2 | Avatar, Smurf, New Hepatitis, or Keturunan Bangsawan?

212 18 18
                                    

Riri menatap pantulan dirinya dalam cermin. Ia meringis melihat betapa mengerikan bayangan itu. Rambut acak-acakan, kantung matanya menghitam, bibirnya pecah-pecah, dan kulitnya yang sekarang berbeda warna. Lain daripada yang lain.

Biru. Kulitnya berwarna biru. Sudah seminggu lebih kulit birunya bertahan. Awalnya hanya bercak-bercak, lalu lebam, dan saat ini hampir seluruh tubuhnya dihiasi kulit berwarna biru.
Ini penyakit apa?

Riri tak berani keluar dari kost-kostannya. Dia takut orang-orang akan ketakutan melihatnya dengan keadaan begini. Riri saja takut, apalagi orang lain.
Tubuh perempuan itu berjengit ketika mendengar suara ketukan pintu. Siapa yang berani bertamu pagi-pagi begini? Riri sedikit membenahi rambutnya sebelum membuka pintu. Hanya menyisakan sedikit celah, Riri melongokan kepalanya untuk melihat siapa yang datang.

Dilihatnya seorang laki-laki berkaus kuning berdiri membelakangi pintu di depan kamar kostnya. Dia seperti membawa kotak kardus yang entah isinya apa. Riri hafal di luar kepala siapa laki-laki itu.

"Bima!" panggil Riri pelan.
Bima berbalik dan seketika jatuh terjengkang sambil memekik kaget.

Kardus di tangan Bima melayang, menyebabkan isi di dalamnya berhamburan begitu kardus itu terjatuh. Bima mengaduh, mengusap pantatnya, dan langsung menatap Riri ngeri.

"Siapa kamu?" tanya Bima waspada. Dia bangun dari duduknya seraya bertanya, "Di mana Kak Riri? Jangan bilang kamu memakannya!"
Riri berjengit mendengar perkataan Bima.

Iya kali Riri makan Riri. Mana bisa. "Haish, ini Kak Riri, Bima ...," katanya penuh penekanan. "Masuk!"

Tanpa merapikan kertas-kertas yang berserakan di lantai, Bima segera masuk ke kamar Riri. Tatapannya pada Riri bercampur antara bingung, takut, dan waspada. "Kenapa Kak Riri berubah jadi biru begini?"

"Aku tidak tahu," jawab Riri sekenanya, tapi memang begitu adanya kan?

"Kak Riri sakit?" tanya Bima lagi.

"Aku tidak tahu."

Riri dan Bima duduk di kursi. Riri mengambil bantal kemudian memeluknya. Wajahnya murung. Bima jadi tak tega, untuk itu Bima bermaksud menghibur.

"Jangan-jangan, Kak Riri keturunan Avatar." Sungguh tebakan menyebalkan. Riri melempar sebuah koin yang diambilnya dari atas meja dan telak mengenai kening Bima.

"Atau ... Papa Smurf sudah merubah Kak Riri jadi Smurfette?" Mata Bima membulat saat mengatakannya. Sepertinya Riri harus membenahi Bima supaya otak laki-laki itu menggeser ke posisinya yang semula.

"Ngaco kamu," desis Riri sebal. "Aku tidak tahu ada apa dengan kulitku ini," ujarnya lesu. "Apa ini termasuk hepatitis jenis baru ya?"

Bima memilin bibir bawahnya, tanda kalau dia sedang berpikir. "Bisa jadi." Kepala Bima mengangguk-angguk. "Aku malah berpikir kalau Kak Riri itu keturunan bangsawan. Darah biru, yang buat kulit Kak Riri jadi biru begini," ucapnya sambil cengengesan.

Riri menahan emosinya mati-matian. Sungguh, baru kali ini ia punya teman laki-laki sepolos Bima. Teman-temannya yang lain biasanya badboy bahkan playboy. Kalau begini caranya Riri harus bersyukur atau melempar Bima ke rawa-rawa? Duh!

"Daripada mendengarkanmu mengatakan apa yang kamu pikirkan, lebih baik aku periksa ke dokter." Riri mendengus.

Dia berdiri dan mengambil handuk, pakaian ganti, dan peralatan mandi. "Pergi sana!" usir Riri ketika melihat Bima masih betah duduk di kursinya.

Bima nyengir. Ia berjalan ke pintu, membukanya, dan melangkah ke luar. Tapi saat hendak menutup pintu, Bima berulah lagi. "Kak Riri sering nonton film biru ya sampai kulitnya ikutan membiru begitu?"

Brak!

Begitulah suara botol shampoo Riri yang melayang dan berakhir menabrak pintu.
"Kak Riri, ini kertas-kertas yang Kakak minta kemarin. Ada yang kotor gara-gara jatuh. Aku taruh di depan pintu ya!"

Tabahkanlah hatiku ini, Tuhan ..., melas Riri dalam hati.

Setelah mandi dan bersiap-siap, Riri berjalan keluar area kostnya menuju mobil taksi yang sudah terparkir di depan gerbang. Iya, tadi Riri memang sempat memesan taksi untuk membawanya ke klinik spesialis kulit. Riri tak mau naik bus seperti biasanya karena keadaannya sekarang ini. Riri bahkan rela memakai jaket, celana panjang, masker, dan sarungtangan untuk menutupi keanehan kulitnya.

Riri membenahi hoodie dan maskernya saat memasuki taksi. Ia meminta sopir taksi mengantarnya ke klinik dokter kulit terdekat. Begitu sampai di klinik, ia langsung masuk dan menemui seorang suster yang berjaga di depan pintu praktek.

Beruntung hari itu klinik sepi, jadi Riri tak perlu mengantre. Rasanya Riri tak nyaman berjalan-jalan di luar kostnya karena kulitnya ini.

"Jadi ada apa dengan kulis saya, dok?" tanya Riri setelah insiden dokter kaget sampai terjatuh dan tanya jawab sebentar.

Dokter menggaruk keningnya bingung. Ini kasus pertama ia memiliki pasien dengan kelainan aneh seperti ini. "Saya masih belum bisa menyimpulkan apa yang terjadi pada Anda. Kemungkinan ini alergi atau infeksi bakteri jenis baru atau bahkan kanker."

Riri meringis. Kemungkinan terakhir sangat menyeramkan. Riri tak tahu harus bagaimana kalau dia hidup dengan kanker aneh. Semoga bukan kanker. Semoga ....

"Terus saya harus bagaimana, dok?" Riri bertanya lagi, suaranya bergetar. Khawatir menyelimutinya.

"Bolehkah saya mengambil darah Anda untuk diperiksa lebih lanjut? Mungkin saja ada titik terangnya nanti."

Setelah darahnya diambil sebagai sampel, Riri pulang ke kostnya. Ia berjalan gontai ke kamarnya. Penghuni kost yang lain ada yang menyapa, Riri balik menyapa-tidak semangat.

"Bima, kok ada di sini? Bagaimana kamu bisa masuk?" Riri terkejut melihat Bima yang tiduran di lantai kamar sambil membaca komik.

Bima nyengir. "Tadi aku mau antar Kak Riri ke klinik, tapi Kak Riri sudah berangkat. Terus pas mau pergi, tiba-tiba pintu Kak Riri terbuka. Aku kira ada maling atau apa, ternyata hantu," jawab Bima enteng.

Riri bergidik ngeri. Hantu? Mana ada hantu di siang bolong begini? Bima selalu ngaco! Fix!

"Jadi apa kata dokter, Kak? Penyakit parah atau tidak? Apakah aku harus menyiapkan peti mati sekarang juga untuk Kak Riri?" tanya Bima beruntun.

Sumpah! Riri ingin sekali menceburkan Bima ke rawa-rawa. "Kamu doain Kakak cepet mati?" pekik Riri gemas.

Bima tertawa ngakak. Ia bangun dari posisi tidurannya dan menatap Riri geli. "Ya bukanlah, Kak. Aku tidak sejahat itu. Aku selalu doain Kak Riri yang terbaik, termasuk semoga cepat sembuh untuk penyakit itu."

Riri mengembuskan napas kasar. Bima ... Bima ....
Hari-hari berlalu. Kulit biru Riri mulai memudar. Riri bahagia. Ternyata tak bertahan lama. Semoga bukan penyakit kambuh-kambuhan. Kata dokter spesialis kulitnya, ini hanya efek alergi yang sampai sekarang masih tak dimengerti asal-usulnya dari apa. Riri bahkan bingung, ia habis berbuat apa sampai memiliki alergi aneh begitu. Tapi, setidaknya Riri bisa bersyukur tak harus melihat Bima menyiapkan peti mati untuknya.

• • •


Dedicated to errorideasmart.

Blue Illness [Flashfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang