A Cup of Coffee

798 51 7
                                    

Kuroko's PoV

Kulirik lagi arlojiku. Posisi ketiga jarumnya nampak tak jauh berbeda dari beberapa saat yang lalu. Jarum pendek dan panjangnya tepat menunjuk angka dua belas, sementara jarum detiknya yang masih tetap menghitung, kini nampak  bergerak semakin menjauh dari angka 12. Entah sudah berapa kali aku mengangkat tangan, menarik sedikit kain dari baju berlengan panjangku yang menutupi pergelangan tangan—lalu mengecek arloji.

Dan untuk ke sekian kali aku menghela nafas, sembari membuka sebuah lembar baru dari buku yang kubaca. Sebuah judul literatur klasik dengan berjuta kutipan, salah satu karya penulis legendaris Shakespeare, "Hamlet". Beberapa hari yang lalu aku sempat menonton musikalnya dan ceritanya benar-benar mengagumkan, membuatku tertarik untuk membaca bukunya.

Everybody gimme' out attention! Nani mo mada shiranai—

"Hm?"

Kedua alisku terangkat naik ketika smartphone dengan case berwarna biru langit yang sedari tadi terletak dekat cangkir latte-ku tiba-tiba bergetar dan mngeluarkan suara.

Oh, ada telepon masuk. Dari Kaa-san rupanya.

Aku berdeham beberapa kali guna menjernihkan suara sebelum menggeser gambar berwarna hijau di layar smartphone-ku.

"Moshi-moshi? Kaa-san? Doushita no? (Halo? Ibu? Ada apa?)" tanyaku.

"Tetsuya, ima doko ni iru no (kamu di mana sekarang)? Kok tidak pamit pada ibu? Kamu sendirian? Nanti kalau kamu diculik bagaimana? Kamu kan masih perawan, sayang."

Aku memutar mata. Lagipula, aku ini laki-laki. Ungkapan 'perjaka' nampaknya lebih tepat dibanding 'perawan'.

"Kaa-san, Tetsuya nggak jauh kok, dari asrama. Lagipula Tetsuya sudah besar, Kaa-san jangan khawatir. I'm a boy and I can protect myself, mom."

Dapat kudengar ibuku menghela nafas di seberang sana, "Baiklah. Hati-hati, ya! Jangan mau kalau diajak pergi orang asing! I love you, dear."

"Love you too, Kaa-san."

Aku memutus sambungan telepon, tepat disaat sosok yang sedari tadi kutunggu menunjukkan eksistensinya. Hmph, dia nampak classy hari ini. Tubuhnya dibalut oleh beberapa atribut, mulai dari kaus hitam, mantel berwarna cokelat, dipadu dengan jeans hitam dan sepatu boot. Oke, aku ralat. Dia tidak nampak Classy dan malah terlihat nyentrik. Ini kan pusat perbelanjaan, mengapa dia bawa-bawa airport fashion? Benar-benar tidak ada nyambungnya sama sekali.

Sedangkan aku? Aku hanya memakai kemeja putih yang kugulung lengannya dan jeans hitam. Tidak lebih, apalagi aku benci memakai sesuatu yang merepotkan.

"Annyeong!" sapa lelaki bersurai kuning tersebut dengan penuh semangat. Aku lagi-lagi melengos.

Ini Jepang. Mengapa dia malah pakai bahasa Korea?

Berurusan dengan pemuda dengan fashion nyentrik dan bahasa asing ternyata tidak begitu menyenangkan—membuatku ingin membuang lelaki tersebut ke tempat yang jauh dari sini.

"Kise-kun, aku baru tahu ada orang yang memakai airport fashion di sebuah pusat perbelanjaan."

Kise tertawa menanggapi ucapanku, sementara aku hanya memutar mata.

"I think it's not weird. It's just extraordinary! Lagipula, aku baru saja sampai Hokkaido dan langsung menemuimu di sini."

"Jadi ... itu alasanmu? Baiklah, tapi setidaknya lepas mantelmu selama kau berbicara denganku di sini."

Kise menuruti perkataanku dan melepas mantelnya, lalu melipat dan menaruhnya di atas meja. Aku tersenyum dan mengangguk mantap melihat kelakuannya. Kalau begini kan, rapi.

"Jadi ...," Kise membuka percakapan. Dahinya nampak berkerut, menandakan lelaki itu sedang serius. "kapan kau akan jadi pacarku?"

Jantungku mencelos mendengar pertanyaan yang terlontar dar bibirnya. Dasar orang aneh. Dia baru saja bertemu denganku! Lantas, mengapa dia bertanya kapan aku mau jadi pacarnya?

"Kise-kun, kita baru kenal di sosial media dan ini pertemuan pertama kita ... dan kau mengajakku pacaran? It must be kidding."

Kise merengut, lelaki itu melipat tangannya di atas meja dan meletakkan kepalanya. "Hmph—" geramnya. Suaranya lebih seperti rengekan sih, di telingaku.

"Tapi kan, aku sudah lama menyukai Kurokocchi. Apa Kurokocchi tidak menyukaiku?"

"Yah—" tiba-tiba kepalaku terasa sedikit pusing karena kupaksa untuk mengingat beberapa hal yang telah lampau. "Aku sempat menjadi stalker-mu selama kurang lebih 4 tahun, sebelum aku berani mengirim direct message padamu." jelasku. Kise membelalakkan matanya.

"Jinjja(benarkah)?!"

"Hontou desu. Aku tidak akan pernah melupakan hari-hari penuh kesengsaraan karena memikirkanmu dulu. You're really a disguise, Kise-kun."

Mata Kise berbinar-binar seperti anak kecil, "Uwaaah, aku tidak menyangka!" serunya.

"Hmm—"

"Aku menyukaimu, Kurokocchi!" celetuknya seperti bocah.

"Hm."

"Aku memang belum tahu siapa dirimu yang sebenarnya, tetapi aku menyukaimu!"

"Allright, allright." aku manggut-manggut.

"I love ya, Kuroko!"

"Ha'i, ha'i, socchikoso—"

Dan akhirnya aku menghabiskan siang ini bersama Kise, ditemani secangkir latte yang sudah tidak mengepulkan asap ... .

(*^﹏^*)

Hello minna-san! Ed wa kocchi desu yo! Atau apalah, hehe. Ehm, jadi... ini cerita hasil fantasi saya tengah malem... waktu saya mengkhayal bertemu sang pangeran yang tak mungkin saya capai—eh. Maksudnya ya ide ini tiba-tiba menghampiri saya gitu aja. Tengah malem. Jam 1 pagi. Kan gila. Ahahaha.

Semoga suka ya! *^▁^*

See ya!

[KiKuro FF] An Idol and His StalkerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang