Diandra

270 24 7
                                    

"He's going to kill you."

"...but you're going to love him anyway."

***

Song of The Chapter :

I'm Yours - The Script

Lengang sekali.

Keadaan pagi hari tidak pernah selengang ini. Kaca jendela apartemen itu masih diselimuti oleh embun-embun yang bergumul menjadi satu. Suhu ruangan menjadi lebih beku kala perempuan itu membuka salah satu jendela di ruangannya. Menghirup udara secara berkala, lalu kembali menutupnya.

Kardus-kardus besar berbaris dengan rapi di depan pintu apartemennya. Hampir semua sudah tertutup rapat, diisolasi dengan perekat coklat. Salah 'dua' diantaranya masih setengah kosong, dan satu diantara kedua kardus itu terlihat jauh lebih kecil dan tampak sengaja dipisahkan dari yang lain.

"Semua sudah siap?" Laki-laki paruh baya mengintip dari ambang pintu. Tersenyum kecil sambil membenarkan letak topi di kepalanya.

Diandra merapatkan bibirnya, mewanti-wanti apa mungkin masih ada barang yang belum ia masukkan ke dalam kardus-kardus itu.

"Belum," Katanya. "Sebentar, ya."

Ia lalu segera berlari kecil menuju ruangan lain, menghitung tiap baris dari laci lemari pakaian yang terletak di sudut ruangan itu. Ketika akhirnya ia berhasil menemukan apa yang hampir ia tinggalkan, ia menjinjingnya menuju ruangan tadi lalu tersenyum pada lelaki yang masih menunggunya di ambang pintu.

"Yang ini biar saya sendiri yang bawa, sir."

"Baiklah," Lagi, laki-laki itu kembali membenarkan letak topi pada kepalanya. "Saya akan bawa ini semua ke bawah."

Diandra mengangguk sebagai balasan. Perempuan itu menatap sebentar pada sekelilingnya, entah takut ada yang ia lupakan, atau takut bahwa ia akan merindukan kehidupannya disini.

Tapi ketika ia mengembalikan pandangan pada apa yang berada di dekapannya, Diandra tahu segalanya sudah ia persiapkan.

Segalanya, kecuali satu hal.

Jakarta, Agustus 2008

Dingin.

Hari masih terlalu pagi untuk meninabobokan ibukota ini.

Aku sendiri masih terjaga sedari malam tadi. Mencoba terlelap tapi fajar akan segera tiba dalam beberapa menit lagi.

Dan Dean, laki-laki itu akan berdiri tepat di depan pagar rumahku nanti.

Entah karena sudah menjadi kebiasaan dalam keseharian atau aku memang lupa kapan pertama kali ia mulai melakukan ritual itu di tiap pagiku. Biasanya, ia akan segera membunyikan klakson pada motor skuternya lalu duduk menunggu sambil mulai menyanyikan lagu-lagu nge-beat kesukaannya.

"Kurang lama, Princess." Begitu katanya ketika aku sudah keluar dari rumah dan berjalan menghampirinya.

Aku tersenyum sambil menoyor kepalanya pelan. "Dean yang kepagian datengnya, heh."

"Biasa juga dateng jam segini." Laki-laki itu melirik arlojinya kemudian mengetuk-ngetuknya perlahan. "Di, udah telat nih. Buruan naik!"

Aku cuma mengangguk. Mengambil helm putih yang ia sodorkan untuk aku pakai, lalu segera meloncat naik ke atas motornya.

"Gakusah ngeloncat gitu juga kali, Di. Gak bakal ditinggal." Ia melirikku dari kaca spionnya.

"Yayaya. Buruan. Kalo telat aku salahin Dean, ya." Aku tersenyum dari balik helm. Menepuk-nepuk pundaknya agar mengemudi lebih cepat.

"Oy jangan digituin. Nanti nabrak, Diandraaaaa." Dean menggeram saat motornya berjalan tak seimbang. Wajahnya terlihat begitu cemas sehingga aku tak kuasa untuk tidak tertawa. "Gak ada yang lucu. Jangan ketawa."

Namun sekali lagi aku tertawa. Laki-laki itu hanya mendengus lalu kembali menatap jalanan di hadapannya.

Aku tidak pernah berteman dengan Dean. Dia menyebalkan plus minus sok ganteng. Tapi ketika bersamanya, segala yang biasa selalu terasa menyenangkan.

Kenapa, ya?

Book I : DiandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang