itulah mengapa kadang Danny merasa iri dengan Disa yang bisa sukses dengan kakinya sendiri tanpa embel-embel nama keluarga.
Danny memutuskan menghadiri panggilan mendesak tadi. Ia berjanji selepas selesai semua urusannya akan kembali lagi ke sini.
***
"Vallerie! Apa yang kamu lakukan?!"
Vallerie seperti mendengar suara dengan nada yang sangat tinggi. Oh bukan, itu bukanlah suara seorang penyanyi seriosa. Vallerie merenggangkan sendi sendi pada tubuhnya yang terasa sangat pegal sekali. Matanya masih sangat berat untuk membuka namun suara itu terulang lagi. Vallerie mencoba mengingat suara siapa itu karena sepertinya ia tidak asing baginya. Mirip seperti suara ibunya.
Ya! Itu memang suara ibunya. Buru buru Vallerie bangun dari tempat tidur namun itu malah membuat teriakan banyak orang. Karena buru buru dan teriakan yang sangat kencang malah membuat tubuh Vallerie tak seimbang dan terjatuh di lantai.
Sejak kapan banyak orang di kamarnya? Tanya Vallerie dalam hati. Butuh waktu beberapa detik sampai Vallerie sadar bahwa dia tidak berada di kamarnya. Kamarnya tidak serapih ini dan di kamarnya banyak terdapat poster band rock barat. Sedangkan tempat ia berpijak sekarang sangat rapih dengan design interior gaya Eropa. Ini adalah kamar hotel dan Vallerie tidak mengenakan sehelai benangpun. Ya Tuhan pantas saja semua orang yang ada di kamar itu teriak. Tapi apa-apaan ini? Kenapa mereka melihatnya seperti ingin menerkam Vallerie hidup-hidup? Apa karena Vallerie tidur tanpa mengenakan pakaian?
***
Alhamdulillah udah balik lagi ke orange world setelah vacum sejak awal tahun. Aku balik dengan cerita yg insya Allah bakal nemenin readers selama ramadhan. Oh iya ini cerita pertama aku yg dibuat secara duet dengan temenku haniftriw . Jangan lupa vomentnya ^_^
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days on Pesantren
Spiritual"Izinkan aku mencintaimu karena Allah, Ve. Biarlah orang mau berkata apa, aku tak peduli. Pesantren ini yang jadi saksi akan dua insan yang dipertemukan oleh takdir." "Tidak mungkin Nizar, aku tidak mungkin bersanding denganmu. Kamu tak akan bahagia...