Case 3

7.6K 1K 90
                                    

Ririn, Ken, dan staf-staf lainnya sudah siap sedia di ruang operasi. Baru kali ini Ririn berhadapan langsung dengan pasien yang akan dibedah dan menjadi asisten pertama. Di luar biasa gugup namun juga merasa excited.

"Hari ini kita akan melakukan pemasangan pacemaker, kamu yang membuka dada dokter Ririn!" perintah dokter Ken membuat Ririn terkejut. Dia kira dia hanya akan mengawasi saja.

Ririn takut, namun dia lebih takut lagi dengan tatapan tajam dari dokter pembimbingnya.

"Pi... pisau bedah," pintanya ragu-ragu ke perawat operasi.

Setelah pisau dia terima di tangan, Ririn bersiap membuka dada, namun sialnya, tangannya tak berhenti gemetar.

Ririn mengutuki dirinya berkali-kali dalam hati. Ini bukan kali pertama dia menoreh tubuh orang dengan pisau operasi, tapi baru kali ini dia merasa sangat terintimidasi yang membuatnya tak bisa mengendalikan diri.

"Santai aja, ga usah gugup... kamu ga akan bisa membedah kalau gemetaran begitu," tegur Ken.

"I... iya dok," jawab Ririn, tapi tangannya masih saja gemetaran.

Ken menghela napas, merasa agak kesal.

"Tekan pembuluh nadi di tangan kanan dengan jempol kamu selama beberapa detik," ucap dokter Ken sambil mencontohkan. Dia melingkarkan jari kirinya di sekeliling pergelangan tangan kanan dan menekan pembuluh nadi dengan jempolnya.

"Kalau kamu merasa takut, coba tekan bagian ini. Gemetarmu akan segera hilang," lanjutnya lagi.

Ririn terdiam, menaruh kembali pisau operasi dan menuruti saran dokter Ken. Benar saja, tak berapa lama, tangannya kembali stabil.

Setelah dirasa sanggup, dia meminta lagi ke perawat operasi.

"Pisau bedah!!"

Operasinya berjalan lancar, Ririn diijinkan membuka dada dan mengganti pacemaker pasien, namun dia belum diizinkan menutup dada. Dia hanya diminta memperhatikan teknik jahit dokter Ken dengan seksama saat Ken menjelaskan bagaimana cara membuat simpul bedah dan penjahitan yang akurat serta presisi.

Saat benang digunting dan gunting ditaruh kembali ke dalam tray, Ririn baru bisa bernapas lega. Dia nyaris lupa cara bernapas karena dari tadi dia hanya bisa menganga memperhatikan teknik jahit dokter Ken yang sempurna dari jarak dekat.

Cepat, namun sangat rapi.

"Oke, done!! Good job dokter Rin."

"Terimakasih dokter Ken."

Ketika mereka sama-sama melangkah pergi meninggalkan ruang operasi Ririn bertanya malu-malu. "Dok, teknik menghentikan gugup tadi, dokter pelajari dari mana?"

Ken mengerutkan keningnya.

"Saya ga tau. Saya ga pernah gugup saat operasi. Tapi saya suka memperhatikan dokter Mariana melakukan itu jika dia berhadapan dengan bayi. Saya tak menyangka teknik itu juga bisa berlalu untuk kamu," jawabnya ringan.

"Kenapa dokter memilih specialist jantung? tanya Ririn lagi yang mendadak penasaran dengan pembimbingnya yang kadang ingin dia pentung agar bisa membumi sedikit.

"Karena Kakek saya dokter Hamizan."

Ririn terdiam. Siapa yang tak kenal dokter Hamizan? Dokter bedah jantung terbaik pada masanya dan menjadi legenda karena kehebatannya.

"Orang bilang dia dokter terbaik. Terus terang saja saya merasa terpacu karena itu. Kalau saya mengambil specialist yang sama dengan beliau, artinya saya harus jauh lebih baik lagi dari beliau. Saya tak suka menjadi orang nomor dua," jawab dokter Ken santai.

Doctors in Blue Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang