4 | ANV

128 12 10
                                    

Ao no vairuso.

Dira menggigit bibir bawahnya sendiri sambil tetap menarikan jemarinya di atas keyboard laptop. Kursor mungil di layar pun diarahkan untuk melihat video maupun data mengenai virus yang sangat menghebohkan dunia internasional beberapa bulan belakangan itu. Begitu video pertama selesai loading dan langsung diputar, dalam beberapa detik saja ia langsung tergesa menutup layar laptopnya. Tak sanggup! Sungguh, Dira lebih pilih menjejali matanya dengan stalking akun Dijahgreen daripada harus menyaksikan contoh penderitaan dari korban Ao no vairuso tersebut.

Ia lalu menoleh ke belakang, dimana kerangkeng besi berukuran 3x4 meter membatasi pergerakan seorang gadis di dalamnya.

Dila, Dira membatin.

"Dil, sebentar lagi aku bakal nemuin jalan keluarnya... Babang Biduan pasti tahu caranya. " ujar gadis itu terdengar optimis. Namun saudari kembarnya mulai menunjukkan gejala itu,

Tubuhnya memancarkan pendar lembut kebiruan yang tiap menitnya semakin menguat. Dan tak lama, Dila membulatkan mulutnya, mengeluarkan...

* * * * *

"Otaknya. "

Kontan saja Dira semakin gusar. Sudah tiga jam ia habiskan untuk menghadapi pria flamboyan jenius didepannya ini, dan ia rasa stok kesabarannya tak akan bertahan lebih lama lagi.

"Intinya, lo nyuruh gua ngebedah otak sodara kembar gue, gitu?"

Pria itu melambai-lambaikan syal bulu blink-blinknya, "Iya, gini. Gak gitu. "

Ini orang minta dipaketin ke Pluto apa gue jagal aja, sih? Batinnya jengah. Tapi saat Dira kembali menatap Dila yang kini terdiam di sudut kurungannya, ia merasa bimbang.

"Gue gak becanda, Bang. Ini soal sodara gue. Nyawa keluarga gue satu-satunya. "

Biduan yang sebenarnya hanya selisih usia tiga hari dengan gadis itu menatapnya humor, "Siapa juga yang bilang kita lagi ngelawak?"

Berteriak sekeras mungkin dan melempari sebuah kaleng biskuit ke arah kepala pria itu menjadi cara Dira untuk mengekspresikan kekesalannya. Dengan santai, Biduan berpakaian serba necis itu menelengkan kepalanya anggun

"Demi jenggot Poseidon, Dik. Ini cerita sampah banget. " Dira mengambil jeda, "kita ... berhenti aja di sini. Seenggaknya kita semua udah tau penyebab penyakit ini. "

"ANV... " sahut seseorang yang tadinya berdiam di sudut kurungan, namun sekarang tampak baik-baik saja di depannya.

"Eh, Dila. 'Sup, bro?" sapa cowok itu sok ramah dan penuh senyum, berkebalikan dengan gaya bicaranya saat bicara dengan Dira. Jelas, saudari kembar Dila itu merasa tidak mendapat perlakuan yang sama adilnya dari pria berdandanan norak itu.

"Tadi aja sok mau ngebedah pala orang ... sekarang mah, tinggal omongan aja!" ujar Dira terang-terangan. Sayangnya, seorang Dicky sudah kebal dengan celotehan Dira. Tapi tetap saja, tangannya mencengkeram erat jilid skrip di tangan--hampir meremukkannya.

"Siapa sih yang nulis cerita gaje gini?" tanya cowok itu. Dira menjawab setelah menemukan Dila tengah berjalan ke tempatnya sehabis memghilang daritadi.

"Seseorang ... yang dipanggil Author." Dira melirihkan suaranya, "katanya, Author ini pengen bikin flashfiction komedi. Tapi gimana lah, ya, dia orangnya garing banget! Makanya makin kesini, cerita kita makin absurd. "

"Di daerah lain, gak ada perk---hoeeeeek... "

Dicky memekik, "Ah!! Suara bayi!!", dan cowok itu terus berputar di tempatnya seolah dunia akan runtuh. Satu bogem mengkal dilayangkannya ke bawah dagu, dan dalam sekali pukul, Dicky kehilangan kesadarannya!

"Dasar goblok, suara bayi itu 'oeeek' bukan 'hoeeek'. " Ah, Dira baru sadar seharusnya ia mengucapkan itu sebelum membereskan drama gagal mereka tentang menangani ANV.

"Dil, buat ngenakin perut, lo mau ma---"

Kalimat gadis itu menggantung. Satu setengah meter darinya, sesosok makhluk serupa tubuh manusia bersisik biru yang berekor panjang dan kokoh.

Terlambat.

Dila benar-benar sudah terinfeksi.

• • •

Dedicated to Miyano01.

Blue Illness [Flashfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang