Case 6 - b

5.1K 833 68
                                    


"YOU GOTTA BE KIDDING ME!!!" teriak Fiona dengan raut wajah marah.

"That's the only way, Fee..." jawab Ken tenang walau dokter di hadapannya seakan bisa menyemburkan api.

"Masih bisa nunggu organ transplant kan?" ucap dr. Januar, salah satu dokter bedah jantung di RS ini.

"Di Indonesia? Untuk bayi? Kemungkinannya terlalu kecil. Pembesaran otot jantungnya sudah mencapai tingkat IV NYHA (New York Heart Association: klasifikasi fungsional yang mengukur tingkat keparahan penyakit jantung dari gejala klinis)."

"Loe gila, Ken!! Gak akan ada dokter yang nekat mengambil langkah operasi!! Apalagi untuk operasi percobaan kayak gini!" Bentak Fiona lagi.

"Gue bisa aja nyaranin transplant. Tapi sayangnya itu gak mungkin, Fee... Sebelum ngamuk lagi, coba lihat kartenya baik-baik sekali lagi." Ken menunjuk file-nya kembali.

Fiona terdiam memperhatikan, kemudian matanya kembali terbelalak. Dari tadi dia hanya membaca data awal pasien yang berumur 9 bulan saja dan ternyata.... "letak organ dalamnya terbalik sempurna," bisik Fiona putus asa.

"Ini contoh kasus yang hanya terjadi 1:10ribu, Ken." Januar sekarang menggeleng-gelengkan kepalanya, entah karena muak atau kesal.

*Letak organ dalam terbalik sempurna adalah penyakit di mana si penderita terlahir dengan keadaan letak pembuluh darah ataupun organ dalam terbalik kiri-kanan.

"It's impossible, Ken. Dengan bidang operasi sekecil itu... kekeliruan operasi karena salah memahami letak pembuluh darah bisa saja terjadi," lanjut Januar lagi.

"Ada kemungkinan untuk membiarkan saja, Ken. Biarkan si anak menikmati sisa hidup di pelukan orangtuanya. Bukan membiarkannya mati di meja operasi," Fiona menambahkan.

"Kita dokter! Ga ada yang ga mungkin sebelum kita mencoba. Kalaupun gagal, setidaknya kita sudah berusaha. Tapi kita ga boleh nyerah begitu saja," ucap Ken dingin.

"Karena dia masih bayi, bukankah harusnya kita lebih bertekad untuk melihat dia selamat, melihat bagaimana dia besar nanti.

Fee... ini operasi super sulit yang pernah gue coba. Dan gue bener-bener butuh bantuan loe di sini. Gue tau loe ga pernah mau ikut operasi percobaan klinis, terutama kalau pasiennya anak-anak, but please... gue minta kelonggaran untuk kali ini aja. Gue butuh ahli anestesi terbaik dan orang itu adalah loe. So, are you in or not?" tanya Ken sambil menatap tajam Fiona.

Fiona menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk ragu-ragu.

"Dan yang lainnya gimana?" Ken bertanya sambil menatap ke sekeliling.

"Penyakit pembesaran otot jantung... ditambah komplikasi pembuluh nadi mahkota tunggal (istilah untuk pembuluh nadi berbentuk mahkota. Biasanya ada 2 batang tapi cuma ada 1 batang. Kadang bersifat tanpa gejala dan sering menjadi penyebab kesulitan dalam operasi ataupun kematian mendadak) jangan lupa juga soal komplikasi letak organ dalam terbalik sempurna. Ini sinting! Loe sakit jiwa, Ken! But I'm in," kata Januar.

"Aku bisa urus sebelum dan pasca operasinya nanti...." ucap Fathan yang seorang internis.

"Orangtuanya sudah tahu resiko operasi ini. Aku sudah menjelaskan secara seksama ke mereka. So... no presure??" tambah Ken sambil tersenyum.

"No presure at all!! Anyway, siapa yang mau dijadiin asisten ke 2? dr. Vino bisa sepertinya." Januar mengusulkan salah satu dokter senior di RS itu.

Ken menggeleng. "Nope...aku sudah mau pakai dokter ini dari awal."

"Who?"

"dr. Bagus," jawab Ken.

"Yang masih residen itu?" tanya Fathan keheranan.

"The one and only," ucap Ken penuh keyakinan.

--------

'Sinting!! dokter Ken sinting!!' rutuk Bagus berkali-kali setelah Ken memanggilnya ke ruangan dan menunjuknya menjadi asisten 2 dalam operasi yang mustahil untuk dilakukan.

"Ciptakan imej dalam kepala secara tepat, Bagus!! Jangan sampai ada gerakan yang sia-sia di batista agar tidak menghalangi jarak pengelihatan. Kita training dua hari lagi."

Begitu saja pesan mentornya tadi. Ken pasti sudah gila!! Pikir Bagus yang termenung di depan soto ayamnya.

"Duarrrrr... kok bengong??" tegur Fiona yang mendadak ikut duduk di hadapan Bagus bersama dengan dr. Leo.

"Paling mikirin Ken yang eksentriknya kebangetan... pikirin pacar, Gus, jangan mikirin Ken. Dia mah gak penting buat dipikirin" sambar Leo sambil tertawa.

"Ken emang sakit dari dulu... inget kan, Gus, waktu kita di Papua. Dia ngoperasi kayak orang gila. Pertama kali kamu kenal sama Ken ya... waktu kamu baru training buat jadi dokter umum."

Bagus tertawa walau tawanya terdengar hampa. "Iya," jawab Bagus yang mengingat Ken bisa mengoperasi darurat walaupun minim cahaya dan peralatan yang seadanya.

"Kalian mau ngecilin jantung dari sebesar lemon ke ukuran stroberi ya? Bisa??" tanya Leo.

"Ya liat aja ntar si Ken, berhasil atau enggak." jawab fiona yang sekarang malah asik ngemil kerupuk.

"Loe biasanya ga mau ikutan operasi klinis bayi. Tumben...." selidik Leo.

"Gue lemah kalau Ken yang minta.... Tauk, tu orang punya pelet kali!" balas Fiona.

"Susah kan, dok, anestesinya?" tanya Bagus.

"Paling susah. Makanya aku suka gak mau. Salah dosis dikit aja, si bayi bisa kabur ke alam baka. Kesulitan ga cuma saat operasi. Pemeriksaan kateter sebelum operasi juga sulit, bisa menimbulkan kematian pada bayi. Apalagi yang akan dioperasi kali ini punya level IV klasifikasi NYHA. Gak bisa diperiksa, padahal gak boleh ngasih anestesi berbahaya. Runyam hidup saya. So, Bagus...usahakan image training yang bener ya... operasi kali ini rumitnya ga main-main."

"Fee... si Bagus udah depresi gitu, jadi makin tambah stress kan dia, loe takut-takutin.."

"Gapapa... biar strongggggg!!!" ucap Fiona sambil tertawa sementara Bagus hanya bisa tersenyum lemah.

-----------

Luv,
NengUtie

Doctors in Blue Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang