Case 2

7.4K 1.1K 56
                                    

Seperti biasa, unit Emergency Response selalu penuh hiruk pikuk layaknya saat ini ketika ada yang datang dengan tekanan darah yang rendah dan mendadak terserang takikardia (kekacauan irama jantung)

Ken yang sekarang bertugas di ER langsung menangani.

"Defibrillator, charge 100.." dia meminta perawat untuk menyiapkan alat pacu jantung.

"Clear!!" teriak Ken membuat semua orang mundur ketika Ken menempelkan defibrillator ke dada pasien. Namun, entah karena gugup atau apa, sebelah tangan Ririn yang dari tadi mengikuti Ken kemana-mana sebagai murid bimbingannya masih memegang pundak pasien sehingga ketika alat menyala dia mendadak jatuh terpental.

"What on earth???" seru Ken tak.habis pikir melihat anak bimbingnya jatuh tak sadarkan diri.

"Get her out of here! Charge 200...." kata Ken yang lebih memilih berfokus pada pasiennya daripada mengurusi anak bimbingnya yang sekarang dibantu dokter magang lain untuk bangun.

"CLEAR!!!!" teriakan Ken naik sampai menembus pintu masuk yang berjarak 20 meter dari tempatnya berdiri, tak menginginkan kejadian serupa terulang lagi.

"Oke... we got the pulse...." ucapnya lega, serupa bisikan, lalu segera memberikan penanganan lebih lanjut pada pasiennya.

-----------

Ririn mengutuki kebodohannya berkali-kali. Kenapa dia dengan tololnya masih memegangi pasien saat dokter Ken berteriak clear.

Semua dokter bahkan perawat pun tahu kalau itu artinya mereka harus menjauh kalau tidak... ya resikonya tersengat listrik sampai hampir gosong seperti yang dirasakannya tadi

Dia luar biasa malu. Apalagi saat dokter Mira, dokter bedah umum langsung meminta perawat menggotongnya dan memaksa dia untuk tidur di salah satu dipan di ER dan melarang dia bergerak sampai dokter Mira sempat memeriksa kondisinya lagi.

Padahal awalnya dia sudah sangat bersemangat mendapat bimbingan langsung dari dokter yang paling dia kagumi selama ini, dokter muda brilian yang menerbitkan puluhan paper untuk penanganan-penanganan penyakit jantung. Mengingat kebodohannya akan hal paling sederhana seperti itu, dokter Ken pasti tak akan bersedia membimbingnya lagi sekarang.

Tirai yang memisahkan tempat tidurnya dengan yang lain mendadak terbuka, dokter Ken masuk membawa clipboard membuat Ririn secara spontan langsung menutupi dirinya dengan selimut seakan bersembunyi dari monster, membuatnya terlihat semakin idiot.

"Kamu ga usah segitunya juga... saya tahu kamu bangun... kalau mau pura-pura tidur, ya jangan pas orangnya udah keburu sampai!" ucap Ken tajam membuat Ririn meringis dan membuka selimut yang menutupi kepalanya, malu-malu.

"Feeling better? Ga ada bekas terbakar?" tanya Ken sambil memperhatikan karte Ririn yang terpasang di ujung tempat tidurnya.

"Saya baik-baik saja, dok," aku Ririn pelan.

"Good...." jawab Ken singkat kemudian berbalik pergi.

"Dok...." panggil Ririn ragu-ragu membuat Ken menghentikan langkahnya dan kembali menghadap ke arah Ririn.

"Saya masih bisa ikut bimbingan dokter kan?" tanyanya ragu-ragu.

"Hanya jika kamu bisa memastikan kalau kamu bisa mendengar dengan jelas setelah tersetrum."

Ririn langsung menunduk mendengar sindiran tajam Ken.

"Maaf, dok, tak akan terulang lagi. Saya janji... beri saya kesempatan sekali lagi dok... saya ingin berada di bawah bimbingan dokter?" ucap Ririn dengan nada memelas.

"Kenapa harus dokter jantung? Kenapa tidak dokter lainnya?" tanya Ken lagi.

"Demi ibu saya dok, dulu dia kena penyakit jantung dan penanganannya terlambat... saya mau membantu orang agar tak ada yang mengalami hal yang sama dengan ibu saya."

Ken hanya terdiam kemudian dia menandatangani karte Ririn yang membuat dia mendapat izin turun dari tempat tidur.

"Kamu ikut saya," ucap Ken singkat dan Ririn buru-buru mengikuti langkah dokter Ken yang cepat.

Tenyata dia dibawa ke ruang bedah dada dan jantung kemudian dibawa lagi ke dalam ruang pertemuan.

"Saya sudah membaca file kamu, nilai kamu sempurna dalam hal teori, dokter pembimbing kamu di universitas sebelumnya pun sangat merekomendasikan kinerja kamu yang katanya sangat baik walaupun saya tak melihat hal itu sama sekali saat ini."

Ken memasukkan cd ke pemutar video dan tampaklah video gambar dopler warna jantung seseorang.

"Pasien perempuan berumur 5 tahun. Coba lihat, apa masalahnya? Tindakan apa yang harus dilakukan?"

Ririn mengamati sebentar dan langsung berkata.

"VSD. (Ventricural Septal Defect, terbukanya lubang antara bilik jantung kanan dan bilik jantung kiri karena kelainan sejak lahir)"

Kemudian dia terdiam, tersenyum puas karena merasa sudah menjawab dengan benar.

"Semua dokter jantung juga tahu itu VSD! Yang saya tanyakan, apa tindakan yang harus dilakukan? Perhatikan lebih baik lagi!" seru Ken ketus.

Ririn tersentak, pipinya memerah karena malu dan matanya mulai berair menahan airmata yang mulai tergenang. Dia menghela napas panjang sejenak untuk menenangkan dirinya, kemudian memperhatikan lebih seksama.

"Aliran darah ini dari katup trikuspid (selaput katup yang ada di antara bilik kanan dan serambi jantung kanan).

Aliran dari katup mitral (katup dua lembar yang ada diantara bilik kiri dan serambi kiri jantung), shunt (keadaan di mana aliran darah melenceng keluar dari jalan atau jalur yang seharusnya) sepertinya hanya sekitar 35%," lanjut Ririn takut-takut. Dia menahan napas, menunggu reaksi dokter Ken atas penilaiannya.

Dokter Ken hanya diam sekitar sedetik, namun rasanya seperti satu jam bagi Ririn.

"Ya, benar. Lalu, tindakan operasi apa yang diperlukan?" ucapan dokter Ken membuat Ririn bisa bernapas kembali.

Ririn tampak berpikir dengan keras.

"Tak perlu dibedah dok!!" ucapnya dengan mantap.

"Kenapa?"

"Aliran darah saat melakukan shunt, kelihatannya bukan mengalir masuk ke lubang, tapi merembes. Bila ditindaklanjuti dengan benar secara internis, seiring pertumbuhannya akan menutup dengan sendirinya. Tak perlu membebani tubuh anak umur lima tahun dengan operasi besar jika masih bisa ditangani dengan obat-obatan," jelas Ririn sambil menatap wajah Ken yang tampak datar tak terbaca.

Ken mematikan video dan menyimpan cd-nya lagi ke tempatnya.

"Hari ini kamu langsung pulang saja...." ucapan dokter Ken seketika itu juga membuat Ririn merasa kecewa.

'Apakah diagnosa-nya salah?' pikir Ririn dalam hati.

"Besok pagi kamu akan membantu saya melakukan ICD (pemasangan pacemaker) menggantikan Bagus, saya ingin membiasakan kamu untuk memegang pisau bedah dan kalau bisa, mengenali bahaya defibrillator yang menyala," lanjut Ken lagi yang langsung berbalik pergi meninggalkan Ririn di ruang pengamatan.

Ririn terbengong-bengong beberapa saat tak memahami perkataan dokter Ken. Setelah dia sadar apa maksud ucapan dokter Ken, dia langsung berteriak-teriak kegirangan.

"Yes!!! Yes!!!" serunya meloncat-loncat gembira sambil membuka pintu dan baru menyadari kalau ruang bagian bedah dada dan jantung sudah dipenuhi oleh dokter-dokter senior lain yang memandang ke arahnya.

Melihat siapa yang keluar ruang pengamatan sebelum Ririn, para dokter senior hanya bisa bergumam dalam hati.

'Oh, Ken... No wonder jadinya begitu! Tampang residen seperti habis nangis.'

Ririn langsung menunduk malu. Wajahnya merah padam. Dia meminta maaf dengan terbata-bata, kemudian kabur secepatnya dari ruangan itu.

-------------

Luv,
NengUtie



Doctors in Blue Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang